illahi lastu lilfirdausi ahla, walaa aqwa 'ala naari jahiimi
Fahabi taubatan waghfir dzunubi, fainaka ghafirudz- dzanbil 'adzimi...
-potongan lirik senandung Abu Nawas-
Alunan lirik bernada doa itu mengalun perlahan, sebuah pengakuan akan dosa-dosa yang telah di perbuat. Mengiris hati, menggetarkan nurani. Senandung itu seperti menghempaskanku kedalam sebuah jurang penyesalan. Aku luluh dalam sepersekian menit, persedianku lemas. Tak berdaya di hadapan-Nya.
Entah mengapa, pagi ini aku menjadi begitu relegius. Setiap hentakan nada dalam nadiku seperti mengingatkan akan semua kesalahan dan dosa yang telah ku lakukan. aku diam, hanya diam. Selebihnya, hanya ratapan penyesalan yang terucap dari dalam hati. Tanpa ada kata yang bisa ku ucapkan, tak ada tawa menghiasi di sela nafas yang tersengal, hanya terasa sesak.
......
Cantik. Begitulah ketika aku sering menyapanya. Berada diantara senyum yang menggoda. Melihat lirik mata penuh manja, terdengar merdu suaranya menyapa. Begitulah aku mengenalnya.
Fahabi taubatan waghfir dzunubi, fainaka ghafirudz- dzanbil 'adzimi...
-potongan lirik senandung Abu Nawas-
Alunan lirik bernada doa itu mengalun perlahan, sebuah pengakuan akan dosa-dosa yang telah di perbuat. Mengiris hati, menggetarkan nurani. Senandung itu seperti menghempaskanku kedalam sebuah jurang penyesalan. Aku luluh dalam sepersekian menit, persedianku lemas. Tak berdaya di hadapan-Nya.
Entah mengapa, pagi ini aku menjadi begitu relegius. Setiap hentakan nada dalam nadiku seperti mengingatkan akan semua kesalahan dan dosa yang telah ku lakukan. aku diam, hanya diam. Selebihnya, hanya ratapan penyesalan yang terucap dari dalam hati. Tanpa ada kata yang bisa ku ucapkan, tak ada tawa menghiasi di sela nafas yang tersengal, hanya terasa sesak.
......
Cantik. Begitulah ketika aku sering menyapanya. Berada diantara senyum yang menggoda. Melihat lirik mata penuh manja, terdengar merdu suaranya menyapa. Begitulah aku mengenalnya.
Hentakan detak
jantung seperti berpacu dengan waktu. Mencoba saling mengalahkan, mencoba
saling mendahului. Hingga akhirnya, perasaan kagum itu berubah dengan rasa yang
begitu dalam. Untuk kesekian kalinya aku merasakan ketenangan ini.
Ada ketegangan
yang menyeruak ketika sorot matanya tajam mencengkram nalarku. Mengusik
nuraniku, menggetarkan seluruh tubuhku. Dan untuk kesekian kalinya pula aku
terlena dengan buaian fatamorgana bias sisa cahaya. Hanya bayang, hanya
sekelebat melintas di hadapan, lalu menghilang diantara persimpangan jalan.
Puluhan jemari
itu bisa ku rasakan lembutnya dalam satu kali sentuhan. Serpihan kata-kata
indah itu bisa kugunakan untuk mendapatkan hatinya, menggenggamnya kedalam satu
kepalan tangan. Merangkulnya dalam satu kali pelukan, dan dalam satu hentakan
pula semuanya bisa terlepas. Jemari-jemari lembut itu tak lagi tergenggam dalam
satu kepalan tangan, hilang.
Namun, makna dari
semua ini bukanlah tentang sebuah penaklukan. bukan pula menggenggam
jemari-jemari lentik itu dalam satu genggaman, satu pelukan, satu waktu. Ini mengenai
nurani yang berkata, mendikte setiap langkah. Menguasai setiap detak dalam
detik waktu yang berputar.
''Tuhan, Jika dosaku semakin membesar, sungguh
aku tahu ampunanmu jauh lebih besar. Jika hanya orang-orang baik yang berseru
kepada-Mu, lantas kepada siapa seorang pendosa harus mengadu?” (Abu Nawas)
………..
… Dzunubi mitslu a'daadir- rimali, fahabli
taubatan ya Dzal Jalaali,
Wa 'umri naqishu fi kulli yaumi, wa dzanbi
zaaidun kaifa -htimali
Ilahi 'abdukal 'aashi ataak, muqirran bi
dzunubi wa qad di'aaka
fain taghfir fa anta lidzaka ahlun, wain
tadrud faman narju siwaaka
(Dosa-dosaku
seperti butiran pasir di pantai,
maka anugerahilah
hamba taubat, wahai Yang Memiliki Keagungan
Dan umur hamba
berkurang setiap hari,
sementara
dosa-dosa hamba selalu bertambah, apalah dayaku
Ya ALLAH ..
hamba-Mu penuh maksiat, datang kepada-Mu bersimpuh memohon ampunan,
Jika Engkau
ampuni memang Engkau adalah Pemilik Ampunan,
Tetapi jika
Engkau tolak maka kepada siapa lagi aku berharap? )
-senandung Abu Nawas-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar