#Karakter Itu Nyata
Pagi menyapa,
kembali seperti beberapa hari yang lalu. Hawa dingin berkali lipat membungkus
hari yang belum tampak mentari di batas cakrawala. Aku masih menatap layar 14
inci ini, masih mengkhayal seperti biasa, sepagi ini aku kembali menyapa
sesuatu yang entah berwujud seperti apa, menanti mentari yang hangat menyapa,
mungkin membutuhkan beberapa waktu lagi, mungkin aku akan kembali melewatkan
momen paling romantis ketika gelap mulai hilang.
Aku hanya ingin
mengingat semuanya, merekam di dalam memori yang tersisa di otak, kembali
memutarnya jika mulai samar, kembali memutarnya jika gundah menyapa. Aku mulai
bisa merasakan kenangan yang menyakitkan beberapa waktu silam, berubah menjadi
kenangan terindah, tak ada setitik penyesalan di sana, meski ku akui ada
sedikit gundah tergambar di relung terdalam sanubari ini.
….
Beberapa hari
lalu, penat menguasai hati. beberapa hari ini yang ada hanya rasa lelah, entah
muncul dari mana. Aku akan kembali
menceritakan hari-hari itu, hari-hari yang terus berlalu, tak pernah berhenti,
begitu juga dengan kisah yang terus berganti, bergulir seperti bola salju,
semakin membesar dan terus membesar.
Ada semburat
senja yang mulai luntur keindahannya, ada juga tentang rintik hujan yang hanya
menyisakan hawa dingin tanpa ketenangan di dalamnya. Atau sekarang aku lebih
suka menatap kabut tipis di saat pagi menyapa, meski jelas terkadang aku
merindukan saat-saat semburat warna jingga itu terlukis di langit ketika petang
menjelang, atau sedikitnya aku masih bisa merasakan tenangnya hati ketika hujan
turun, lagi.
Dia, menjadi
bagian dari karakter yang ku ciptakan. Dan tak ada yang lebih membahagiakan
jika karakter itu benar-benar hidup. Karakter dari setiap tokoh yang
digambarkan itu benar-benar menyapa, tak pernah samar meski gelap mulai
menyapa, tak pernah senyap meski sepi menemani, selalu hangat meski hujan
memeluk bumi, selalu sejuk bahkan ketika garang mentari duduk di kepala, dan
akan semakin syahdu ketika pagi berselimut kabut tipis, seperti beberapa hari
ini.
Sejenak,
terbesit untuk menyelesaikan tulisan itu, tapi entah kenapa. Tanpa daya aku
hanya bisa menyerah begitu saja, membiarkan tumpukan kertas itu semakin
menggunung, tanpa ada penyelesaian di dalamnya, tanpa ada kejelasan kisah itu.
Entahlah, tapi inginku, cerita itu akan menjadi kado terindah di hari yang
indah, untuknya.
…
Ketika ku pacu
kendaraan tua ini, meliuk-liuk di padatnya kota kembang, seperti biasa. Dia
terlalu tua jika harus dipacu sedemikian rupa, jelas sekali penyebabnya, hampir
setahun lalu kuda besi Eropa ini mendapatkan sentuhan tangan mekanik. Ah, aku
hanya bisa berharap, dia tak lantas pergi meninggalkanku, ketika ia berkata “Aku
mulai bete”.
Jalanan Braga,
pukul 18.45 WIB. Ramai tentu saja, kehidupan malam mulai menggeliat di sana.
Lantas, mimpi buruk itu seperti menjadi nyata ketika pesan baru ku terima,
handphone bergetar, satu pesan baru di terima. Ku lihat di layarnya, sesaat
kemudian ku buka. Ada pesan di sana, enggan membaca, tapi jelas awalnya akan
berbunyi apa. “Aku pulang!”
Tatapanku
kosong, terdiam di bahu jalanan yang semakin ramai. Aku terdiam bagai tak
bergerak, menatap layar itu, membaca pesan itu berulang-ulang, lagi, lagi dan
lagi. Aku hanya bisa membalas: “Maaf, hati-hati di jalan.” sesalku.
Masih terdiam di
sana, masih meratapi kebodohanku waktu itu, yang membiarkan semuanya berlalu, dan
aku, di bawah rintik hujan yang mulai turun dari angkasa yang pekat, hanya
diam. Beberapa menit berlalu, ku putuskan untuk mengelilingi seputaran pusat
kota, naas, besi tua ini kehabisan bahan bakar. Ada pesan baru masuk: “Kamu di
mana sekarang?” bunyi pesan itu, bergegas ku jawab. “Masih di Asia Afrika
(Gedung Merdeka)” jawabku singkat, dan kemudian ku lanjutkan. “Maaf, sekali
lagi maaf.” tak ada balasan, hanya sepi.
Ini untuk ketiga
kalinya ku lalui jalanan Braga yang terus bertambah meriah, aku kembali
terdiam. Ada pesan masuk.
“Di mana?”
“Masih di Braga,
nanti kasih tau kalau udah sampe,” jawabku kembali. Masih bernada penyesalan
dan permintaan maaf di sana.
“Ya udah,
tunggu. Aku ke sana.” tegas jawabnya.
“Jangan, kamu
jangan ke sini lagi,” aku tak bisa mencegahnya, aku kembali termenung di bahu
jalan.
Hanya beberapa
saat kemudian, dia tampak di belakang. Dengan wajah yang sungguh, aku tak
berani menatapnya, aku terdiam sesaat. Jelas moodnya berantakan, sama juga
sepertiku, hancur. Hawa dingin kembali menyeret udara, menerbangkan debu-debu
di sekitar kami, pepohonan yang baru di tanam bergoyang, mengikuti irama angin
yang berhmbus bercabang.
Hanya beberapa
saat setelah rencana pertama gagal, ku putuskan untuk menggantinya dengan
rencana berikutnya. Untungnya, aku terbiasa dengan second plan, kembali meraut suasana, mencoba melukis keadaan,
mengubah warna pekat dengan terang benderang, orange, jingga. Dan hanya
beberapa saat kemudian, semuanya telah kembali seperti sedia kala, seperti
semula. Meski nanti ada hal yang membuatku tertawa dan tampak bodoh, menjadi
sangat bodoh dan tolol, dan aku baru tahu beberapa hari kemudian. Kesegaran es
krim dan suasana Braga mencairkan keadaan malam itu..
…
Masih belum
tampak matahari di sini, masih dingin membungkus hari, ku putuskan untuk
mengakhiri cerita ini, masih belum selesai..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar