Sabtu, 10 Mei 2014

Pelajaran Dari Obrolan Pinggir Jalan



Malam yang terang meski tanpa bintang. Sesekali kendaraan bermotor melintas, membelah jalanan yang semakin sunyi. Kota ini tampak begitu lengang, berbeda dengan kota dimanaku berdomisili .

Dari obrolan pinggir jalan, bertemu dengan orang-orang baru. Misi awalnya jelas, menemui sahabat lama, membuka koneksi untuk sekedar melanjutkan semangat yang sempat kandas. Obrolan pinggir jalan, dengan segala rentetan pembicaraan. Berawal dari mengenang masa lalu, menceritakan harapan di masa depan, mengenang kejadian konyol beberapa tahun silam, hingga curahan hati mengalir seperti derasnya air yang turun ke permukaan yang lebih rendah.

Sebentar lagi tengah malam, obrolan semakin hangat. Di bumbui dengan celotehan ringan, mentertawakan teman, mentertawakan diri sendiri. Sejenak melepaskan kepenatan, cukup mujarab untuk melipur hati yang dilanda kegelisahan tak terkira.

Di tengah hangatnya obrolan, muncul kakek-kakek, mungkin usianya diatas 70-an tahun, tampak dari kulitnya yang keriput berkerut, rambut yang memutih halus, gigi yang sudah tak lengkap jumlahnya, ditambah lagi dengan jalan yang membungkuk.

Awalnya ku kira dia meminta-minta, seperti kebanyakan manula yang berkeliaran di malam hari. Namun perkiraanku meleset. Masih ku ingat jelas tawa khasnya, putus-putus. Dengan bahasa sunda yang tidak ku mengerti, kata temanku. Itu bahasa sunda halus, terlebih ucapannya sudah tidak sejelas lelaki seusiaku.

Dengan terampil dia memijat, meregangkan urat-urat yang kaku seperti kawat. Dengan celotehannya, ia tampak bahagia dengan kondisinya.  Seharusnya, ia tidur malam ini. Dengan anak dan cucu-cucunya, mengingat usianya yang tidak bisa di bilang muda. Namun, dia tidak meminta-minta seperti kebanyakan manula. Ia menawarkan jasa meski tanpa di minta, tak di beripun kurasa tak aka nada protes darinya, karena setelah ku Tanya ke kawan baruku, dia memang setiap malam berkeliaran. Singgah sejenak, bercerita dan bercanda, mengenai wanita muda. Lalu tertawa, kemudian beranjak. Selalu seperti itu.

Di pertengahan malam, ia masih berjalan. Menjemput rezeki yang entah dimana di turunkan untuknya. Sejenak aku termenung diantara canda yang dilontarkannya. Ada kesedihan dan rasa malu yang bercampur menjadi satu.

Tak ada keluhan yang keluar dari pembicaraannya, hanya ada canda dan tawa. Tak lupa tawa khasnya yang sepatah-sepatah itu membuatku juga bisa tertawa.

Terbayang, sering kali aku mengeluh kepada-Nya. Merutuki nasib yang tak segera membaik. Namun dari lelaki berusia senja itu ku temukan makna yang sebenarnya mengenai hidup.

Hidup itu begitu sederhana, mensyukuri apa yang telah di berikan kepada kita. Tanpa harus selalu mengeluh di setiap sisa ujung sujud dalam rakaat shalat. Hanya tertawa, seraya terus bergerak. Usia tak menghalanginya untuk tetap menjemput rezeki yang di turunkan-Nya untuk kita.

Darinya aku belajar malam ini. Darinya ku temukan arti kata sebuah perjuangan dan segenggam kenikmatan tak terkira yang di anugerahkan kepada kita.

Tidak perlu berkeluh kesah, tetap berusaha dan berdoa. Dan pada akhirnya kita tertawa bersama, tanpa ada rasa duka. Terimakasih kek, pelajaran berharga kudapatkan malam ini, darimu, untukku, untuk kita, untuk kami.


Pelajaran dari obrolan pinggir jalan..



Subscribe to Our Blog Updates!




Share this article!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML