Entah, mungkin memang seperti itu maunya. Mentari
yang tenggelam itu seperti hanya menyapa dalam setengah putaran hari saja.
sejenak menghangatkan penuh dengan kasih ketika pertama kali muncul dan
menyapa, sejenak membakar ketika mencapai pada pertengahan hari, dan sejenak
mempesona penuh dengan cinta dan pesona ketika hendak tenggelam. Dan akan pergi
begitu
Ia
tak berbicara, sedikit kata yang keluarpun hanya sebatas sapa. Tak mengeluarkan
makna, tak tahu arah dan tujuannya, hanya sekedar intonasi tanpa nada.
Tegukan
air itu begitu manis hingga masih terasa di ruas dalam leher meski tetes
terakhir itu sudah sepenuhnya masuk kedalam lambung. Manisnya masih tersisa
diantara ujun lidah dan bibir yang basah.
Bukankah
kita selalu menyukai sesuatu yang manis dari pada sesuatu yang pahit? Namun,
jika terlalu manispun sepertinya enggan untuk merasakannya, namun menjadi
sebaliknya. Sesuatu yang begitu pahit itu akan tetap kita telan begitu saja,
jika di dalam pahitnya ternyata bisa menyembuhkan. Bukankah seperti itu? Sesuatu
yang manis belum tentu baik, begitu juga dengan sesuatu yang begitu pahit bukan
berarti buruk.
Seperti
nyanyian para gembala di padang pasir, selalu bergerak menggiring ternak,
terkadang harus menempuh perjalanan panjang dan melelahkan. Bertahan diantara
panasnya matahari yang menyengat, lalu bertahan diantara dinginnya malam yang
menggigit. Begitu dilakukan tanpa henti, berharap ternaknya akan tumbuh,
beranak pinak, mengeluarkan susu yang berlimpah atau mencari ridho Allah dengan
mengorbankannya di hari raya. Sebuah harga yang harus dibayar untuk mendapatkan
ridho Illahi.
Mentari
itu, hanya sekilas menyapa. Lalu pergi tanpa kata. Menyisakan hangat yang
sesaat, tenggelam diantara dinginnya malam. Dan matahari hanya akan menyapa,
tak akan berlama-lama ia berdiam diri. Karena ia tahu porsinya, karena ia sadar
akan keberadaannya jika terlalu lama berada diantara waktu. Dan ia akan kembali
menyapa, seperti hari-hari sebelumnya..
Dan akan
tetap sama…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar