Rabu, 20 Mei 2015

Menikam Malam #1

#Hanya Satu Kata untuk Menjawab Tanya
Ilustrasi:nadyneharts.files.wordpress.com

“Yaa Rabb, jika kau berikan kesempatan itu padaku, sungguh sebenarnya aku tidak benar-benar yakin bisa melaluinya tanpa berbuat salah sedikit pun. Aku akan banyak melakukan banyak sekali kesalahan, atau mungkin aku akan tersesat, terjerembab ke dalam jurang itu. Tapi, sungguh, keinginanku untuk mendapatkannya, mendapatkan kesempatan untuk kembali ke jalan-Mu, melebihi kemampuanku sendiri,”

“Maka, jangan Kau uji aku dengan sesuatu yang sebenarnya tidak mampu ku tanggung. Ajari aku untuk menerima semua keputusan-Mu, jangan pernah kau berikan kesempatan kepada hati ini untuk mempertanyakan setiap keputusan yang Kau berikan untukku,”

“Biarkan aku paham, bahwa Kau hanya akan memberikan apa yang ku butuhkan, bukan tentang apa yang ku inginkan. Biarkan aku mengerti, jika sesuatu yang ku anggap baik, belum tentu baik menurut-Mu. Sungguh, Kau tidak akan membiarkanku hidup tanpa mendapatkan ujian.” dinginnya udara pagi ini mengiringi setiap tarikan napas dalam setiap detik, sesak paru-paruku.

Otakku sepertinya sudah rusak, entah untuk keberapa kalinya aku berani mempertanyakan keputusan Penciptaku, sungguh, aku bahkan merasa ini seperti tumpukan masalah yang kian menggunung. Jika benar ini adalah ujian, kenapa aku bahkan tidak pernah lulus melaluinya.

Berulang kali aku terjerembab ke dalam nistanya bujuk rayu iblis yang menjelma menjadi hawa nafsu. Sementara pagi menyapa dengan suara merdu para muadzin yang memanggil manusia untuk bercengkrama dengan Tuhannya, terdengar dari setiap corong suaru tempat ini, tanganku masih mencengkram dosa. Menggenggamnya begitu erat, bahkan hatiku yang bergetar mendengar seruan itu tak mampu berbuat banyak, hanya bisa menunduk, sementara kakiku, masih terpaku di tempat ini.

Duduk diantara cawan yang berisikan air iblis, menggenggam lintingan daun setan, mereguk nikmatnya dosa dalam balutan semu, bagai fatamorgana di luasnya gurun, semuanya tampak indah, nikmat sesaat yang hanya menjurus pada satu lubang yang mengaga, lebih dalam dan lebih pekat. Meneguk setiap tetes dosa dalam rintihan nada yang menyayat hati, melengkapi setiap detik waktu, tanpa ada kebaikan yang terdapat di dalamnya.

Matahari makin tinggi, hanya beberapa saat, jagat yang pekat, dipenuhi dengan rahmat. Bahkan sang penguasa alam semesta ini masih memberikan rahmatnya kepadaku yang basah oleh nista. Sementara ku lihat di seberang jalan itu, tampak dua bocah mungil meringkuk di ketiak ibunya, menahan tusukan sisa hawa dingin subuh yang syahdu, lalu masih ada juga tusukan sinis mata beberapa insan yang lalu lalang di depannya, dengan pakaian rapih perlente dan wangi parfum imitasi.

Aku, bahkan lebih jijik lagi melihat fenomena itu, aku memang hina dilumuri dosa, tapi setidaknya, masih ada keinginanku untuk memberikan sebagian nasi yang ku beli, entah apakah itu dihitung menjadi sebuah kebaikan atau tidak. Aku hanya ingin orang yang paling dekat denganku tidak merasa lapar ketika aku kekenyangan. Hanya itu yang ku pedulikan, masalah itu sebuah kebaikan atau tidak, itu bukan urusanku.

Ketika mata pagi benar-benar terbuka, semakin ramai orang berlalu-lalang. Aku selalu menikmati pagi di kota ini, meski sesaat, karena sepanjang siang aku akan terlelap, di mana saja, kota ini masih menyisakan banyak pohon rindang dan nyaman taman. Semuanya adalah alas yang nyaman untuk mengusir kantuk. Satu lagi, aku selalu suka menanti sesosok wanita itu, wanita yang beberapa hari lalu menjerit ketika segerombolan preman dadakan mencoba merenggut paksa tas di tangannya.
....

“Jangan, saya mohon. Jangan apa-apakan saya. Kalian ambil saja semuanya, tapi biarkan saya pergi,” lamat-lamat terdengar suara perempuan memohon, bergetar suaranya menyibak malam. Menggangu ritualku malam ini, meneggak anggur.

“Hahaha.. Kenapa kau menangis cantik?? Heh, kau bahkan lebih cantik ketika menangis,” salah seorang laki-laki berusaha menjamah wajah perempuan itu. Aku masih berada di tempatku, tidak terlalu jauh, hanya beberapa meter.

Reflek, lengan wanita itu menepis tangan lelaki botak penuh tato itu. Merasa dihina, si botak tak terima. Sejurus mataku menangkap bahwa tangan lelaki itu akan menampar wajah wanita berambut panjang itu. Tak jelas mukanya, temaram cahaya lampu itu tak mampu menyingkap pekatnya malam.

“Cukup! Kau ambil yang kau mau, lalu kau pergi dari sana.” sejenak ayunan tangan si botak terhenti, menoleh ke arah sumber suara, bersama dengan dua kawannya, juga serempak menoleh. Tentu dia tidak memperhatikan sebelumnya bahwa ada orang di sekitar sana.

“Heh, mau apa kau? Mau jadi pahlawan?!” sergah salah seorang pria yang sedikit lebih gempal. Perutnya buncit, tentu orang itu terlalu banyak makan daripada bergerak.

“Kubilang, ambil yang kalian mau. Lalu pergi dari sini! Aku muak mendengarkan tangis wanita itu, atau jika kalian tidak segera pergi, aku akan paksa kalian,” aku berdiri, menggenggam erat botol minuman yang baru setengah ku tenggak, melangkah mendekat.

Merasa ada bahaya mendekat, ketika lelaki itu siaga. Menyeringai ke arahku, tentu saja mereka menjadi berani, tiga lawan satu. Tidak sebanding. Tapi, jangan ragukan aku jika tidak berhasil mengusir curut-curut pengecut itu. Mereka yang hanya berani terhadap seseorang yang lebih lemah, tak jauh berbeda dengan para biadab yang merenggut apa yang ku miliki sebelumnya, sesuatu yang sangat berharga.
“Kalau kami tidak tidak pergi kau mau apa? Mau..”

Prang! Tanpa basa-basi botol yang ku genggam ku hempaskan ke kepala si botak, suaranya terpotong ketika sekuat tenaga ku pukulkan ke kepalanya. Ia terhuyung ke samping, sejenak keseimbangannya hilang, sementara kepalanya mengucur darah segar bercampur bau alcohol yang menyengat.

Sisa pecahan dari leher botol yang masih ku genggam erat, segera ku hujamkan ke perut lelaki buncit yang terlalu banyak bicara, membungkam mulutnya, hanya terdengar lenguhan kecil ketika sisa pecahan botol itu menusuk perut yang dipenuhi lemak. Sementara lelaki satunya, yang badannya lebih kerempeng dariku, tak lama mengalami nasib serupa. Tak terlalu sulit bagiku untuk merobohkannya, telak tinjuku mengenai rahangnya.

Aku nyaris terjerembab, tapi keseimbanganku masih terjaga. Tiang telepon di sebelahku menopang badanku yang mulai goyah. Sementara wanita itu hanya menutup mulut, suaranya tercekat di tenggorokan, melihat tiga lelaki yang tadi mengganggunya tersungkur di sekitarnya.

Ku tatap wajahnya, pucat pasi. Mungkin rasa takutnya kini berkali-kali lipat lebih dahsyat dari beberapa menit lalu. Gemetar tubuhnya, matanya nanar menatapku gentar.

“Kalian terlalu banyak bicara. Dasar amatir!” suaraku membentak mereka bertiga. Sementara sejurus kemudian, ku tatap wanita itu. Masih gemetar menatapku.

“Kenapa kau belum juga pergi? Belum pernah melihat orang berkelahi? Heh?!” ucapku ketus.

Tanpa menungguku kembali berkata, wanita itu bergegas, mengambil tas yang tergeletak tak jauh darinya, melangkah perlahan menjauh dariku, sebelum berlari, ia menatapku. Mata sayu yang menggambarkan banyak rasa di dalamnya. Ku kibaskan tanganku, pertanda menyuruhnya cepat pergi dari tempat itu. Menahan kata yang hendak terlontar dari mulutnya.

Sementara wanita itu berlalu, mencegat taksi dan kemudian menghilang di tikungan jalan. Aku bergegas pergi, meninggalkan ketiga orang yang masih terkapar. Sementara malam berlalu, aku merutuki kebodohanku, bukan karena apa-apa. Minuman di botol itu, adalah yang terakhir, sementara tak ada lagi sisa uang di saku celanaku, malam ini aku hanya akan tidur, tanpa ritual hingga subuh menjelang. Sial!

Mataku terbuka, ketika ku lihat sepasang kaki berdiri tegak di depanku. Dan ketika mataku tertuju ke arah wajahnya, ia sedikit mundur. Seorang wanita, aku tak mengenalnya.

“Ini, terima kasih buat kemarin,” katanya pelan, takut-takut memberikan bungkusan di tangannya.

“Hah, siapa kau?!” jawabku menyentak, masih berusaha mencerna keadaan. Belum lama mataku terpejam usai menyelesaikan ritual, dan kini ada orang yang mengganggu, jika bukan wanita, mungkin makianku akan terlontar dari mulutku, plus tinju jika ia benar-benar mengganggu. Tapi karena yang berdiri di depanku adalah wanita, aku mengurungkan niatku. Aku tak pernah berkelahi dengan wanita, dan itu masalah prinsip, tak perlu ada tanya di sana.

Tanpa berkata, ia meletakkan bungkusan di tangannya. Dan tanpa sempat ku berkata, dia telah berlalu.

“Hei, aku bukan pengemis! Lebih baik kau berikan kepada orang yang ada di sana,” ujarku sembari menunjuk beberapa gelandangan yang bersimpuh di pelataran.

Wanita itu tidak peduli, tetap melangkah. Menjauh. Aku mengumpat dalam hati. Berani-beraninya wanita itu menganggapku seperti pengemis. Aku bahkan tidak pernah meminta-minta. Kedua tanganku masih mampu untuk menghasilkan uang apa lagi hanya sekedar untuk makan.

“Hei!” aku berdiri, berusaha mencegahnya, tapi ia keburu hilang di tikungan itu. Aku hanya menggerutu dalam hati. Sembari berjalan, ku berikan kepada gelandangan yang berada di sudut jalan. Dua bocah yang berada dekat di kaki ibunya. Mereka senang tak kepalang, menerima suguhan di pagi hari ini.


Kejadian itu cepat berlalu, dan beberapa kali, bahkan lebih sering wanita itu memberikan  bungkusan setiap pagi. Dan beberapa hari ini, hal itu benar-benar mengusikku. Aku ingin tahu, apa yang sebenarnya diinginkannya. Dan ketika malam beranjak pelan, saat rintik-rintik hujan menyapa malam yang masih belia, ku tahu apa maksudnya, ketika aku dan wanita itu berteduh di pelataran toko ini. Hanya sedikit ucapnya, kemudian menyibak hujan yang masih menggerus sisa hangat sapa senja yang bersolek di ufuk barat.



Subscribe to Our Blog Updates!




Share this article!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML