Kamis, 21 Mei 2015

Menikam Malam #2

#Wanita Pesolek
Ilustrasi: cdn.metrotvnews.com


Pukul 01.43 dini hari, tidak terasa waktu berlalu begitu cepat. Napasnya masih tersengal. Kejadian itu begitu cepat berlalu. Semuanya masih ada di depan mata, sangat nyata. Tangannya masih bergetar hebat, sementara keringat dingin terus mengucur. Masih bisa terlihat dengan jelas, bagaimana si botak yang mencoba menjamahku tadi rubuh seketika, setelah pecahan botol itu merobek perutnya, sementara dua lainnya juga terkapar tak berdaya. Lantas, siapa orang itu, kenapa dia membantuku, kenapa dia menolongku. Lalu, kenapa dia juga begitu dingin, kenapa dia begitu kasar. Siapa dia, sama seperti ketiga lelaki itu, preman atau anggota geng, atau dia hanya sekedar lewat, tapi dia menenggak minuman keras. Ahh, semua pertanyaan itu berkecamuk di benaknya, masih belum ada titik terang dari semua tanya itu.

Malam merangkak pelan, di dalam taksi Rey masih terpekur. Menggigil ketakutan, sementara sang sopir fokus memegang kemudi. Jalanan lengang, hanya ada beberapa kendaraan yang melintas, suasana kota ini memang begitu syahdu, terlebih ketika malam menjelang atau ketika tak terlalu banyak aktifitas.

“Mau kemana neng kita?”

Aku tersentak, menepuk jidat. Sial, aku lupa belum memberikan alamat jelas akan kemana tujuanku.

“Ke Burangrang pak,” jawabku.

Dalam hati Rey hanya bisa merutuki nasibnya malam ini. Entah mimpi apa semalam, hanya satu, hari ini benar-benar kacau. Rentetan masalah terus mendera bak gelombang pasang, terus menerjang, bahkan hampir saja merobohkannya. Pagi-pagi sekali dia harus mencari cara, bagaimana untuk bisa mencari uang pinjaman, kira-kira selepas subuh, ia mendapatkan telepon dari kampung, adiknya masuk rumah sakit karena typus, dengan kata lain, orang tuanya butuh uang segera. Persediaan uangnya habis sudah, pekerjaannya yang hanya sebabai pelayan sebuah café habis, bulan ini dia telah mengirimkan uangnya ke rumah sebanyak dua kali, dan ini kali ketiga ibunya berikan kabar yang mengusiknya.

Sempat terlintas untuk meminjam uang, tapi kepada siapa. Ke tempat ia bekerja, hal yang tidak mungkin, dia terlalu sering melakukan kas bon. Dan kali ini benar-benar mendesak, Ari, adiknya telah demam tinggi lebih dari dua hari, segala macam obat tradisional telah diberikan, tapi kondisi itu tidak membaik, dan terpaksa harus mendapatkan rawat intensif di rumah sakit.

Sempat kembali terlintas di pikirannya untuk menerima tawaran Kikan yang diterimanya sore tadi, ia kembali membuka pesan singkat yang membuatnya tersentak. Tapi kali ini, tawaran itu benar-benar membuatnya bimbang.

“Rey, temanku minta ketemuan sama kamu, kalo mau kamu datang malam nanti jam 10 di Andalusia café.” Kikan mengirimkan  pesan tersebut.

Sebuah ajakan yang tidak bisa langsung ku iya-kan. Beberapa hari lalu, aku menceritakan masalah finansial ini kepadanya. Dia memberikan pinjaman uang yang ku butuhkan, sekaligus memberikan solusi untukku. Ada alasan penting, kenapa Kikan menjadi tujuanku ketika keadaan finansial mendesak, sebab dari segi ekonomi, dia jelas lebih mapan dariku. Padahal, dia satu tempat kerja denganku, dan dia selalu bisa memiliki uang lebih. Sempat ku tanyakan hal itu kepadanya, tapi ia hanya tersenyum sembari berkata.

“Nanti aku bakal cerita, kalo kamu benar-benar butuh bantuanku, sekarang, kamu tidak harus tau,” aku hanya mengangguk. Tidak banyak kata, karena hingga saat ini dia adalah satu-satunya sahabat terbaikku.

Dan dua hari lalu, saat ku ceritakan masalah ini kepadaku dia mengungkap sebuah rahasia yang tetap bungkam. Rahasia yang membuatku hanya bisa termenung, tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Ketika fajar tenggelam, hatiku berkecamuk kelam. Sebuah pertanyaan yang tidak gampang untuk ku tuntaskan, sebuah tanya yang ingin selalu ku tanyakan, tapi, aku masih belum tahu, kepada siapa pertanyaan ini akan ku berikan.

“Kamu pikir, hanya menjadi pelayan café, aku bisa menghidupi diriku. Kamu lihat, pakaian ini, tempat tinggal ini, sepatu, tas dan semua yang ku punya, tentu tidak bisa didapatkan dengan bekerja sebagai pelayan café. Tapi aku bisa mendapatkan semua itu, dengan melayani mereka. Orang-orang berduit itu,”

“Ya, mungkin kau akan segera merasa jijik denganku. Tapi, kamu tau, semua itu adalah harga yang pantas didapatkan. Orang-orang seperti kita ini, sulit untuk bisa hanya sekedar berjalan. Kerja banting tulang, mengeluarkan yang terbaik, tapi kamu lihat kan? Cucuran keringat kita hanya dibayar dengan uang yang bahkan tidak cukup untuk makan sebulan,”

“Kerja di kantoran, untuk orang desa seperti kita, sulit. Terlebih sekarang persaingan dunia kerja seperti itu. kamu tahu, berapa banyak sarjana di sana yang berakhir hanya duduk-duduk saja sehabis kuliah, sementara kita yang mengandalkan ijazah SMA, apa yang bisa kita lakukan? Tidak ada Rey!”

Mata Kikan berkaca-kaca. Jelas dia tidak menikmati apa yang dilakukannya saat ini. Aku hanya bisa memeluknya. Tak ada sepatah kata yang bisa terlontar dari bibirku.

“Kamu tahu Rey, awalnya ku lakukan itu karena butuh biaya. Kau tahu, seperti saat ini, sama seperti yang kamu alami. Orang tuaku terlilit hutang, Bapakku, terlilit hutang oleh rentenir, dan tanah miliki mereka telah habis terjual. Dan harapan satu-satunya, hanya aku. Mereka memberikan kabar kepadaku, jika hutang tersebut tidak segera dilunasi, Bapak akan dipenjara. Aku tak mau melihat keluargaku seperti itu. biarkan aku berkorban lebih. Mereka telah melakukan banyak hal untukku. Dan sekarang, giliranku berkorban untuk mereka.”

“Kamu tahu Rey, kondisi itu tidak semakin membaik. Setelah ku bayar hutang itu. Bapak tiba-tiba sakit, entah bagaiamana caranya mereka tahu pekerjaanku ini. Bapak tidak menerima itu, akibatnya dia kena serangan jantung. Dan tak lama kemudaian, ia harus meninggalkan kami. Meninggalkan ibu dan dua adikku yang masih sekolah. Dan sekarang, hanya aku satu-satunya tulang punggung keluarga ini, pekerjaan ibu yang hanya buruh tani, tak cukup untuk membiayai sekolah kedua adikku. Aku tidak ingin kedua adikku mengalami nasib yang sama denganku, terjerambab di jurang kenistaan ini. Sekuat tenaga, aku akan menyekolahkan mereka, kini mereka telah masuk universitas, sebentar lagi salah satu dari mereka akan mendapatkan gelar sarjana. Besar harapanku untuk mereka,”

Aku hanya bisa diam. Sungguh, tak pernah terbersit di pikiranku, tentang sahabat baikku ini. Aku hanya bisa diam seribu bahasa.

“Kamu tidak harus mengikuti jejakku Rey, aku tahu kamu perempuan baik. Kamu bisa melalui semua ini tanpa harus melumuri tubuhmu dengan dengus sejuta lelaki,” ungkapnya lirih.

Kikan menyodorkan amplop kepadaku, aku hanya menatapnya.

“Ini, mungkin bisa meringankan bebanmu, uang ini memang dari hasil nista. Tapi aku tulus memberikannya untukmu.”

Aku hanya menggeleng, menolak bantuannya.

“Kenapa? Bukankah kamu butuh ini. untuk berobat adikmu Rey.”

“Maaf, aku tidak bisa. Maafkan aku, kamu lebih membutuhkannya dariku. Aku baik-baik saja, aku bisa melalui ini. semoga,” ucapku lirih.

“Baiklah, keputusanmu. Aku tidak bisa memaksa.”

Aku hanya mengangguk pelan. Sementara itu, langit di atas sana tampak tersenyum. Indah, lukisan Illahi tampak begitu anggun. Dengan lembayung memeluk senja yang mempesona. Aku terpaku sesaat, menikmati sebagian hari yang mulai tenggelam. Sementara hatiku, sungguh tak bisa merasakan kedamaian kota yang tersenyum di batas waktunya.

Malam merambat pelan, rinai hujan menyisakan hawa dingin. Menusuk tulang, pesona mentari memang telah tenggelam di batas cakrawala. Tapi, kota ini, selalu menyajikan pesona yang berbeda. Akan selalu tampak cantik, tak perlu bersolek. Dan aku, masih terpaku di depan cermin. Menatap wajahku yang baru saja selesai dipoles dengan make-up, membayangkan wajahku dijamah oleh orang lain, aku bergidik. Tak sanggup membayangkannya. Tapi tekadku sudah bulat, tadi aku membalas pesan singkat kepada Kikan. Bahwa aku akan menemuinya di café yang telah ditentukan olehnya. Tekadku, bahkan mengalahkan rasa jijikku terhadap semua ini.

Pukul 08.00, aku harus segera bergegas. Hujan tidak akan menyurutkan geliat kota ini. Tentu jalanan akan semakin padat, ditambah ini adalah weekend, akan banyak pelancong yang datang ke kota ini. Hatiku diliputi perasaan gamang luar biasa, hatiku tidak bisa menerima ini, tapi jelas keadaan benar-benar membuatku harus melupakan ego dan mungkin harga diri. Tapi, sejak tadi aku berada di tempat ini, masih berusaha menimbang apa yang ku lakukan, dan akhirnya ku putuskan untuk mengirim pesan singkat kepada Kikan.

“Kikan, maaf. Aku tidak bisa.” tulisku singkat.

Tidak menuggu lama, teleponku berdering. Nada panggilannya meraung-raung, berpadu dengan bisingnya gejolak hatiku. Ku putuskan untuk menolak panggilan itu. Telah tiga kali, Kikan memanggil ulang, aku benar-benar tidak bisa menerima ajakan itu. Hatiku menolak tegas. Tapi, sekelebat bayangan adik dan keluargaku di rumah, sesaat mendatangiku. Terbayang wajah adikku yang saat ini tergolek lemas karena sakit, terbayang wajah ibu yang cemas menunggu. Maaf, bu, aku tidak bisa melakukan ini. batinku lirih.

Ku matikan teleponku, ku putuskan untuk berjalan melewati malam. Dan sial, ketika lamunanku mengintimidasi logikaku, aku telah berada di tempat ini, tempat yang sepi. Sementara kini, di depanku telah berdiri tiga orang laki-laki. Dari tampangnya, mereka bukanlah kiyai atau ustadz. Bau alcohol menyengat, sementara itu lelaki yang berkepala plontos dipenuhi dengan tato, sementara dua lainnya bisa ku simpulkan, mereka juga bukan orang baik-baik.

Mereka mungkin juga berpikiran sama denganku. Tubuhku dibalut dengan pakaian yang bahkan sulit untukku bernapas. Rok di atas lutut dengan pakaian agak terbuka, memperlihatkan leher jejang dan rambut panjangku. Belum lagi goresan make-up di wajah dan parfum menyengat, mereka segera bisa menyimpulkan jenis wanita seperti apa aku ini, terlebih aku berjalan seorang diri di tengah malam. Aku benar-benar dalam kondisi yang sulit untuk dibayangkan. Keluar dari kadang buaya, aku justru memberikan tubuhku ke segerombolan serigala.

Aku hanya bergidik, takut membayangkan apa yang akan terjadi. Tapi rasa takut itu mulai sirna sedikit ketika datang seorang pria yang menyela ketiga serigala ini. Tapi, perasaan lega itu hanya sesaat. Karena pria itu berjalan sempoyongan, menggenggam botol minuman keras, menyongsong kami.

Aku telah meminta kepada mereka, untuk mengambil apa pun yang ku miliki, dan membiarkan aku pergi. Tapi, ruapanya mereka menginginkan lebih, mereka menginginkan lebih dari sekedar barang-barang yang ku bawa. Mereka menginginkan tubuh molekku. Aku tertegun, benar-benar tak bisa membayangkan hal ini.

Tapi sebelum semuanya ku mengerti, kejadian itu cepat berlalu. Ketiga orang tersebut tumbang, dengan darah mengucur dari kepala dan perut mereka, sementara satu orang lagi terkapar dengan lelehan darah yang keluar dari mulutnya. Dan kini, hanya tersisa dia seorang, lelaki yang tadi berjalan sempoyongan, kini tak ada lagi botol minuman yang tergenggam di tangan. Karena telah pecah di kepala orang itu, sementara sisa pecahannya masuk ke dalam perut si plontos.

Tampang pria itu jelas tak bersabahat. Dari kata-katanya sangat kasar. Sementara itu, penampilannya tak lebih dari sekedar pemabuk. Rambut gondrong tergerai, jambang tak terawat dengan bau alcohol yang juga menyengat. Tapi, dia masih tampak bingung. Entah karena apa, dia melihat tangannya yang tadi memegang botol. Mungkin menyesal karena minuman itu telah berhamburan di jalanan.

Belum mendapat penjelasan, pria itu menyentak dengan kasar, menyuruhku segera bergegas meninggalkannya. Dan tanpa pikir panjang, aku bergegas, hanya saja tak sempat ku ucapkan terima kasih kepadanya.


Pikiranku masih melayang bebas di awang-awang. Sementara aroma hujan masih menyisakan sebuah tanya. Aku terpekur, nyaris saja terjerumus ke jurang itu. Tapi, aku belum benar-benar terlepas dari kondisi itu. Entah sampai kapan aku bisa bertahan. Pertanyaan ini, apakah bisa akan terjawab dengan satu kata. Dan malam benar-benar menikam keadaan, benar-benar menyayat perasaan. 



Subscribe to Our Blog Updates!




Share this article!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML