Rabu, 07 Mei 2014

Tersesat...




Aku pernah tersesat diantara belantara rimba, meraba setiap jalan yang akan di lewati. Sesekali tergelincir, sesekali merasa gelisah, sesekali harus menarik nafas panjang, sesekali harus terduduk. Serangkaian kejadian yang sebenarnya tidak ingin dilalui. Meski letih, berjalan dengan kaki tertatih jalan itu mampu di lalui. Menemukan jalan keluar, menemukan jalan untuk kembali pulang.

Masih terbayang dengan sangat jelas waktu itu, ketika kabut mulai menutup, begitu pekat. Gelegar halilintar terdengar mengerikan, mencengkram perasaan menjadi was-was dan gelisah, rasa takut? Jangan di tanyakan lagi, perasaan itu begitu kuat menjalar di setiap aliran darah.

Cahaya yang ku bawa, sedikitpun tidak mampu menembus kabut yang begitu tebal. Sementara ku raba di sekelilingku hanya ada tebing curam yang  siap melahap. Hanya cahaya dari halilintar yang mampu menembus ketebalan kabut.  Memberikanku sedikit keberanian diantara rasa takut, memberikan setitik harapan diantara keputusasaan.

Tersesat, adalah kata yang paling tepat untuk mengambarkan kejadian itu. Akibat dari sebuah keputusan konyol dan ambisius, memaksa melangkah menuju titik akhir pendakian. Sementara tidak mengukur kemampuan diri, tidak mempertimbangkan kekuatan alam yang di luar nalar.

Sebuah keputusan yang berakhir fatal (pada akhirnya), karena ada belasan orang yang berdiri di belakangku, semua langkah tergantung padaku. Sementara aku hanya bisa berharap sang Khalik menuntun untuk kembali dengan selamat. Membawa sebagian besar orang tanpa pengalaman yang mumpuni untuk melalui kejadian seperti ini. Sangat sulit, sebuah tekanan besar.

Namun, dengan sedikit keberanian, dengan sedikit harapan, dengan sedikit ketabahan semua masalah ada jalan keluarnya. Meskipun tubuh sudah mulai kebal dengan sentuhan jemari, berkatapun terdengar mendengung.  Tapi semua itu adalah harga yang harus di bayar untuk bisa kembali.

Beberapa tahun kemudian kejadian itu merubah pola pikirku, merubah setiap tindakan yang ku lakukan. Setiap keputusan yang di ambil harus di analisis terlebih dahulu, harus ada berbagai pertimbangan dan sudut pandang.

Tersesat, memang harus seperti itu. Tersesat bukanlah petaka, itu adalah bagian dari rencana yang maha kuasa untuk kita bisa belajar, agar di gunakan di kemudian hari.

Teringat perbincangan beberapa waktu lalu. Jika di suruh memilih, berjalan tanpa arah dan tersesat, atau berdiam diri sembari menunggu waktu yang tepat untuk berjalan? Aku lebih memilih untuk berjalan tanpa arah dan kemudian tersesat, karena dengan tersesat aku akan menemukan jalan terbaik di kemudian hari, sebuah esensi dari ketersesatan, pada akhirnya nanti jika bisa keluar dari masalah itu, semuanya akan menjadi sangat baik.

Alasan kenapa tidak memilih berdiam diri, menunggu waktu yang tepat untuk kembali melangkah. Permasalahannya adalah, kita tidak tahu waktu yang tepat itu kapan. Bisa saja waktu yang tepat itu adalah waktu dimana ajal sedang menjemput, dan saat itu baru tersadar bahwa tubuh ini sudah tidak mampu untuk kembali memulainya, maka hanya sumpah serapah dan penyesalan yang akan keluar dari mulut dan hati. Mengutuk nasib, kenapa tidak melakukannya dari awal.

Permasalahannya sama, kita tidak tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Maka lakukan sebisanya, sebaik mungkin, walaupun pada akhirnya kita sadar bahwa semua itu salah. Kesalahan bisa di perbaiki jika dilakukan seawal mungkin, dan di penghujung waktu semua kesalahan itu akan terbayar dengan apa yang sudah kita lakukan. Semua perbaikan dari setiap kesalahan adalah harga mutlak yang harus di bayar. Dan seperti itulah seharusnya.

Sejauh apa kita bisa melangkah, selama apa kita mampu bertahan, seberapa kuat kita untuk melawan dan seberapa tangguh kita untuk tetap tabah? Pertanyaan yang tentunya hanya akan terjawab jika kita bisa melaluinya.

Sejauh apapun kita melangkah, pada akhirnya kita akan kembali. Kembali pulang, karena masih ada rumah, dimana orang-orang yang menyayangi kita menunggu. Menanti kedatangan kita, tidak perduli apakah wajah yang kita tampakkan adalah kesedihan, bahagia, bangga, atau derita. Mereka, yang ada di rumah senantiasa akan menyambut dengan senyuman, menyambut dengan pelukan hangat.

Selama apapun kita bertahan, jika tidak melawan apa yang akan terjadi? Mungkinkah keadaan akan menyerah menyerang kita? Akankah gelombang kesedihan itu berhenti menggempur pertahanan kita? Mungkinkah? Kurasa tidak mungkin keadaan menyerah.

Maka pilihannya adalah, seberapa ingin kita untuk tetap melangkah meskipun salah.  Karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Tuhan selalu punya rencana indah untuk kita, tergantung dari kita menilainya seperti apa.
…….



Subscribe to Our Blog Updates!




Share this article!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML