#Hening
Hening..
Aku segera
terjaga, ketika malam masih memeluk sebagian orang dalam dekapan pekatnya yang romantis.
Suasana, ya seperti ku katakan di beberapa bagian malam sebelumnya, suasana di
waktu sepertiga malam memang selalu menangkan.
Sebagian orang
merapal jutaan mantra kepada Sang Pencipta, memohon dan mengadu, terkadang
berseandung syahdu, dalam balutan rintihan yang terkadang menohok jantung.
Merangkai serpihan harapan, menjadi gumpalan berwujud tekad. Lihat, harapan itu
terlihat semakin nyata!
Keraguan, hanya
akan menjadikan semuanya tampak sirna seketika. Itulah yang dirasakannya, saat
ini. Guratan wajahnya gambarkan kenangan yang perih, mengiris ingatannya setiap
detik dari waktu yang berputar. Perlahan ia bangkit, menatap malam yang pekat,
lalu bertanya kepada Sang Penguasa yang lama tak disapa. Adilkah?!
Hanya itu yang
terucap dari bibirnya, lirih. Getir.
Lelaki itu
berjalan pelan, menembus gelapnya malam. Melawan rasa dingin, berjalan di
antara hening dan sepi. Pekatnya malam kota ini tentu masih akan ada cahaya di
sana, ada beberapa titik terang yang akan terlihat, tapi tidak di hatinya.
Masygul.
Tak banyak
kenangan indah yang bisa diingatnya, tak banyak keindahan yang bisa
dirasakannya. Hanya ada sejuta sesal dan kenangan pahit yang merongrong isi
otaknya, perlahan menyebar dan masuk ke dalam hati, mengaburkan dan membunuh
perasaan lembutnya, berpengaruh terhadap semuanya. Ia tak lagi ramah seperti
dulu, tak lagi bijak seperti dulu, tak ada lagi tawa ceria mengembang di wajah
yang menenangkan itu. Semuanya mati. Beku, hanya ada dingin yang tergurat di
wajahnya.
Kota ini tak benar-benar
sepi. Ketika jaket lusuh itu didekapnya, menahan terpaan angin yang kencang
menghantam apapun yang dilaluinya, sebagian wanita yang melintas di depannya
justeru mengenakan pakian minim, serba minim. Rok di atas lutut dengan balutan
baju yang tak sempurna menutup tubuh mulus itu, terbuka di mana-mana.
Sepertinya angin malam menghangatkannya.
Ia hanya
mendengus, menatap sebentar dan kemudian mengalihkan pandangan. Menatap barisan
tegel di jalanan itu, berjejer rapih. Tersusun indah. Ia sejenak berpikir,
seandainya hidup ini seperti batu bata itu, tersusun tanpa perlawanan, diinjak
sekalipun mereka tak akan berontak, dan ketika usia menggerogoti kekuatannya,
ia akan hancur dan melebur, menjadi debu, terbang ke angkasa dan menghhilang
bersama udara. Jika bisa memilih, dia akan menjadi seperti batu itu. Tanpa
perlawanan dan tanpa logika, yang terpenting, tanpa perasaan.
Ia masih
berjalan, mencoba mengais sisa-sia harapan. Ah, dia baru ingat. Tak akan ada
harapan, tak akan ada lagi tawa riang dan gembira yang bisa di rasakannya,
semuanya sudah sirna, pun kepercayaannya terhadap Penguasa Jagat Raya. Ia
meleburkan dirinya dalam jurang penyesalan, dalam, pekat. Tanpa cahaya.
…
Suasana pagi ini
terlihat indah, matahari pagi mengintip di antara tembok-tembok yang menjulang
tinggi. Tentu tidak seindah jika melihat lukisan matahari terbit dari
puncak-puncak tertinggi di pulau ini. Menatap sejajar, dengan awan seputih
kapas mengambang di bawah sana, terbentang seperti gelomban di samudera luas.
Aku bisa
menikmati lembut jemari pagi mengelus harapanku, menjamah hati, sejuk. Ada nada
manja yang kembali menyapa di ujung sana, bisikan kata-kata seperti sedia kala.
Ada setitik kehangatan menjalar pelan, menembus sekat-sekat yang ku buat, mulai
menumbuhkan tunas-tunas dari benih harapan yang terbunuh.
Ketika sapa si
mata biru kembali hadir di antara malam yang pekat, menjelajah hingga padang
gersang dengan peradaban ribuan tahun silam, gemercik air mengalir pelan,
syahdu terdengar menembus keheningan hutan, kicau burung yang bertengger di
ranting-ranting pepohonan, hijau, lebat. Aku kembali menyapa harapan itu,
kembali menumbuhkan asa tentang impian yang sempat sirna, ingin menjelajah
separuh waktu yang tersisa dari genggaman sang waktu.
Kemarin, ku
dapati kabar dari si pembawa pesan, tentang wanita pujaan. Ya, tentu aku bisa
menangkap aroma itu kembali hadir menyapaku, membelai hati yang mulai membeku.
Si pembawa pesan berikan pelajaran ketika pagi mulai menyapa, begitu juga
ketika petang menjelang, menggambarkan keindahan dari jutaan rasa yang
tercipta, untuknya, Rintik Senja.
Sepagi ini,
ketika matahari mulai meninggi, sekarang ia lebih tinggi dari gedung-gedung
itu. Meninggi seperti angan dan harapanku, tentang negeri-negeri yang jauh.
Kembali, kata jauh menyapaku, kembali ia mengingatkanku, perjalanan ini masih
akan berlanjut, masih akan menuliskan tentang langkah-langkah yang mulai lelah.
Menyambangi
negeri impian, di mana saat ini, bentangan alam dan keindahan Nusantara telah
mengingatkanku, bahwa negeri ini lebih elok dibandingkan arti kata jauh itu
sendiri. Tapi, tentu aku tak ingin keindahan ini membenamkanku. Ada berjuta
keindahan di luar sana, dengan balutan rasa sakit dan derita, itu jauh lebih
indah dibandingan dengan eloknya negeri ini. Aku, di sini, membawa harapan dan
impian yang sempat terkubur, akan ku bawa semua ini, melangkah, menjauh.
Ketika si
pembawa pesan menjelma menjadi ‘Si Pengingat Kehidupan’ aku akan kembali
menyapa pagi dengan memeluk harapan tentang indahnya pelangi di antara pesona
Rintik Senja..
Inilah awal dari
awal yang tak akan pernah berakhir..
Pagi yang cerah
Bandung, 05
November 2014
06.53 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar