#Kontradiksi
Braga, setelah petang datang.
Sedikit kaku, aku hanya melemparkan
senyum kecut ke arahnya, ku buat semanis mungkin. Aku berusaha maksimal. Jika
saja bisa ku serap energi bumi, mungkin sudah ku serap semua energi bumi ini,
hanya untuk melukiskan senyum terbaik di wajahku yang terlanjur berantakan.
Huft, aku hanya bisa menghela napas di dalam hati.
“Kamu aja yang makan, aku ga laper!”
tidak ketus memang, tapi tegas pernyataannya.
“Kenapa?” tanyaku singkat. Menelan ludah
yang sepertinya tercekat di tenggorokan.
“Aku udah ga laper.” jawabannya masih
dingin. Ia berada di atas angin, mengendalikan semuanya. Mengintimidasi dengan cara
yang menakutkan.
Ia terlihat kecewa, aku pun sama. Tapi aku
sekuat tenaga untuk mencari solusi, sepersekian detik, mencoba untuk
menetralisirnya. Menguasai kedaan. Berhasil, ku belokkan arah pembicaraan,
negosiasi. Setidaknya aku telah belajar untuk menjadi seorang negosiator di
beberapa kesempatan. Ini tak jauh berbeda.
“Sama, aku juga tiba-tiba kenyang.
Serius,” jelasku, masih mencoba menggurat senyum.
Dia diam, aku juga.
“Kita makan es krim. Mau?” kataku
mencoba bernegosiasi.
Sesaat dia berfikir. Aku diam, harap-harap
cemas. Tak ada jawabnya. Tapi anggukannya cukup sudah untuk menjelaskan semua
pertanyaan yang tadinya samar, menjadi terang benderang. Sama seperti jalanan
Braga malam itu, yang semakin terang dengan sorot lampu kedai, café dan sorot
lampu kendaraan yang berlalu lalang.
…
Hujan lagi, hanya ada hawa dingin di
luar sana. Hanya ada sepi memeluk malam yang kian pekat. Aku masih berada di
sini, mencoba menggoreskan ratusan kata yang kemudian menjadi beberapa kalimat
dan paragraf. Aquarium di sebelahku tak tampak lagi cerianya, hanya ada
seperempat air yang tersisa, berwarna sedikit merah. Bukan, cokelat. Dulu
silinder itu tampak hidup, dengan berbagai warna dari beberapa ikan kecil dan
hijaunya tanaman. Lampu yang menyerap air tampak seperti siraman mentari pagi,
menyejukkan mata ketika memandangnya, tapi faktanya, kini semua itu tak lebih
dari sebuah silinder tak bernyawa, mati.
Senandung itu masih terdengar pelan,
ribuan mantra terbang ke angkasa, menembus cakrawala, menyibak angkasa,
menembus berlapis-lapis langit, dan jika mantra itu kuat, maka ia akan sampai
di singgasana-Nya, dan kemudian berharap Tuhan akan menjawab itu dengan
rahmat-Nya. Dengan sentuhan yang jelas bisa dirasakan, meski dengan guratan
rasa sakit, tapi rasa sakit itu hanya akan terasa jika kita terlalu bodoh,
tolol dan bebal. Karena, jelas Tuhan tak akan menyakiti hambanya.
Di kaki gunung Manglayang.
Suasana ini benar-benar indah. Pukul 11.24 WIB, hanya terdengar suara tetasan hujan, bertalu-talu menghantam atap
rumah ini, bersenandung dengan irama detak jantung, bersinergi dengan tatapan
mata, mejalar pelan, menembus qalbu, membawa kedamaian yang mungkin masih bisa
dirasakan. Aku terpaku, terkesima dengan rintihan malam yang panjang. Bukan,
itu bukan rintihan malam -meski malu ku katakan- hatiku yang merintih pilu malam
ini.
Ini adalah bagian terindah dari sisa
hari ini, hanya beberapa menit lagi hari akan berganti, ini bagian terpenting
dari sebuah proses. Ini akan menjadi makna yang tak terhingga, ketika bisa ku
terima rahmat yang diberikan-Nya.
Jendela itu ku buka, membiarkan angin
masuk perlahan. Membelai ruangan ini, mengusap tubuhku yang sepertinya tampak
mulai lelah, aku tergugu, masih menari jemariku, menuliskan kata-kata ini. Ini
adalah keinginan dan harapan seseorang, penyuka hujan, pengagum mentari pagi dan
kabut dingin, penikmat senja, perindu orion, dan seseorang yang lebih suka
menyendiri dalam malam.
Selarik kilat tergores di angkasa, membuat
terang semuanya. Hanya sesaat, sebelum gelegar halilintar membahana di atas
sana. Sejenak mataku yang merekam kejadian itu terkesima, aku bisa suka itu.
Tapi, lalu otakku berkata lain, ia mengajak jemariku kembali menuliskan
beberapa kata lagi.
….
Beberapa waktu lalu, aku masih merindukan
gelak tawa dan rengekan manja itu. Sekarang, tidak. Aku bisa kembali meniti
hari. Menjelaskan satu persatu jawaban dari pertanyaan masa lalu, mencoba
meluruskan nurani dan naluriku. Mencoba berinteraksi dengan sesuatu yang baru.
Hanya satu sesuatu yang coba ku yakini, sungguh kenyataan itu akan selalu
berbicara benar. Semua yang diberikan kepadaku, itulah yang terbaik, aku selalu
percaya Tuhan maha bijaksana.
….
Masih di Braga.
Dua es krim itu menyatukan keadaan,
menetralisir semuanya. Satu dua obrolan ringan mulai muncul. Sesaat ku lihat
tatapan matanya, ada rona kecewa di sana. Tapi itu tak terjadi begitu lama, es
krim itu meluluhkan hatinya, sejenak. Aku mencoba mencairkan kedaan dengan
rentetan pertanyaan, pekerjaannya, pekerjaanku, masalah kantornya, masalah
kantorku, masalahku dengan ‘dia’, dan masalahnya dengan ‘dia-nya’.
Hanya beberapa saat memang, tapi sungguh
itu berharga.
….
Kaki gunung Manglayang, hari baru pukul
00.08 WIB.
Ku beritahu kau tentang satu hal, dia
buat beberapa peraturan yang tanpa persetujuanku langsung disepakati olehnya,
egois. Peraturan yang sebenarnya konyol, dan sepertinya dia serius dengan itu,
meski jelas aku tak terlalu peduli dengan perjanjian itu, tapi aku selalu
mengingatnya, detail. Aturannya, aku tidak boleh kangen dia, terlebih jika suka,
aku tak boleh terlalu sering gombalin, apa lagi panggil dia dengan sebutan yang
paling dia suka (yang ini jelas tak akan ku tuliskan), dan masih ada
beberapa aturan lainnya.
Aku hanya bisa tersenyum, meski jelas, aku akan berusaha untuk
mengikuti aturan main itu. Ku beri tahu kau akan satu hal, bahkan aku tak berani
melukainya, bahkan dengan cara terhalus dan terindah sekalipun. Ada banyak
alasan kenapa dia bisa menjadi salah satu tokoh karakter yang selalu ku tulis, ini
bukan cerita tentang cinta sepasang kekasih, ini cerita tentang harapan dan
impian, ini kisah tentang sesuatu yang terbuang, ini tentang puzzle dari
kepingan yang tersingkirkan, ini adalah rangkaian nada dalam sebuah irama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar