Kamis, 30 April 2015

Nikmat Secangkir Espresso dan Rasa Pahit

#Harapan

ilustrasi: vanillafairystory.blogspot.com

Menjelang fajar, udara di kota ini terasa begitu sejuk, semilir angin membelai pelan dedaunan yang tumbuh di sepanjang jalan ini. Ruas jalan masih tampak lengang, namun geliat kota ini mulai terlihat, bahkan sebelum terdengar lantunan suara merdu adzan. Atau mungkin mereka baru saja pulang, ah, wajar saja, karena memang geliat kota ini tidak pernah padam. Akan selalu ada kehidupan dalam putaran waktu selama 24 jam sehari penuh.

Ku ceritakan kepadamu, jika aku semakin suka dengan suasana ketika fajar menyapa, terlebih ketika terlihat awan menggantung di cakrawala, diselimuti kabut tipis yang –hei-, itu sangat romantis. Atau kemarin sore, bukankah ada pelangi melingkar di atas sana, ketika warna jingga di ufuk barat berpadu dengan warna lembayung di sebelah timur, begitu menenangkan bukan?

Aroma secangkir espresso menyeruak penciuman, membuka mata yang mulai berat menahan kantuk, tengah malam, ketika sebagian orang terlelap menarik selimut, meringkuk nyaman dalam hangatnya selimut hidup. Ahh, kau lihat, bahkan ada bagian yang terlewat dari mereka yang tertidur nyaman, ditemani oleh mimpi-mimpi indah, dan aku, masih berada di depan layar 14 inci ini, masih merajut sisa harapan yang dipandang tak lebih dari sekedar angin lalu.

Beberapa waktu lalu, ada bagian yang kau singkap, tentang tabir di masa lalu. Kau buka lembaran demi lembaran kisahku, kau cari tahu tentang diriku di waktu itu, dan bisa dipastikan, kau akan menemukan banyak rahasia yang sungguh, kau tak akan pernah menyukai itu.

Dari latar belakang yang kelam, aku berjalan menuju ke arah jalan terang, jalan yang disinari oleh harapan. Tentang masa depan, ya masa depan. Kau tengok ke belakang, kisahku, tentu berliku. Atau mungking kau akan segera sadar, jika aku, tidak sebaik yang terlihat –sekarang- tapi, percayalah, aku sungguh ingin berjalan di antara masa keemasan, menggenggam harapan yang sempat terlepaskan.

Aku tentu masih ingat, ketika suatu petang kau berujar tentang harapan yang kau sandarkan kepadaku, atau cerita tentang ketidaksukaan orang-orang terdekatmu tentangku, aku, hanya tersenyum sembari berujar pelan.

“Sayang, ini hanya permulaan, tentang jalan panjang yang berliku. Masih akan ada banyak halangan di depan, bukan melulu soal perasaan. Tetapi, juga tentang ujian, untuk kita bisa mengucap kata rela,” ujarku.

Kau menatap sayu, aku bisa menangkap rona harapan di mata itu, dan begitu ku genggam jemarimu, ada kekuatan yang kemudian mampu ku terjemahkan ke dalam kalimat-kalimat ini. Percayalah, akan tiba waktunya, ketika semua orang melihat kita, dengan tawa bangga menghiasi wajahnya, bukan tawa yang meremehkan atau menggunjing, tidak sekarang, tapi nanti. Percayalah.

Kita berbincang banyak hal, tentang sesuatu yang tidak penting. Tapi, ku lihat, ku rasakan, terkadang, untuk menjadikan momen itu penting, tidak melulu membutuhkan suasana yang spesial, karena, kita akan selalu menjadikan hari-hari itu lebih istimewa.

Hari telah berganti, sementara aku, masih terpaku di sini. Menanti sapa pertama mentari pagi ini, seperti halnya aku, yang akan selalu menanti genggaman harapan yang kian erat memelukku. Secangkir kopi ini masih tersisa beberapa teguk lagi, masih bisa ku rasakan setiap teguk rasa pahitnya. Kita pernah mendengar ungkapan tentang esensi kopi, “Senikmat-nikmatnya kopi, tentu masih menyisakan rasa pahit di antara rasa yang istimewa” lantas kita percayai hal itu, dan seindah-indahnya hidup, tentu akan ada beberapa tetes rasa pahit yang dirasakan.

Dan ku berikan nasihat kepadamu, kepada kita, kepada diriku sendiri, bahwa semua hal itu akan selalu bisa dimaknai, tak peduli tentang rasa yang diteguk, karena sungguh, kita semua tentu menginginkan perbaikan di dalam diri ini. Masa lalu seseorang bisa kelam, tapi, siapa yang tahu masa depan seseorang?


Kita hanya perlu bijak menyikapi hal ini. Tentang harapan si penggenggam hujan, tentang impian si pelukis langit, tentang semua hal. Ini mungkin hanya sebuah langkah kecil, tetapi, untuk bergerak, kita tidak perlu berlari, ya, kita hanya perlu beranjak berdiri dan melangkah, sekecil apa pun langkah itu, akan sangat berarti, lima jengkah dari tempat semula, itu tetap sebuah langkah. Antara aku, kamu, dan pengagum ‘kita’..



Subscribe to Our Blog Updates!




Share this article!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML