Selasa, 19 Mei 2015

Ketika Mata Sang Fajar Menyingkap Tanya

#Kapan
Ilustrasi: 3.bp.blogspot.com

Mata sang fajar sebentar lagi terbuka, menyapa dunia dengan cahayanya, hangat. Menyibak pelan selimut kabut yang memeluk cakrawala, menembus diantara dedaunan, sementara semilir angin mengajak burung-burung tuk berdansa, bersenandung menyapa hari, bercengkrama dengan embun pagi, menyibak sisa kenangan yang hendak terbuang, terbungkam ribuan kata yang tersusun rapih.

Sementara aku masih terjaga dengan kejadian malam tadi, ketika tak ada rembulan dan bintang yang bermunculan di angkasa, hanya ada gelap yang menyelimuti hari. Sementara sendu cahaya lampu dari jalanan, menambah syahdu ketika petang beranjak dari peraduan, semakin sunyi ketika pekat benar-benar menikam waktu.

“Kapan waktu itu akan tiba?” suaranya memecah keheningan.

Sejurus mataku bertatap dengan matanya, mencoba menggali jawaban dari tanya yang akan melahirkan pertanyaan baru.

“Kapan, apakah akan seindah yang kita kira? Apakah akan semudah seperti yang kita inginkan? Apakah semuanya bisa terjadi seperti yang kita khayalkan?”

“Kapan?” gumamku perlahan, mencoba meyakinkan tentang tanya yang di ucapkan.
“Iya, kapan?”

“Entahlah, biarkan waktu yang akan berkata kepada kita, biarkan dia berbicara dengan caranya, biarkan kenyataan membimbing kita, biarkan seperti itu adanya. Tak perlu kita bertanya-tanya, tak perlu kita menerka-nerka, biarkan dia seperti matahari, yang terus berputar. Bahkan matahari tak pernah bertanya, kenapa dia terus melakukan hal yang sama setiap waktu, dia diperintahkan seperti itu, dan itulah yang dilakukannya, dan kita, kita harus seperti itu. menjalani semua ini, tanpa harus bertanya kapan waktu itu akan tiba,”

“Aku tak mengerti,” jawabnya, menatapku. Tajam.

“Kau bahkan tak perlu tahu tentang hal itu, kau bahkan tidak harus mengerti saat ini, tidak sekarang,” jawabku.

“Terkadang kita memang perlu penjelasan, karena memang fitrah kita, akan selalu minta penjelasan, meski sudah jelas hal itu tergambar dari setiap kejadian, tetapi, kita tidak akan pernah berhenti meminta penjelasan. Tapi, terkadang kita tidak harus mencari penjelasan, atau bahkan memintanya, karena itu akan menajdi jelas seiring waktu berjalan perlahan. Tidak sekarang, tapi nanti. Bersabar, hanya itu yang perlu kita lakukan,”

Ia tersenyum menatapku. Aku sangat suka senyum itu. Aku sangat suka guratan alis di wajah itu, aku selalu suka.

Percakapan singkat itu begitu menohokku, menghujam, pertanyaan tentang ‘kapan’ adalah pertanyaan yang lebih dari sekedar apa pun. Karena hal itu menjelaskan tentang waktu, waktu yang bahkan aku sendiri tidak akan pernah tahu, apakah akan bisa melihat mentari esok hari. Pertanyaan ‘kapan’, aku selalu tak bisa menjawabnya.

Temaran lampu jalanan masih menghiasi kota yang habis bersolek. Di jantung kota, kerumuman orang-orang tidak pernah berhenti berlalu lalang, mengabadikan momen dengan rekan, dan sang pujaan. Momen yang sungguh, aku bisa menangkap rona bahagia di sana, sementara aku, dingin melalui lautan tawa manusia, kembali bertanya-tanya, tentang pertanyaan yang tak ingin ku jawab.

Dan ketika sepertiga malam, otakku mulai protes. Keterlaluan, pikiranku kacau, sulit untukku bisa fokus. Sementara malam terus merangkak, tak ku pedulikan hawa dingin yang dibawa semilir angin, jemariku masih menari, merangkai kata, menjadi bagian-bagian yang terhubungkan. Aku masih terpaku di layar 14 inci, menjelajah daya nalarku, menekan imajinasi.

Aku masih belum mengerti tentang tanya yang entah kapan akan terjawab. Jika kau khawatir, aku pun sama. Jika kau takut, aku juga. Ya, terlebih bayang-bayang tentang kegagalan akan selalu ada,  melintas di kepala, menyapa pelan, mengusap imaji, mencoba mengintimidasi. Dan aku pernah menyerah dengan keadaan seperti itu beberapa waktu lalu, dan sekarang, tak akan ku biarkan dia kembali mengintimidasiku, mengintimidasi kita.

Sementara jingga mulai terlihat di atas cakrawala, rasa kantuk mulai menyergap pelan. Akan ku arungi syahdu pagi ini dengan sedikit mimpi, akan ku basuh dengan keyakinan sang fajar. Setidaknya, mataku sudah mulai merasakan kantuk, sepagi ini, ketika sebagian orang beranjak dari ranjang, aku terkapar di jalan, jalan yang entah akan menuju kemana. Aku, kamu, hanya dua orang bodoh yang berusaha untuk tidak saling menyakiti. Dan setidaknya, dua orang bodoh ini tidak akan saling mengkhinati. Janji seorang pengkhayal masih bisa kau pegang, untuk saat ini, dan mudah-mudahan hingga nanti..





Subscribe to Our Blog Updates!




Share this article!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML