#Hanya Satu Kata untuk Menjawab
Tanya
Ilustrasi:nadyneharts.files.wordpress.com |
“Yaa
Rabb, jika kau berikan kesempatan itu padaku, sungguh sebenarnya aku tidak
benar-benar yakin bisa melaluinya tanpa berbuat salah sedikit pun. Aku akan
banyak melakukan banyak sekali kesalahan, atau mungkin aku akan tersesat,
terjerembab ke dalam jurang itu. Tapi, sungguh, keinginanku untuk
mendapatkannya, mendapatkan kesempatan untuk kembali ke jalan-Mu, melebihi
kemampuanku sendiri,”
“Maka,
jangan Kau uji aku dengan sesuatu yang sebenarnya tidak mampu ku tanggung. Ajari
aku untuk menerima semua keputusan-Mu, jangan pernah kau berikan kesempatan
kepada hati ini untuk mempertanyakan setiap keputusan yang Kau berikan untukku,”
“Biarkan
aku paham, bahwa Kau hanya akan memberikan apa yang ku butuhkan, bukan tentang
apa yang ku inginkan. Biarkan aku mengerti, jika sesuatu yang ku anggap baik,
belum tentu baik menurut-Mu. Sungguh, Kau tidak akan membiarkanku hidup tanpa
mendapatkan ujian.” dinginnya udara pagi ini mengiringi setiap tarikan napas
dalam setiap detik, sesak paru-paruku.
Otakku
sepertinya sudah rusak, entah untuk keberapa kalinya aku berani mempertanyakan
keputusan Penciptaku, sungguh, aku bahkan merasa ini seperti tumpukan masalah
yang kian menggunung. Jika benar ini adalah ujian, kenapa aku bahkan tidak
pernah lulus melaluinya.
Berulang
kali aku terjerembab ke dalam nistanya bujuk rayu iblis yang menjelma menjadi
hawa nafsu. Sementara pagi menyapa dengan suara merdu para muadzin yang memanggil
manusia untuk bercengkrama dengan Tuhannya, terdengar dari setiap corong suaru
tempat ini, tanganku masih mencengkram dosa. Menggenggamnya begitu erat, bahkan
hatiku yang bergetar mendengar seruan itu tak mampu berbuat banyak, hanya bisa
menunduk, sementara kakiku, masih terpaku di tempat ini.
Duduk
diantara cawan yang berisikan air iblis, menggenggam lintingan daun setan,
mereguk nikmatnya dosa dalam balutan semu, bagai fatamorgana di luasnya gurun,
semuanya tampak indah, nikmat sesaat yang hanya menjurus pada satu lubang yang
mengaga, lebih dalam dan lebih pekat. Meneguk setiap tetes dosa dalam rintihan
nada yang menyayat hati, melengkapi setiap detik waktu, tanpa ada kebaikan yang
terdapat di dalamnya.
Matahari
makin tinggi, hanya beberapa saat, jagat yang pekat, dipenuhi dengan rahmat. Bahkan
sang penguasa alam semesta ini masih memberikan rahmatnya kepadaku yang basah
oleh nista. Sementara ku lihat di seberang jalan itu, tampak dua bocah mungil
meringkuk di ketiak ibunya, menahan tusukan sisa hawa dingin subuh yang syahdu,
lalu masih ada juga tusukan sinis mata beberapa insan yang lalu lalang di
depannya, dengan pakaian rapih perlente dan wangi parfum imitasi.
Aku,
bahkan lebih jijik lagi melihat fenomena itu, aku memang hina dilumuri dosa,
tapi setidaknya, masih ada keinginanku untuk memberikan sebagian nasi yang ku
beli, entah apakah itu dihitung menjadi sebuah kebaikan atau tidak. Aku hanya
ingin orang yang paling dekat denganku tidak merasa lapar ketika aku
kekenyangan. Hanya itu yang ku pedulikan, masalah itu sebuah kebaikan atau
tidak, itu bukan urusanku.
Ketika
mata pagi benar-benar terbuka, semakin ramai orang berlalu-lalang. Aku selalu
menikmati pagi di kota ini, meski sesaat, karena sepanjang siang aku akan
terlelap, di mana saja, kota ini masih menyisakan banyak pohon rindang dan
nyaman taman. Semuanya adalah alas yang nyaman untuk mengusir kantuk. Satu lagi,
aku selalu suka menanti sesosok wanita itu, wanita yang beberapa hari lalu menjerit
ketika segerombolan preman dadakan mencoba merenggut paksa tas di tangannya.
....
“Jangan,
saya mohon. Jangan apa-apakan saya. Kalian ambil saja semuanya, tapi biarkan
saya pergi,” lamat-lamat terdengar suara perempuan memohon, bergetar suaranya
menyibak malam. Menggangu ritualku malam ini, meneggak anggur.
“Hahaha..
Kenapa kau menangis cantik?? Heh, kau bahkan lebih cantik ketika menangis,”
salah seorang laki-laki berusaha menjamah wajah perempuan itu. Aku masih berada
di tempatku, tidak terlalu jauh, hanya beberapa meter.
Reflek,
lengan wanita itu menepis tangan lelaki botak penuh tato itu. Merasa dihina, si
botak tak terima. Sejurus mataku menangkap bahwa tangan lelaki itu akan
menampar wajah wanita berambut panjang itu. Tak jelas mukanya, temaram cahaya
lampu itu tak mampu menyingkap pekatnya malam.
“Cukup!
Kau ambil yang kau mau, lalu kau pergi dari sana.” sejenak ayunan tangan si botak
terhenti, menoleh ke arah sumber suara, bersama dengan dua kawannya, juga
serempak menoleh. Tentu dia tidak memperhatikan sebelumnya bahwa ada orang di
sekitar sana.
“Heh,
mau apa kau? Mau jadi pahlawan?!” sergah salah seorang pria yang sedikit lebih
gempal. Perutnya buncit, tentu orang itu terlalu banyak makan daripada
bergerak.
“Kubilang,
ambil yang kalian mau. Lalu pergi dari sini! Aku muak mendengarkan tangis
wanita itu, atau jika kalian tidak segera pergi, aku akan paksa kalian,” aku
berdiri, menggenggam erat botol minuman yang baru setengah ku tenggak,
melangkah mendekat.
Merasa
ada bahaya mendekat, ketika lelaki itu siaga. Menyeringai ke arahku, tentu saja
mereka menjadi berani, tiga lawan satu. Tidak sebanding. Tapi, jangan ragukan
aku jika tidak berhasil mengusir curut-curut pengecut itu. Mereka yang hanya
berani terhadap seseorang yang lebih lemah, tak jauh berbeda dengan para biadab
yang merenggut apa yang ku miliki sebelumnya, sesuatu yang sangat berharga.
“Kalau
kami tidak tidak pergi kau mau apa? Mau..”
Prang!
Tanpa basa-basi botol yang ku genggam ku hempaskan ke kepala si botak, suaranya
terpotong ketika sekuat tenaga ku pukulkan ke kepalanya. Ia terhuyung ke
samping, sejenak keseimbangannya hilang, sementara kepalanya mengucur darah
segar bercampur bau alcohol yang menyengat.
Sisa
pecahan dari leher botol yang masih ku genggam erat, segera ku hujamkan ke
perut lelaki buncit yang terlalu banyak bicara, membungkam mulutnya, hanya
terdengar lenguhan kecil ketika sisa pecahan botol itu menusuk perut yang
dipenuhi lemak. Sementara lelaki satunya, yang badannya lebih kerempeng dariku,
tak lama mengalami nasib serupa. Tak terlalu sulit bagiku untuk merobohkannya,
telak tinjuku mengenai rahangnya.
Aku
nyaris terjerembab, tapi keseimbanganku masih terjaga. Tiang telepon di
sebelahku menopang badanku yang mulai goyah. Sementara wanita itu hanya menutup
mulut, suaranya tercekat di tenggorokan, melihat tiga lelaki yang tadi
mengganggunya tersungkur di sekitarnya.
Ku
tatap wajahnya, pucat pasi. Mungkin rasa takutnya kini berkali-kali lipat lebih
dahsyat dari beberapa menit lalu. Gemetar tubuhnya, matanya nanar menatapku
gentar.
“Kalian
terlalu banyak bicara. Dasar amatir!” suaraku membentak mereka bertiga. Sementara
sejurus kemudian, ku tatap wanita itu. Masih gemetar menatapku.
“Kenapa
kau belum juga pergi? Belum pernah melihat orang berkelahi? Heh?!” ucapku
ketus.
Tanpa
menungguku kembali berkata, wanita itu bergegas, mengambil tas yang tergeletak
tak jauh darinya, melangkah perlahan menjauh dariku, sebelum berlari, ia
menatapku. Mata sayu yang menggambarkan banyak rasa di dalamnya. Ku kibaskan
tanganku, pertanda menyuruhnya cepat pergi dari tempat itu. Menahan kata yang
hendak terlontar dari mulutnya.
Sementara
wanita itu berlalu, mencegat taksi dan kemudian menghilang di tikungan jalan. Aku
bergegas pergi, meninggalkan ketiga orang yang masih terkapar. Sementara malam
berlalu, aku merutuki kebodohanku, bukan karena apa-apa. Minuman di botol itu,
adalah yang terakhir, sementara tak ada lagi sisa uang di saku celanaku, malam
ini aku hanya akan tidur, tanpa ritual hingga subuh menjelang. Sial!
Mataku
terbuka, ketika ku lihat sepasang kaki berdiri tegak di depanku. Dan ketika
mataku tertuju ke arah wajahnya, ia sedikit mundur. Seorang wanita, aku tak
mengenalnya.
“Ini,
terima kasih buat kemarin,” katanya pelan, takut-takut memberikan bungkusan di
tangannya.
“Hah,
siapa kau?!” jawabku menyentak, masih berusaha mencerna keadaan. Belum lama
mataku terpejam usai menyelesaikan ritual, dan kini ada orang yang mengganggu,
jika bukan wanita, mungkin makianku akan terlontar dari mulutku, plus tinju
jika ia benar-benar mengganggu. Tapi karena yang berdiri di depanku adalah
wanita, aku mengurungkan niatku. Aku tak pernah berkelahi dengan wanita, dan
itu masalah prinsip, tak perlu ada tanya di sana.
Tanpa
berkata, ia meletakkan bungkusan di tangannya. Dan tanpa sempat ku berkata, dia
telah berlalu.
“Hei,
aku bukan pengemis! Lebih baik kau berikan kepada orang yang ada di sana,”
ujarku sembari menunjuk beberapa gelandangan yang bersimpuh di pelataran.
Wanita
itu tidak peduli, tetap melangkah. Menjauh. Aku mengumpat dalam hati. Berani-beraninya
wanita itu menganggapku seperti pengemis. Aku bahkan tidak pernah meminta-minta.
Kedua tanganku masih mampu untuk menghasilkan uang apa lagi hanya sekedar untuk
makan.
“Hei!”
aku berdiri, berusaha mencegahnya, tapi ia keburu hilang di tikungan itu. Aku hanya
menggerutu dalam hati. Sembari berjalan, ku berikan kepada gelandangan yang
berada di sudut jalan. Dua bocah yang berada dekat di kaki ibunya. Mereka senang
tak kepalang, menerima suguhan di pagi hari ini.
Kejadian
itu cepat berlalu, dan beberapa kali, bahkan lebih sering wanita itu memberikan
bungkusan setiap pagi. Dan beberapa hari
ini, hal itu benar-benar mengusikku. Aku ingin tahu, apa yang sebenarnya
diinginkannya. Dan ketika malam beranjak pelan, saat rintik-rintik hujan
menyapa malam yang masih belia, ku tahu apa maksudnya, ketika aku dan wanita
itu berteduh di pelataran toko ini. Hanya sedikit ucapnya, kemudian menyibak
hujan yang masih menggerus sisa hangat sapa senja yang bersolek di ufuk barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar