#Wanita Pesolek
Ilustrasi: cdn.metrotvnews.com |
Pukul
01.43 dini hari, tidak terasa waktu berlalu begitu cepat. Napasnya masih
tersengal. Kejadian itu begitu cepat berlalu. Semuanya masih ada di depan mata,
sangat nyata. Tangannya masih bergetar hebat, sementara keringat dingin terus
mengucur. Masih bisa terlihat dengan jelas, bagaimana si botak yang mencoba
menjamahku tadi rubuh seketika, setelah pecahan botol itu merobek perutnya,
sementara dua lainnya juga terkapar tak berdaya. Lantas, siapa orang itu,
kenapa dia membantuku, kenapa dia menolongku. Lalu, kenapa dia juga begitu
dingin, kenapa dia begitu kasar. Siapa dia, sama seperti ketiga lelaki itu,
preman atau anggota geng, atau dia hanya sekedar lewat, tapi dia menenggak
minuman keras. Ahh, semua pertanyaan itu berkecamuk di benaknya, masih belum ada
titik terang dari semua tanya itu.
Malam
merangkak pelan, di dalam taksi Rey masih terpekur. Menggigil ketakutan,
sementara sang sopir fokus memegang kemudi. Jalanan lengang, hanya ada beberapa
kendaraan yang melintas, suasana kota ini memang begitu syahdu, terlebih ketika
malam menjelang atau ketika tak terlalu banyak aktifitas.
“Mau
kemana neng kita?”
Aku
tersentak, menepuk jidat. Sial, aku lupa belum memberikan alamat jelas akan
kemana tujuanku.
“Ke
Burangrang pak,” jawabku.
Dalam
hati Rey hanya bisa merutuki nasibnya malam ini. Entah mimpi apa semalam, hanya
satu, hari ini benar-benar kacau. Rentetan masalah terus mendera bak gelombang
pasang, terus menerjang, bahkan hampir saja merobohkannya. Pagi-pagi sekali dia
harus mencari cara, bagaimana untuk bisa mencari uang pinjaman, kira-kira
selepas subuh, ia mendapatkan telepon dari kampung, adiknya masuk rumah sakit
karena typus, dengan kata lain, orang tuanya butuh uang segera. Persediaan uangnya
habis sudah, pekerjaannya yang hanya sebabai pelayan sebuah café habis, bulan
ini dia telah mengirimkan uangnya ke rumah sebanyak dua kali, dan ini kali
ketiga ibunya berikan kabar yang mengusiknya.
Sempat
terlintas untuk meminjam uang, tapi kepada siapa. Ke tempat ia bekerja, hal
yang tidak mungkin, dia terlalu sering melakukan kas bon. Dan kali ini
benar-benar mendesak, Ari, adiknya telah demam tinggi lebih dari dua hari,
segala macam obat tradisional telah diberikan, tapi kondisi itu tidak membaik,
dan terpaksa harus mendapatkan rawat intensif di rumah sakit.
Sempat
kembali terlintas di pikirannya untuk menerima tawaran Kikan yang diterimanya
sore tadi, ia kembali membuka pesan singkat yang membuatnya tersentak. Tapi kali
ini, tawaran itu benar-benar membuatnya bimbang.
“Rey,
temanku minta ketemuan sama kamu, kalo mau kamu datang malam nanti jam 10 di
Andalusia café.” Kikan mengirimkan pesan
tersebut.
Sebuah
ajakan yang tidak bisa langsung ku iya-kan. Beberapa hari lalu, aku
menceritakan masalah finansial ini kepadanya. Dia memberikan pinjaman uang yang
ku butuhkan, sekaligus memberikan solusi untukku. Ada alasan penting, kenapa
Kikan menjadi tujuanku ketika keadaan finansial mendesak, sebab dari segi
ekonomi, dia jelas lebih mapan dariku. Padahal, dia satu tempat kerja denganku,
dan dia selalu bisa memiliki uang lebih. Sempat ku tanyakan hal itu kepadanya,
tapi ia hanya tersenyum sembari berkata.
“Nanti
aku bakal cerita, kalo kamu benar-benar butuh bantuanku, sekarang, kamu tidak
harus tau,” aku hanya mengangguk. Tidak banyak kata, karena hingga saat ini dia
adalah satu-satunya sahabat terbaikku.
Dan
dua hari lalu, saat ku ceritakan masalah ini kepadaku dia mengungkap sebuah
rahasia yang tetap bungkam. Rahasia yang membuatku hanya bisa termenung, tidak
pernah terbayangkan sebelumnya. Ketika fajar tenggelam, hatiku berkecamuk
kelam. Sebuah pertanyaan yang tidak gampang untuk ku tuntaskan, sebuah tanya
yang ingin selalu ku tanyakan, tapi, aku masih belum tahu, kepada siapa
pertanyaan ini akan ku berikan.
“Kamu
pikir, hanya menjadi pelayan café, aku bisa menghidupi diriku. Kamu lihat,
pakaian ini, tempat tinggal ini, sepatu, tas dan semua yang ku punya, tentu
tidak bisa didapatkan dengan bekerja sebagai pelayan café. Tapi aku bisa
mendapatkan semua itu, dengan melayani mereka. Orang-orang berduit itu,”
“Ya,
mungkin kau akan segera merasa jijik denganku. Tapi, kamu tau, semua itu adalah
harga yang pantas didapatkan. Orang-orang seperti kita ini, sulit untuk bisa
hanya sekedar berjalan. Kerja banting tulang, mengeluarkan yang terbaik, tapi
kamu lihat kan? Cucuran keringat kita hanya dibayar dengan uang yang bahkan
tidak cukup untuk makan sebulan,”
“Kerja
di kantoran, untuk orang desa seperti kita, sulit. Terlebih sekarang persaingan
dunia kerja seperti itu. kamu tahu, berapa banyak sarjana di sana yang berakhir
hanya duduk-duduk saja sehabis kuliah, sementara kita yang mengandalkan ijazah
SMA, apa yang bisa kita lakukan? Tidak ada Rey!”
Mata
Kikan berkaca-kaca. Jelas dia tidak menikmati apa yang dilakukannya saat ini. Aku
hanya bisa memeluknya. Tak ada sepatah kata yang bisa terlontar dari bibirku.
“Kamu
tahu Rey, awalnya ku lakukan itu karena butuh biaya. Kau tahu, seperti saat
ini, sama seperti yang kamu alami. Orang tuaku terlilit hutang, Bapakku,
terlilit hutang oleh rentenir, dan tanah miliki mereka telah habis terjual. Dan
harapan satu-satunya, hanya aku. Mereka memberikan kabar kepadaku, jika hutang
tersebut tidak segera dilunasi, Bapak akan dipenjara. Aku tak mau melihat
keluargaku seperti itu. biarkan aku berkorban lebih. Mereka telah melakukan
banyak hal untukku. Dan sekarang, giliranku berkorban untuk mereka.”
“Kamu
tahu Rey, kondisi itu tidak semakin membaik. Setelah ku bayar hutang itu. Bapak
tiba-tiba sakit, entah bagaiamana caranya mereka tahu pekerjaanku ini. Bapak
tidak menerima itu, akibatnya dia kena serangan jantung. Dan tak lama
kemudaian, ia harus meninggalkan kami. Meninggalkan ibu dan dua adikku yang
masih sekolah. Dan sekarang, hanya aku satu-satunya tulang punggung keluarga
ini, pekerjaan ibu yang hanya buruh tani, tak cukup untuk membiayai sekolah
kedua adikku. Aku tidak ingin kedua adikku mengalami nasib yang sama denganku,
terjerambab di jurang kenistaan ini. Sekuat tenaga, aku akan menyekolahkan
mereka, kini mereka telah masuk universitas, sebentar lagi salah satu dari
mereka akan mendapatkan gelar sarjana. Besar harapanku untuk mereka,”
Aku
hanya bisa diam. Sungguh, tak pernah terbersit di pikiranku, tentang sahabat
baikku ini. Aku hanya bisa diam seribu bahasa.
“Kamu
tidak harus mengikuti jejakku Rey, aku tahu kamu perempuan baik. Kamu bisa
melalui semua ini tanpa harus melumuri tubuhmu dengan dengus sejuta lelaki,”
ungkapnya lirih.
Kikan
menyodorkan amplop kepadaku, aku hanya menatapnya.
“Ini,
mungkin bisa meringankan bebanmu, uang ini memang dari hasil nista. Tapi aku
tulus memberikannya untukmu.”
Aku
hanya menggeleng, menolak bantuannya.
“Kenapa?
Bukankah kamu butuh ini. untuk berobat adikmu Rey.”
“Maaf,
aku tidak bisa. Maafkan aku, kamu lebih membutuhkannya dariku. Aku baik-baik
saja, aku bisa melalui ini. semoga,” ucapku lirih.
“Baiklah,
keputusanmu. Aku tidak bisa memaksa.”
Aku
hanya mengangguk pelan. Sementara itu, langit di atas sana tampak tersenyum. Indah,
lukisan Illahi tampak begitu anggun. Dengan lembayung memeluk senja yang
mempesona. Aku terpaku sesaat, menikmati sebagian hari yang mulai tenggelam. Sementara
hatiku, sungguh tak bisa merasakan kedamaian kota yang tersenyum di batas
waktunya.
Malam
merambat pelan, rinai hujan menyisakan hawa dingin. Menusuk tulang, pesona
mentari memang telah tenggelam di batas cakrawala. Tapi, kota ini, selalu
menyajikan pesona yang berbeda. Akan selalu tampak cantik, tak perlu bersolek. Dan
aku, masih terpaku di depan cermin. Menatap wajahku yang baru saja selesai
dipoles dengan make-up, membayangkan
wajahku dijamah oleh orang lain, aku bergidik. Tak sanggup membayangkannya. Tapi
tekadku sudah bulat, tadi aku membalas pesan singkat kepada Kikan. Bahwa aku
akan menemuinya di café yang telah ditentukan olehnya. Tekadku, bahkan
mengalahkan rasa jijikku terhadap semua ini.
Pukul
08.00, aku harus segera bergegas. Hujan tidak akan menyurutkan geliat kota ini.
Tentu jalanan akan semakin padat, ditambah ini adalah weekend, akan banyak pelancong yang datang ke kota ini. Hatiku
diliputi perasaan gamang luar biasa, hatiku tidak bisa menerima ini, tapi jelas
keadaan benar-benar membuatku harus melupakan ego dan mungkin harga diri. Tapi,
sejak tadi aku berada di tempat ini, masih berusaha menimbang apa yang ku
lakukan, dan akhirnya ku putuskan untuk mengirim pesan singkat kepada Kikan.
“Kikan,
maaf. Aku tidak bisa.” tulisku singkat.
Tidak
menuggu lama, teleponku berdering. Nada panggilannya meraung-raung, berpadu
dengan bisingnya gejolak hatiku. Ku putuskan untuk menolak panggilan itu. Telah
tiga kali, Kikan memanggil ulang, aku benar-benar tidak bisa menerima ajakan
itu. Hatiku menolak tegas. Tapi, sekelebat bayangan adik dan keluargaku di
rumah, sesaat mendatangiku. Terbayang wajah adikku yang saat ini tergolek lemas
karena sakit, terbayang wajah ibu yang cemas menunggu. Maaf, bu, aku tidak bisa
melakukan ini. batinku lirih.
Ku
matikan teleponku, ku putuskan untuk berjalan melewati malam. Dan sial, ketika
lamunanku mengintimidasi logikaku, aku telah berada di tempat ini, tempat yang
sepi. Sementara kini, di depanku telah berdiri tiga orang laki-laki. Dari tampangnya,
mereka bukanlah kiyai atau ustadz. Bau alcohol menyengat, sementara itu lelaki
yang berkepala plontos dipenuhi dengan tato, sementara dua lainnya bisa ku
simpulkan, mereka juga bukan orang baik-baik.
Mereka
mungkin juga berpikiran sama denganku. Tubuhku dibalut dengan pakaian yang
bahkan sulit untukku bernapas. Rok di atas lutut dengan pakaian agak terbuka,
memperlihatkan leher jejang dan rambut panjangku. Belum lagi goresan make-up di
wajah dan parfum menyengat, mereka segera bisa menyimpulkan jenis wanita
seperti apa aku ini, terlebih aku berjalan seorang diri di tengah malam. Aku benar-benar
dalam kondisi yang sulit untuk dibayangkan. Keluar dari kadang buaya, aku justru
memberikan tubuhku ke segerombolan serigala.
Aku
hanya bergidik, takut membayangkan apa yang akan terjadi. Tapi rasa takut itu
mulai sirna sedikit ketika datang seorang pria yang menyela ketiga serigala
ini. Tapi, perasaan lega itu hanya sesaat. Karena pria itu berjalan
sempoyongan, menggenggam botol minuman keras, menyongsong kami.
Aku
telah meminta kepada mereka, untuk mengambil apa pun yang ku miliki, dan
membiarkan aku pergi. Tapi, ruapanya mereka menginginkan lebih, mereka
menginginkan lebih dari sekedar barang-barang yang ku bawa. Mereka menginginkan
tubuh molekku. Aku tertegun, benar-benar tak bisa membayangkan hal ini.
Tapi
sebelum semuanya ku mengerti, kejadian itu cepat berlalu. Ketiga orang tersebut
tumbang, dengan darah mengucur dari kepala dan perut mereka, sementara satu
orang lagi terkapar dengan lelehan darah yang keluar dari mulutnya. Dan kini,
hanya tersisa dia seorang, lelaki yang tadi berjalan sempoyongan, kini tak ada
lagi botol minuman yang tergenggam di tangan. Karena telah pecah di kepala
orang itu, sementara sisa pecahannya masuk ke dalam perut si plontos.
Tampang
pria itu jelas tak bersabahat. Dari kata-katanya sangat kasar. Sementara itu,
penampilannya tak lebih dari sekedar pemabuk. Rambut gondrong tergerai, jambang
tak terawat dengan bau alcohol yang juga menyengat. Tapi, dia masih tampak
bingung. Entah karena apa, dia melihat tangannya yang tadi memegang botol. Mungkin
menyesal karena minuman itu telah berhamburan di jalanan.
Belum
mendapat penjelasan, pria itu menyentak dengan kasar, menyuruhku segera
bergegas meninggalkannya. Dan tanpa pikir panjang, aku bergegas, hanya saja tak
sempat ku ucapkan terima kasih kepadanya.
Pikiranku
masih melayang bebas di awang-awang. Sementara aroma hujan masih menyisakan
sebuah tanya. Aku terpekur, nyaris saja terjerumus ke jurang itu. Tapi, aku
belum benar-benar terlepas dari kondisi itu. Entah sampai kapan aku bisa
bertahan. Pertanyaan ini, apakah bisa akan terjawab dengan satu kata. Dan malam
benar-benar menikam keadaan, benar-benar menyayat perasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar