#Secangkir Kenangan Manis di Sore
yang Romantis
Ilustrasi: http://4.bp.blogspot.com |
Terik
menyengat, membakar sisa harapan, lantas menguap. Menghilang entah kemana. Rasa
kantuk mulai menyergapku, di bawah pohon rindang ini, semuanya begitu
menenangkan. Entah, sudah berapa lama tak ku injakkan kaki di pelataran rumah
itu. Bangunan dengan tembok tinggi, berjejer mobil di dalam garasi. Lagi pula,
tak ada gunanya aku ke sana. Itu bukan milikku lagi, kini, sesuatu yang ku
sebut rumah, telah benar-benar hilang dan tak ada alasan buatku untuk pulang,
karena aku tak tahu kemana harus melangkah, menentukan tujuan.
Teduh
tatapannya, renyah tawa itu mencairkan suasana. Suasana yang selalu ku suka. Ia
menatap penuh perasaan, aku selalu suka membelai rambut itu, menatap kedua mata
itu, begitu lekat. Mengecup bibirnya, aku selalu suka. Ahh, bayangan itu,
setidaknya selalu berkelebat terlintas di pikiranku, sesaat menghiburku. Sudah
tiga tahun semua itu berlalu, sejak aku menyuntingnya, menjadikannya bagian
dalam hidupku. Aku baru saja mereguk bahagiaku dengannya, seorang wanita yang
ku perjuangkan dengan nada lantang, wanita yang membuatku tertawa, aku sempat
merasakan bahagia dengannya.
Tapi,
kejadian itu. Kejadian itu benar-benar membuat semuanya sirna. Bajingan itu,
benar-benar menghancurkan semuanya. Entah apa pasalnya, seorang yang dianggap
sahabat itu, dengan lantang merenggut semua yang dimilikinya.
“Rom!
Apa yang kau lakukan?!”
“Yang
ku lakukan? Menghancurkanmu!”
“Bangsat!
Lepaskan!”
“Diam!”
lelaki yang dipanggil Romi itu menggebrak meja.
“Kau,
tanda tangani ini. Cepat!”
Ku
tatap nanar tumpukan kertas itu. Sebuah surat perjanjian hibah saham
perusahaan. Aku menggeleng, lalu bisa menebak apa maksud Romi. Belakangan ini dia
telah melakukan berbagai cara, namun gagal. Dari mulai cara terhalus dan
sekarang dengan cara kekerasan. Sementara dua orang yang memegangiku mendorong
paksa.
“Kenapa,
kau enggan menandatangani surat itu, baiklah. Sepertinya kau butuh dorongan
untuk melakukannya,” tatapan matanya sinis, penuh dengan kelicikan.
“Bawa
wanita jalang itu ke sini!” ia
memberikan komando ke salah satu anak buahnya.
Ana
dibawa ke ruangan ini, dengan mulut tersumpal kain, kedua tangannya tak luput
dari sasaran. Pipinya bersemu biru, sepertinya dia melakukan perlawanan. Amarahku
memuncak, napas menderu, tak pernah ku biarkan orang lain menjamahnya.
“Bagaimana
sekarang? Kau masih enggan melakukan apa yang ku minta. Jika kau menolak, bisa
kau pastikan, seumur hidupmu akan menanggung derita dan sesal. Kau bahkan tidak
bisa menjaga wanita yang telah menyerahkan semuanya kepadamu. Aku bahkan tak
yakin kau mampu berteriak melihat semua ini,” Romi menyentuh pipi Ana,
merabanya dengan tatapan picik, lalu menarik paksa penyumpal mulutnya.
Tanpa
ku duga, Ana meludahi Romi, tepat di wajahnya. Tatapannya garang, penuh
kebencian. Aku belum pernah melihat kemarahan seperti itu sebelumnya.
“Dasar
jalang!”
Plak!
Romi menapar wajah Ana, tak terima mendapatkan penghinaan itu.
“Rom!
Sekali lagi kau sentuh dia..”
“Apa,
kau mau melawanku? Heh?”
Buk!!
Seketika tinjunya menghantam perutku. Aku ambruk, berlutut di depannya. Menahan
nyeri di ulu hati.
“Sialan
kau Rom!” desisku.
“Jangan
banyak bicara kau, cepat. Tandatangani berkas itu, atau sesuatu yang tidak kau
inginkan akan terjadi. Sesuatu yang sangat kau benci. Hahahaha”
Romi
melemparkan berkas itu ke hadapanku. Tanpa berdaya, aku melakukan yang dia
minta. Perusahaan itu, adalah sesuatu yang ku rintis dengannya. Entah kenapa,
dia melakukan ini. Padahal dia adalah sahabatku, sejak di Universitas dulu, dia
jelas tahu bagaimana susahnya aku merintis usaha ini dari awal, di awali dengan
berjualan cermin di pinggir-pinggir jalan, menjajakannya ke rumah-rumah. Hingga
akhirnya setelah berperih-perih, aku berhasil membuka kios, tidak hanya cermin
yang dijual, semua jenis kaca ku jual di kios itu. Sampai akhirnya aku bertemu
seorang pengusaha, dia memberikan kepercayaan kepadaku menjadi pemasok kaca di
gedung yang akan dibangunnya.
Hingga
saat ini, setelah delapan tahun aku bergelut di bisnis ini, memiliki pabrik di
tiga kota, dan beberapa cabang perusahaan yang bergerak di bidang properti, akan
segera sirna. Semua aset yang ku miliki akan lenyap ketika ku tandatangani
berkas itu. Di tangan seseorang yang ku sebut sahabat.
Sesaat
ku lihat Ana yang berada tepat di depanku. Matanya berkaca-kaca. Sungguh, aku
tidak bisa kehilangan dia disakiti, bahkan hanya dijamah orang lain, aku tak
akan rela. Harta ini, bisa ku cari, tetapi tidak akan ku temui Ana lain di luar
sana.
“Cepat!
Apa lagi yang kau tunggu?”
Gemetar
tanganku menandatangani berkas itu.
“Ya
Tuhan, jika harta ini bukan milikku, maka buat aku rela melepaskannya, biarkan
itu semua jadi ladang ibadah untukku. Tapi jika itu adalah hakku, maka berikan
pengertian kepadaku, jika semua itu akan kembali padaku. Jangan Kau buat aku
ragu tentang keputusanmu, jangan Kau buat bimbang hatiku tentang semua ini,”
gumamku dalam hati.
Kasar
Romi mengambil berkas itu dari tanganku. Dengan wajah penuh kemenangan, dia
tersenyum sinis. Hatiku hanya bisa mengumpat. Tak bisa berbuat banyak lagi. Aku
tidak akan mempertaruhkan keselamatan Ana. Aku tidak akan pernah membuatnya
dalam bahaya, itu adalah janjiku, janji ketika aku hendak menyuntingnya. Tetapi,
kini aku telah gagal menepati janji itu.
Buk!!
Sekali terjang kakinya telak mengenai rahangku, darah mengucur dari mulutku. Kesadaranku
perlahan memudar, padangan kabur. Sekuat tenaga ku coba untuk tetap sadar.
“Kau
tahu, dari dulu aku tidak bisa menerima ini. Kau tentu ingat, bagaimana aku
bekerja keras ketika kita masih menjadi kawan sebangku. Kau tentu juga tahu,
aku selalu lebih pintar darimu. Aku lulus dengan predikat terbaik, sedangkan
kau. Kau tidak sama sekali, kau bahkan tidak berhasil menyelesaikan studimu. Kau
selalu lebih populer dariku, padahal akulah yang terpintar. Lalu, kau merebut
dia dariku. Wanita yang ku sayangi. Kau merebut semuanya dariku. Sekarang, kau
akan menerima akibat dari perbuatan keji itu.”
“Hajar
dia, tapi jangan kalian buat mati. Biarkan dia sekarat. Wanita itu, terserah
kalian!” Romi berikan instruksi kepada kelima anak buahnya.
Tanpa
basa-basi, ketiga anak buah Romi menghajarku, ketika tubuhku remuk redam. Aku masih
bisa melihat Ana berteriak di depanku, matanya bercucuran air mata melihatku
tersiksa. Tapi, keadaan yang lebih pedih terjadi. Bukan terjadi kepadaku,
tetapi kepada dia, kepada Ana-ku.
Aku
terjaga, tepat ketika suara muadzin kumandangkan adzan. Mungkin pukul empat
sore sekarang. matahari mulai condong ke barat. Sebentar lagi hari akan menepi,
menyajikan pemandangan yang selalu kami sukai, ya, aku dan Ana-ku, selalu suka
menatap senja yang merona, atau menikmati secangkir teh ketika hujan menyapa. Bercengkrama
dengan belaian hawa dingin.
Sekuat
tenaga aku menepis semua kenanagan itu. Kenangan yang kemudian menjadi sangat
menyakitkan. Tiga tahun lalu, setelah ku putuskan untuk meninggalkan semua
kenangan di kota itu, kakiku melangkah tak tentu arah, dan terdampar di sini. Bertahan
dengan sisa kenangan yang terus berkecamuk. Berakhir tragis di kota yang selalu
romantis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar