Senin, 22 Desember 2014

Ornamen Hujan Tengah Malam

#Kontradiksi




Braga, setelah petang datang.

Sedikit kaku, aku hanya melemparkan senyum kecut ke arahnya, ku buat semanis mungkin. Aku berusaha maksimal. Jika saja bisa ku serap energi bumi, mungkin sudah ku serap semua energi bumi ini, hanya untuk melukiskan senyum terbaik di wajahku yang terlanjur berantakan. Huft, aku hanya bisa menghela napas di dalam hati.

“Kamu aja yang makan, aku ga laper!” tidak ketus memang, tapi tegas pernyataannya.

“Kenapa?” tanyaku singkat. Menelan ludah yang sepertinya tercekat di tenggorokan.

“Aku udah ga laper.” jawabannya masih dingin. Ia berada di atas angin, mengendalikan semuanya. Mengintimidasi dengan cara yang menakutkan.

Ia terlihat kecewa, aku pun sama. Tapi aku sekuat tenaga untuk mencari solusi, sepersekian detik, mencoba untuk menetralisirnya. Menguasai kedaan. Berhasil, ku belokkan arah pembicaraan, negosiasi. Setidaknya aku telah belajar untuk menjadi seorang negosiator di beberapa kesempatan. Ini tak jauh berbeda.

“Sama, aku juga tiba-tiba kenyang. Serius,” jelasku, masih mencoba menggurat senyum.

Dia diam, aku juga.

“Kita makan es krim. Mau?” kataku mencoba bernegosiasi.

Sesaat dia berfikir. Aku diam, harap-harap cemas. Tak ada jawabnya. Tapi anggukannya cukup sudah untuk menjelaskan semua pertanyaan yang tadinya samar, menjadi terang benderang. Sama seperti jalanan Braga malam itu, yang semakin terang dengan sorot lampu kedai, café dan sorot lampu kendaraan yang berlalu lalang.

Hujan lagi, hanya ada hawa dingin di luar sana. Hanya ada sepi memeluk malam yang kian pekat. Aku masih berada di sini, mencoba menggoreskan ratusan kata yang kemudian menjadi beberapa kalimat dan paragraf. Aquarium di sebelahku tak tampak lagi cerianya, hanya ada seperempat air yang tersisa, berwarna sedikit merah. Bukan, cokelat. Dulu silinder itu tampak hidup, dengan berbagai warna dari beberapa ikan kecil dan hijaunya tanaman. Lampu yang menyerap air tampak seperti siraman mentari pagi, menyejukkan mata ketika memandangnya, tapi faktanya, kini semua itu tak lebih dari sebuah silinder tak bernyawa, mati.

Senandung itu masih terdengar pelan, ribuan mantra terbang ke angkasa, menembus cakrawala, menyibak angkasa, menembus berlapis-lapis langit, dan jika mantra itu kuat, maka ia akan sampai di singgasana-Nya, dan kemudian berharap Tuhan akan menjawab itu dengan rahmat-Nya. Dengan sentuhan yang jelas bisa dirasakan, meski dengan guratan rasa sakit, tapi rasa sakit itu hanya akan terasa jika kita terlalu bodoh, tolol dan bebal. Karena, jelas Tuhan tak akan menyakiti hambanya.

Di kaki gunung Manglayang.

Suasana ini benar-benar indah. Pukul 11.24 WIB, hanya terdengar suara tetasan hujan, bertalu-talu menghantam atap rumah ini, bersenandung dengan irama detak jantung, bersinergi dengan tatapan mata, mejalar pelan, menembus qalbu, membawa kedamaian yang mungkin masih bisa dirasakan. Aku terpaku, terkesima dengan rintihan malam yang panjang. Bukan, itu bukan rintihan malam -meski malu ku katakan- hatiku yang merintih pilu malam ini.

Ini adalah bagian terindah dari sisa hari ini, hanya beberapa menit lagi hari akan berganti, ini bagian terpenting dari sebuah proses. Ini akan menjadi makna yang tak terhingga, ketika bisa ku terima rahmat yang diberikan-Nya.

Jendela itu ku buka, membiarkan angin masuk perlahan. Membelai ruangan ini, mengusap tubuhku yang sepertinya tampak mulai lelah, aku tergugu, masih menari jemariku, menuliskan kata-kata ini. Ini adalah keinginan dan harapan seseorang, penyuka hujan, pengagum mentari pagi dan kabut dingin, penikmat senja, perindu orion, dan seseorang yang lebih suka menyendiri dalam malam.

Selarik kilat tergores di angkasa, membuat terang semuanya. Hanya sesaat, sebelum gelegar halilintar membahana di atas sana. Sejenak mataku yang merekam kejadian itu terkesima, aku bisa suka itu. Tapi, lalu otakku berkata lain, ia mengajak jemariku kembali menuliskan beberapa kata lagi.
….

Beberapa waktu lalu, aku masih merindukan gelak tawa dan rengekan manja itu. Sekarang, tidak. Aku bisa kembali meniti hari. Menjelaskan satu persatu jawaban dari pertanyaan masa lalu, mencoba meluruskan nurani dan naluriku. Mencoba berinteraksi dengan sesuatu yang baru. Hanya satu sesuatu yang coba ku yakini, sungguh kenyataan itu akan selalu berbicara benar. Semua yang diberikan kepadaku, itulah yang terbaik, aku selalu percaya Tuhan maha bijaksana.
….

Masih di Braga.

Dua es krim itu menyatukan keadaan, menetralisir semuanya. Satu dua obrolan ringan mulai muncul. Sesaat ku lihat tatapan matanya, ada rona kecewa di sana. Tapi itu tak terjadi begitu lama, es krim itu meluluhkan hatinya, sejenak. Aku mencoba mencairkan kedaan dengan rentetan pertanyaan, pekerjaannya, pekerjaanku, masalah kantornya, masalah kantorku, masalahku dengan ‘dia’, dan masalahnya dengan ‘dia-nya’.

Hanya beberapa saat memang, tapi sungguh itu berharga.
….

Kaki gunung Manglayang, hari baru pukul 00.08 WIB.

Ku beritahu kau tentang satu hal, dia buat beberapa peraturan yang tanpa persetujuanku langsung disepakati olehnya, egois. Peraturan yang sebenarnya konyol, dan sepertinya dia serius dengan itu, meski jelas aku tak terlalu peduli dengan perjanjian itu, tapi aku selalu mengingatnya, detail. Aturannya, aku tidak boleh kangen dia, terlebih jika suka, aku tak boleh terlalu sering gombalin, apa lagi panggil dia dengan sebutan yang paling dia suka (yang ini jelas tak akan ku tuliskan), dan masih ada beberapa aturan lainnya.


Aku hanya bisa tersenyum, meski jelas, aku akan berusaha untuk mengikuti aturan main itu. Ku beri tahu kau akan satu hal, bahkan aku tak berani melukainya, bahkan dengan cara terhalus dan terindah sekalipun. Ada banyak alasan kenapa dia bisa menjadi salah satu tokoh karakter yang selalu ku tulis, ini bukan cerita tentang cinta sepasang kekasih, ini cerita tentang harapan dan impian, ini kisah tentang sesuatu yang terbuang, ini tentang puzzle dari kepingan yang tersingkirkan, ini adalah rangkaian nada dalam sebuah irama.



Subscribe to Our Blog Updates!




Share this article!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML