#Bayang
Masih mendung.
Awan kelabu masih menggantung di angkasa, tanpa setitik warna biru yang
tergores di sana. Hawa dingin menyergap perlahan. Sudah siang, mentari tak
kunjung menyapa lagi, tapi pagi hanya sesaat ia muncul, menggurat angksa dengan
secercah kemegahan, tunjukkan kedigdayaan sebagai penguasa angkasa.
Ia masih menatap
tanpa bahasa, tanpa lisan berucap. Berusaha mencerna dari setiap kejadian yang
tertera dalam barisan kenyataan, ini adalah nyata yang harus dihadapinya. Tanpa
kompromi, ya kenyataan itu menamparnya begitu kuat, hingga lunglai tak berdaya,
lemas. Teronggok bagai sampah yang basah, mengeluarkan aroma busuk, dan
kemudian hancur karena panas sengatan matahari dan terpaan hujan yang mendera.
Ada bagian yang
terbuang, ada bagian yang hilang, ada juga bagian yang ditemukan, berserakan,
terpecah belah, tercabik, benar-benar hilang dari hadapan, menguap disengat
zaman yang sekali lagi terlanjur menjadi begitu kejam, ketika kelembutan hati
tak bisa dijaga, ia hanya akan membuatnya menjadi sangat buruk, merubahnya dari
sosok yang berbeda dari sebelumnya. Kenyataan mengajarkan akan rasa sakit.
Perih.
Tergores pelan,
menyusuri antara batas-batas yang tersekat di antara cabikan malam yang
menyayat hati, ada selaksa tawa yang tercekat di antara kerongkongan, tertahan
menjadi sesak.
Kepalanya
berdenyut kembali, merasakan sakit yang entah bertambah hingga berapa kali
lipat, yang dia rasakan hanya rasa sakit. Baru bangun beberapa waktu lalu, sebelumnya
ia masih bisa merasa senang, karena hujan di pagi hari memeluknya pelan,
terlelap ketika barisan hujan itu kembali menyapa suasana pagi. Jika sekarang
adalah tiga tahun lalu, dia tidak akan melewatkan suasana semanis ini. Tapi itu
dulu, kini tak ada lagi yang bisa dirasakan selain dingin.
Jemarinya
mencoba meredakan rasa sakit itu, memijit-mijit pelan berharap rasa itu
berkurang, namun semakin dipijit, itu semakin sakit. Jika otaknya tidak
berfungsi mungkin dia telah membenturkan kepalanya di tembok itu, tembok yang
terlihat semakin usang. Udara pengap dari kamar yang tak pernah terkena
matahari itu semakin membuatnya tersiksa.
…
Lihat, wajahnya
memerah, mungkin karena malu, atau bahkan bisa jadi itu adalah ungkapan dari
rasa yang tidak bisa diucapkannya, bahagia. Dia begitu suka membuat wajah
wanita itu memerah, ia begitu suka ketika wanita itu merengek manja, atau
bahkan mencubit pelan, Dia juga suka membuat wanita itu kesal karena sering
mengacak-acak kelapanya.
“Hujan, bukankah
kita selalu suka saat-saat seperti ini?” dia bergumam pelan, matanya nanar tak
berkedip melihat jutaan galon air yang tumpah ke bumi.
Wanita di
sebelahnya tak menjawab, terlalu asyik dengan laptop di depannya. Jemarinya
lentik mengeja satu-satu huruf di keyboard dengan kedua telunjuknya. Sesekali
tersenyum, serasi manis dengan suasana pagi ini, bulu matanya lentik, alisnya
juga sama.
“Hey, lagi apa?
Sibuk Banget?” dia kembali memegang kepalanya, mengacak-acak rambut panjangnya.
Wanita itu
menghentikan aktivitasnya. Seperti biasa, ketika kesal bibirnya akan maju
beberapa centi, kemudian menatap garang. Mencoba teriak, meluapkan kekesalan
karena merasa terganggu. Lebih mirip dengan induk singa yang merasa anaknya
dalam ancaman.
Sebelum
teriakannya menggemparkan tetangga, ia bergerak cepat. Membekam mulutnya,
mencoba berdamai. Wanita itu berontak, jelas tenaganya begitu kuat karena tak
pernah digunakan, sedangkan aktivitas sehari-harinya hanya makan dan makan.
Setelah berhasil
lepas dari cengkraman tangan lelaki itu, si wanita berteriak, keras. Lagi, ia gagal
mencegah itu terjadi.
“Kaakkk!! Kenapa
si ganggu?! Bisa gak diem?” dia mengancam, sambil mengacungkan kepalan
tangannya.
“Iya iya, maaf.
Janji, gak akan ganggu lagi, piss.” wanita itu mendengus sebal, tapi sesaat
tersenyum setelah melihat layar laptop.
“Dasar, wanita!”
ucapnya ketus, nyaris tak terdengar. Namun ternyata si wanita mendengar itu
cukup jelas. Matanya mendelik ke arahnya, masih dengan tatapan mengancam. Ia
hanya nyengir kuda, lalu diam.
Di luar, hujan
masih turun dengan deras. Suasana yang indah. Ia mengambil jurnal di dekatnya,
menggoreskan tinta di dalam barisan kertas kosong. Beberapa larik tentang hujan
kembali tercipta, hujan dan semua suasana indah.
…
Kemarin, ketika
malam mulai menjelang, tatapan mata penguasa cakrawala tak terlihat sejak
pertama kali seharusnya dia menampakkan diri. Hujan rintik-rintik masih saja
turun. Ku putuskan untuk hanya sekedar jalan, menemui salah seorang sahabat.
Menembus hujan, mengindahkan rasa dingin yang menggigit, menyusuri sisi jalan
yang sempat hening sesaat.
Sekedar makan
malam, bercerita tentang sesuatu yang ringan. Sesekali tertawa, terkadang
begitu keras, sesekali hening, berkonsentrasi dengan makanan. Sudah lama memang
suasana makan malam seperti ini tak ku rasakan. Sementara waktu terus berputar,
membelah bilangan waktu dalam perjalanan satu hari ini. Sedikit masalah
pekerjaan bisa terurai malam tadi, sedikit bisa kembali mengendurkan syaraf dan
meluruskan harapan tentang seseorang, yang jika ku boleh berkata jujur, ku
tunggu kabarnya malam tadi.
Hanya beberapa
menit, tak sampai satu jam. Tapi memang tak butuh waktu lama untuk merasa
bahagia bukan? Namun, sendiri dan sepi, itu lama baru bisa beranjak menghilang.
Kembali setelah meresapi belaian angin yang menjadi dingin, aku kembali
diingatkan akan kehadiran seseorang. Dan jika dia tahu dan bisa merasakannya,
tentu seumur hidupnya enggan untuk merasakan hal seperti ini.
Terima kasih
untukmu, si penunggu waktu (ini adalah nama terbanyak yang ku berikan kepada
seseorang), dan untuk dia, sebaris catatan dalam anggunnya rintik hujan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar