Minggu, 21 Desember 2014

Ornamen Kabut dan Hawa Dingin

#Karakter Itu Nyata




Pagi menyapa, kembali seperti beberapa hari yang lalu. Hawa dingin berkali lipat membungkus hari yang belum tampak mentari di batas cakrawala. Aku masih menatap layar 14 inci ini, masih mengkhayal seperti biasa, sepagi ini aku kembali menyapa sesuatu yang entah berwujud seperti apa, menanti mentari yang hangat menyapa, mungkin membutuhkan beberapa waktu lagi, mungkin aku akan kembali melewatkan momen paling romantis ketika gelap mulai hilang.

Aku hanya ingin mengingat semuanya, merekam di dalam memori yang tersisa di otak, kembali memutarnya jika mulai samar, kembali memutarnya jika gundah menyapa. Aku mulai bisa merasakan kenangan yang menyakitkan beberapa waktu silam, berubah menjadi kenangan terindah, tak ada setitik penyesalan di sana, meski ku akui ada sedikit gundah tergambar di relung terdalam sanubari ini.

….
Beberapa hari lalu, penat menguasai hati. beberapa hari ini yang ada hanya rasa lelah, entah muncul dari mana.  Aku akan kembali menceritakan hari-hari itu, hari-hari yang terus berlalu, tak pernah berhenti, begitu juga dengan kisah yang terus berganti, bergulir seperti bola salju, semakin membesar dan terus membesar.

Ada semburat senja yang mulai luntur keindahannya, ada juga tentang rintik hujan yang hanya menyisakan hawa dingin tanpa ketenangan di dalamnya. Atau sekarang aku lebih suka menatap kabut tipis di saat pagi menyapa, meski jelas terkadang aku merindukan saat-saat semburat warna jingga itu terlukis di langit ketika petang menjelang, atau sedikitnya aku masih bisa merasakan tenangnya hati ketika hujan turun, lagi.

Dia, menjadi bagian dari karakter yang ku ciptakan. Dan tak ada yang lebih membahagiakan jika karakter itu benar-benar hidup. Karakter dari setiap tokoh yang digambarkan itu benar-benar menyapa, tak pernah samar meski gelap mulai menyapa, tak pernah senyap meski sepi menemani, selalu hangat meski hujan memeluk bumi, selalu sejuk bahkan ketika garang mentari duduk di kepala, dan akan semakin syahdu ketika pagi berselimut kabut tipis, seperti beberapa hari ini.

Sejenak, terbesit untuk menyelesaikan tulisan itu, tapi entah kenapa. Tanpa daya aku hanya bisa menyerah begitu saja, membiarkan tumpukan kertas itu semakin menggunung, tanpa ada penyelesaian di dalamnya, tanpa ada kejelasan kisah itu. Entahlah, tapi inginku, cerita itu akan menjadi kado terindah di hari yang indah, untuknya.

Ketika ku pacu kendaraan tua ini, meliuk-liuk di padatnya kota kembang, seperti biasa. Dia terlalu tua jika harus dipacu sedemikian rupa, jelas sekali penyebabnya, hampir setahun lalu kuda besi Eropa ini mendapatkan sentuhan tangan mekanik. Ah, aku hanya bisa berharap, dia tak lantas pergi meninggalkanku, ketika ia berkata “Aku mulai bete”.

Jalanan Braga, pukul 18.45 WIB. Ramai tentu saja, kehidupan malam mulai menggeliat di sana. Lantas, mimpi buruk itu seperti menjadi nyata ketika pesan baru ku terima, handphone bergetar, satu pesan baru di terima. Ku lihat di layarnya, sesaat kemudian ku buka. Ada pesan di sana, enggan membaca, tapi jelas awalnya akan berbunyi apa. “Aku pulang!”

Tatapanku kosong, terdiam di bahu jalanan yang semakin ramai. Aku terdiam bagai tak bergerak, menatap layar itu, membaca pesan itu berulang-ulang, lagi, lagi dan lagi. Aku hanya bisa membalas: “Maaf, hati-hati di jalan.” sesalku.

Masih terdiam di sana, masih meratapi kebodohanku waktu itu, yang membiarkan semuanya berlalu, dan aku, di bawah rintik hujan yang mulai turun dari angkasa yang pekat, hanya diam. Beberapa menit berlalu, ku putuskan untuk mengelilingi seputaran pusat kota, naas, besi tua ini kehabisan bahan bakar. Ada pesan baru masuk: “Kamu di mana sekarang?” bunyi pesan itu, bergegas ku jawab. “Masih di Asia Afrika (Gedung Merdeka)” jawabku singkat, dan kemudian ku lanjutkan. “Maaf, sekali lagi maaf.” tak ada balasan, hanya sepi.

Ini untuk ketiga kalinya ku lalui jalanan Braga yang terus bertambah meriah, aku kembali terdiam. Ada pesan masuk.

“Di mana?”

“Masih di Braga, nanti kasih tau kalau udah sampe,” jawabku kembali. Masih bernada penyesalan dan permintaan maaf di sana.

“Ya udah, tunggu. Aku ke sana.” tegas jawabnya.

“Jangan, kamu jangan ke sini lagi,” aku tak bisa mencegahnya, aku kembali termenung di bahu jalan.

Hanya beberapa saat kemudian, dia tampak di belakang. Dengan wajah yang sungguh, aku tak berani menatapnya, aku terdiam sesaat. Jelas moodnya berantakan, sama juga sepertiku, hancur. Hawa dingin kembali menyeret udara, menerbangkan debu-debu di sekitar kami, pepohonan yang baru di tanam bergoyang, mengikuti irama angin yang berhmbus bercabang.

Hanya beberapa saat setelah rencana pertama gagal, ku putuskan untuk menggantinya dengan rencana berikutnya. Untungnya, aku terbiasa dengan second plan, kembali meraut suasana, mencoba melukis keadaan, mengubah warna pekat dengan terang benderang, orange, jingga. Dan hanya beberapa saat kemudian, semuanya telah kembali seperti sedia kala, seperti semula. Meski nanti ada hal yang membuatku tertawa dan tampak bodoh, menjadi sangat bodoh dan tolol, dan aku baru tahu beberapa hari kemudian. Kesegaran es krim dan suasana Braga mencairkan keadaan malam itu..


Masih belum tampak matahari di sini, masih dingin membungkus hari, ku putuskan untuk mengakhiri cerita ini, masih belum selesai..



Subscribe to Our Blog Updates!




Share this article!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML