Sabtu, 23 Mei 2015

Menikam Malam #3

#Secangkir Kenangan Manis di Sore yang Romantis
Ilustrasi: http://4.bp.blogspot.com

Terik menyengat, membakar sisa harapan, lantas menguap. Menghilang entah kemana. Rasa kantuk mulai menyergapku, di bawah pohon rindang ini, semuanya begitu menenangkan. Entah, sudah berapa lama tak ku injakkan kaki di pelataran rumah itu. Bangunan dengan tembok tinggi, berjejer mobil di dalam garasi. Lagi pula, tak ada gunanya aku ke sana. Itu bukan milikku lagi, kini, sesuatu yang ku sebut rumah, telah benar-benar hilang dan tak ada alasan buatku untuk pulang, karena aku tak tahu kemana harus melangkah, menentukan tujuan.

Teduh tatapannya, renyah tawa itu mencairkan suasana. Suasana yang selalu ku suka. Ia menatap penuh perasaan, aku selalu suka membelai rambut itu, menatap kedua mata itu, begitu lekat. Mengecup bibirnya, aku selalu suka. Ahh, bayangan itu, setidaknya selalu berkelebat terlintas di pikiranku, sesaat menghiburku. Sudah tiga tahun semua itu berlalu, sejak aku menyuntingnya, menjadikannya bagian dalam hidupku. Aku baru saja mereguk bahagiaku dengannya, seorang wanita yang ku perjuangkan dengan nada lantang, wanita yang membuatku tertawa, aku sempat merasakan bahagia dengannya.

Tapi, kejadian itu. Kejadian itu benar-benar membuat semuanya sirna. Bajingan itu, benar-benar menghancurkan semuanya. Entah apa pasalnya, seorang yang dianggap sahabat itu, dengan lantang merenggut semua yang dimilikinya.

“Rom! Apa yang kau lakukan?!”

“Yang ku lakukan? Menghancurkanmu!”

“Bangsat! Lepaskan!”

“Diam!” lelaki yang dipanggil Romi itu menggebrak meja.

“Kau, tanda tangani ini. Cepat!”

Ku tatap nanar tumpukan kertas itu. Sebuah surat perjanjian hibah saham perusahaan. Aku menggeleng, lalu bisa menebak apa maksud Romi. Belakangan ini dia telah melakukan berbagai cara, namun gagal. Dari mulai cara terhalus dan sekarang dengan cara kekerasan. Sementara dua orang yang memegangiku mendorong paksa.

“Kenapa, kau enggan menandatangani surat itu, baiklah. Sepertinya kau butuh dorongan untuk melakukannya,” tatapan matanya sinis, penuh dengan kelicikan.

“Bawa wanita jalang itu ke sini!”  ia memberikan komando ke salah satu anak buahnya.

Ana dibawa ke ruangan ini, dengan mulut tersumpal kain, kedua tangannya tak luput dari sasaran. Pipinya bersemu biru, sepertinya dia melakukan perlawanan. Amarahku memuncak, napas menderu, tak pernah ku biarkan orang lain menjamahnya.

“Bagaimana sekarang? Kau masih enggan melakukan apa yang ku minta. Jika kau menolak, bisa kau pastikan, seumur hidupmu akan menanggung derita dan sesal. Kau bahkan tidak bisa menjaga wanita yang telah menyerahkan semuanya kepadamu. Aku bahkan tak yakin kau mampu berteriak melihat semua ini,” Romi menyentuh pipi Ana, merabanya dengan tatapan picik, lalu menarik paksa penyumpal mulutnya.

Tanpa ku duga, Ana meludahi Romi, tepat di wajahnya. Tatapannya garang, penuh kebencian. Aku belum pernah melihat kemarahan seperti itu sebelumnya.

“Dasar jalang!”

Plak! Romi menapar wajah Ana, tak terima mendapatkan penghinaan itu.

“Rom!  Sekali lagi kau sentuh dia..”

“Apa, kau mau melawanku? Heh?”

Buk!! Seketika tinjunya menghantam perutku. Aku ambruk, berlutut di depannya. Menahan nyeri di ulu hati.

“Sialan kau Rom!” desisku.

“Jangan banyak bicara kau, cepat. Tandatangani berkas itu, atau sesuatu yang tidak kau inginkan akan terjadi. Sesuatu yang sangat kau benci. Hahahaha”

Romi melemparkan berkas itu ke hadapanku. Tanpa berdaya, aku melakukan yang dia minta. Perusahaan itu, adalah sesuatu yang ku rintis dengannya. Entah kenapa, dia melakukan ini. Padahal dia adalah sahabatku, sejak di Universitas dulu, dia jelas tahu bagaimana susahnya aku merintis usaha ini dari awal, di awali dengan berjualan cermin di pinggir-pinggir jalan, menjajakannya ke rumah-rumah. Hingga akhirnya setelah berperih-perih, aku berhasil membuka kios, tidak hanya cermin yang dijual, semua jenis kaca ku jual di kios itu. Sampai akhirnya aku bertemu seorang pengusaha, dia memberikan kepercayaan kepadaku menjadi pemasok kaca di gedung yang akan dibangunnya.

Hingga saat ini, setelah delapan tahun aku bergelut di bisnis ini, memiliki pabrik di tiga kota, dan beberapa cabang perusahaan yang bergerak di bidang properti, akan segera sirna. Semua aset yang ku miliki akan lenyap ketika ku tandatangani berkas itu. Di tangan seseorang yang ku sebut sahabat.

Sesaat ku lihat Ana yang berada tepat di depanku. Matanya berkaca-kaca. Sungguh, aku tidak bisa kehilangan dia disakiti, bahkan hanya dijamah orang lain, aku tak akan rela. Harta ini, bisa ku cari, tetapi tidak akan ku temui Ana lain di luar sana.

“Cepat! Apa lagi yang kau tunggu?”

Gemetar tanganku menandatangani berkas itu.

“Ya Tuhan, jika harta ini bukan milikku, maka buat aku rela melepaskannya, biarkan itu semua jadi ladang ibadah untukku. Tapi jika itu adalah hakku, maka berikan pengertian kepadaku, jika semua itu akan kembali padaku. Jangan Kau buat aku ragu tentang keputusanmu, jangan Kau buat bimbang hatiku tentang semua ini,” gumamku dalam hati.

Kasar Romi mengambil berkas itu dari tanganku. Dengan wajah penuh kemenangan, dia tersenyum sinis. Hatiku hanya bisa mengumpat. Tak bisa berbuat banyak lagi. Aku tidak akan mempertaruhkan keselamatan Ana. Aku tidak akan pernah membuatnya dalam bahaya, itu adalah janjiku, janji ketika aku hendak menyuntingnya. Tetapi, kini aku telah gagal menepati janji itu.

Buk!! Sekali terjang kakinya telak mengenai rahangku, darah mengucur dari mulutku. Kesadaranku perlahan memudar, padangan kabur. Sekuat tenaga ku coba untuk tetap sadar.

“Kau tahu, dari dulu aku tidak bisa menerima ini. Kau tentu ingat, bagaimana aku bekerja keras ketika kita masih menjadi kawan sebangku. Kau tentu juga tahu, aku selalu lebih pintar darimu. Aku lulus dengan predikat terbaik, sedangkan kau. Kau tidak sama sekali, kau bahkan tidak berhasil menyelesaikan studimu. Kau selalu lebih populer dariku, padahal akulah yang terpintar. Lalu, kau merebut dia dariku. Wanita yang ku sayangi. Kau merebut semuanya dariku. Sekarang, kau akan menerima akibat dari perbuatan keji itu.”

“Hajar dia, tapi jangan kalian buat mati. Biarkan dia sekarat. Wanita itu, terserah kalian!” Romi berikan instruksi kepada kelima anak buahnya.

Tanpa basa-basi, ketiga anak buah Romi menghajarku, ketika tubuhku remuk redam. Aku masih bisa melihat Ana berteriak di depanku, matanya bercucuran air mata melihatku tersiksa. Tapi, keadaan yang lebih pedih terjadi. Bukan terjadi kepadaku, tetapi kepada dia, kepada Ana-ku.

Aku terjaga, tepat ketika suara muadzin kumandangkan adzan. Mungkin pukul empat sore sekarang. matahari mulai condong ke barat. Sebentar lagi hari akan menepi, menyajikan pemandangan yang selalu kami sukai, ya, aku dan Ana-ku, selalu suka menatap senja yang merona, atau menikmati secangkir teh ketika hujan menyapa. Bercengkrama dengan belaian hawa dingin.


Sekuat tenaga aku menepis semua kenanagan itu. Kenangan yang kemudian menjadi sangat menyakitkan. Tiga tahun lalu, setelah ku putuskan untuk meninggalkan semua kenangan di kota itu, kakiku melangkah tak tentu arah, dan terdampar di sini. Bertahan dengan sisa kenangan yang terus berkecamuk. Berakhir tragis di kota yang selalu romantis. 



Subscribe to Our Blog Updates!




Share this article!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML