Hampir tak ada yang
tersisa, semuanya amblas (hilang). Entah
kemana perginya semua itu. Entah kemana arahnya kini.
…
Malam ini. Masih di
tempat yang sama. Pada ketinggian 750Mdpl, masih ada beberapa rekan yang
beraktifitas, bermacam-macam. Tak perlu kuberitahu kalian, karena kurasa kalian
pun tak ingin mengetahuinya. Masih juga terasa dingin, seperti kemarin. Masih di
bulan September, masih juga berada di musim kemarau. Ketika siang, mentari
kembali menyapa, tidak seperti biasanya yang selalu teduh.
Kali ini benar-benar
terik. Tapi, angin yang berhembus masih terasa dingin. Cukup menghibur beberapa
orang yang tersengat mentari siang tadi, termasuk aku.
Aku adalah salah seorang
yang bersyukur angin masih mau berhembus pelan, terkadang kencang. Menerbangkan
debu jalanan, menggoyangkan dahan, menerbangkan dedaunan yang terlihat mulai
menua, jatuh ke tanah, dan sesaat kemudian akan terinjak-injak oleh berbagai
roda. Mulai dari roda empat, tiga, dua, atau bahkan tak beroda. Dan jika daun
yang menua itu bernyawa dan berwujud manusia, maka ia akan berdoa. Semoga
injakan itu bisa membuatnya lepas dari semua dosa yang telah diperbuatnya.
Tapi apa daya, dia
bukanlah manusia, ia hanya akan sesaat berada di sana dalam bentuk daun,
setelah dua atau tiga hari, daun itu akan hancur, menjadi debu dan jika
beruntung ia akan terbang melayang, jika tidak, ia akan mengendap dan kemudian
disaat musim hujan ia akan mengalir ke selokan yang panjang membentang dari
ujung barat hingga ke ujung timur, mengalir tak terhenti, menyusuri jalanan
padat diperkotaan, kemudian menyusuri desa-desa, membaur bersama
kotoran-kotoran yang berbau tak beradab, lalu bau itu akan menguap, menjadi polusi
yang menggangu penciuman.
Tapi anehnya,
sebusuk-busuknya aroma itu, manusia seperti tidak peduli. Ia hanya akan berlalu
tanpa melakukan apa-apa. Jika ku gambarkan, aroma itu seperti aroma bau para
pencuri berdasi, kita tahu ia melakukan aksi, tapi tanpa daya kita akan
menganggapnya biasa. Ini bukan hujatan, ini hanya pendapat. Sah-sah saja bukan?
Karena pemerintah memberikan kebebasan kepada warganya untuk berpendapat, dan
aku akan menggunakan hakku. Cukup, tak usah diperpanjang lagi. Karena aku tak
berkopenten membahasnya, terlalu rumit untukku, seseorang yang tidak terlalu
pandai membahas hal itu. Dan jika aku melakukannya, sama saja aku seperti tong
kosong nyaring bunyinya. Maka sebelum kalian menganggap aku seperti itu, aku
akan mengakhirinya. Sekarang.
Menelisik dari kisah
daun yang tak selalu beruntung, mungkin dikatakan aku bernasib sama. Daun di
perkotaan itu tidak seberuntung dedaunan yang tumbuh dari pohon di tengah
belantara rimba. Perbedaannya bagaikan langit dan bumi. Daun yang tumbuh di
hutan, setelah jatuh ia akan menyuburkan tanah, memberikan kehidupan baru bagi
biji-bijian yang akan segera menjadi tunas-tunas muda.
Sungguh, harusnya kita
berbelas kasihan terhadap itu semua, kepada daun yang hidup diperkotaan, yang
memberikan hawa segar dan kenikmatan untuk kita mendapatkan oksigen segar,
bernafas tanpa harus membayar, berteduh ketika panas menerjang, berbicara ngalor ngidul dengan teman sejawat, tapi
balasan yang manusia berikan tak sebanding dengan apa yang diberikan pohon dan
dedaunan itu.
Pedapatku (lagi-lagi), manusia,
terlalu egois, terlalu individualis akhir-akhir ini. Sepertinya mereka bisa
hidup sendiri, bisa melakukannya sendiri, sepertinya mereka tidak membutuhkan
orang lain. Jika tidak kenal, maka tak akan meyapa, jika tak butuh maka tak akan
mendekat, jika tak punya uang, jangan harap mendapat perhatian. Sepertinya ukuran
penghormatan dan rasa percaya itu dihitung dengan menggunakan tumpukan uang,
Rupiah, Poudsterling, Euro, Dollar atau satuan mata uang lainnya di belahan
dunia ini yang entah bernama apa, dan sepertinya aku tak perlu mengetahuinya. Percuma
saja, karena satu mata uangpun sulit untuk ku dapatkan.
Perumpamaannya daun itu
sepertinya cocok disematkan kepadaku. Aku tak ubahnya seperti dedaunan yang
tumbuh dipekarangan perkantoran dan pinggir jalan. Terhempaskan oleh angin,
jatuh, terinjak-injak, dan kemudian mengering. Hancur, tak berbentuk sama
sekali, diterjang badai berbentuk cobaan, ujian, atau bisa dikatakan ini adalah
azab, karma. Ya mungkin yang terakhir itu lebih masuk akal dan dapat diterima
oleh sebagian orang, bahkan oleh diriku sendiri. Yang akan berbesar hati
menerima semuanya. Tanpa harus melakukan perlawanan, tanpa harus memberikan argumen
ilmiah penuh teori yang berbelit.
Tak perlu pengujian,
karena akupun akan menerimanya, mencoba untuk menggunakan kata rela, ikhlas,
lapang dada, atau semua istilah yang bisa dikatakan untuk menggantikan kata legowo.
Jika aku lahir di waktu
dulu, aku akan mencipatakan peribahasa yang berbeda. Peribahasa ‘sudah jatuh
tertimpa tangga’ adalah ungkapan yang menyatakan kesialan bertubi-tubi yang menghampiri.
Mungkin sekarang tidak akan bisa digunakan lagi, karena yang lebih cocok adalah
‘sudah jatuh tertimpa tangga, terinjak-injak, dan kemudian dilemparkan ke
tumpukan sampah yang sudah dikerubungi ratusan lalat berwarna hijau, lalu masuk
ke dalam truk pengangkut yang sudah ada banyak sampah di sana, lalu dibawa
menuju tempat pembuangan sampah akhir, sampai sana pun hanya akan ditumpuk dan
kemudian membusuk, lagi-lagi menjadi hal yang tidak berguna, sampah’. Panjang
memang, tapi itulah yang lebih pas untuk menggambarkan semuanya. Maka aku akan
berkomentar, kurasa kau juga akan sepaham denganku. Satu kata itu, Mengenaskan!.
Aku, masih termenung. Melihat
secarik kertas itu, meratapi nasib yang sepertinya enggan membaik. Apa yang
bisa diharapkan dari semua nasib ini, jika nasi sudah menjadi bubur itu masih
bisa enak. Tinggal ditambahkan sayuran, beberapa potong ayam, kecap, sambal dan
telur maka akan menjadi bubur ayam spesial, walaupun akan tambah modal. Tapi itu
sebanding dengan rasanya bukan? Nah ku beri tahu kepada kalian, yang menimpaku
ini lebih buruk dari itu, nasi yang sudah menjadi bubur itu menjadi basi tak
lama setelah hancur, ku rasa hewan pun enggan memakannya. Karena aku pun sudah
bergidik melihatnya. Jijik.
Kau ingin tahu apa isi
selembar kertas itu? Itu adalah Kartu Hasil Studi atau biasa disebut KHS. Aku tak
mengerti dengan semua ini, semua nilai yang tertera di secarik kertas itu tak
sebanding dengan apa yang ku bayangkan. Tak ada nilai ‘A’ di sana. Dan lebih
sialnya, ada beberapa mata kuliah yang sudah ku ambil dua kali, dan tidak
berhasil lulus, kau tahu, mata kuliah itu sudah ku ambil dua kali, dua tahun,
dan aku harus menunggu satu semester lagi untuk mengulangnya. Sepertinya aku
akan menjadi koboi kampus, yang banyak kasus seperti kata para musisi nyeleneh itu, Pemuda Harapan Bangsa.
Apa lagi yang bisa ku
katakan, ini tahun kelima aku berada di tempat ini. Mungkin bagi anak teknik
itu hal yang wajar, karena mereka terbiasa lulus ketika sudah melewati semester
ketujuh. Tapi aku adalah mahasiswa ekonomi, yang katanya tidak lebih susah dari
jurusan teknik. Tapi itu tak berlaku bagiku. Mungkin pada saat pembagian otak
dulu, aku terlambat datang. Dan inilah akibatnya. Menjadi mahasiswa abadi tak
lulus-lulus.
Ini seperti kabar duka
bagiku, sepertinya aku membutuhkan belasungkawa. Kalian boleh memberikannya. Sekarang,
aku akan menerimanya, dengan perasaan gembira. Percayalah, aku akan menyukainya
ketika kalian mengatakannya kepadaku. Maka akan kuucapkan, terima kasih tak
terhingga.
…
Bandung, 13 September 2014 pukul 05.25 WIB.
Tak perlu ku perjelas
lagi, tak perlu kuceritakan lagi. Bagian ini aku tidak akan menceritakan
kisahku yang selalu berbicara duka dan nestapa. Aku akan bercerita tentang dia,
dia adalah seorang wanita. Usianya mungkin hanya terpaut lebih muda satu atau dua tahun denganku. Aku
baru mengenalnya sekitar dua tahun silam, tak banyak yang kami bicarakan dulu,
hanya saja akhir-akhir ini aku sering bercengkrama dengannya. Masih canggung,
tapi ku tebak. Dan aku yakin, ini akan segera mencair.
Ya, akan kuceritakan. Dia
adalah seseorang yang kuberi nama ‘Si Pembawa Pesan’. Tingginya mungkin 160-165
cm (bisa lebih bisa kurang, aku tak pernah mengukurnya), rambutnya mungkin
hitam, ku katakan demikian karena aku tak pernah melihatnya, selama ini ia
selalu menutupnya dengan balutan kerudung. Matanya, agak sipit, tapi bola
matanya besar dan selalu berbinar, alisnya jarang-jarang tapi panjang, bibirnya
tipis, agak berwarna merah, tapi tak terlalu merah, karena setahuku dia tak
pernah menggunakan lipstick berwarna menyala, hidungnya mungil, wajahnya
bersih, dan bisa ku pastikan jika dia malu, atau marah pasti warnanya akan
bersemu merah.
Sepertinya dia pendiam. Tidak, dia tidak pendiam, dia hanya akan menjadi pendiam terhadap seseorang yang tidak dikenalnya. Dia akan berubah menjadi seseorang yang berbeda ketika mengenalnya. Periang. Mudah bergaul, suka membaca, dan dia pandai menyembunyikan perasaan, sama seperti kebanyakan wanita. Tapi dia tidak benar-benar pandai menyembunyikannya. Aku bisa mudah memancingnya untuk bercerita, dan itu adalah salah satu keahlianku. Jika dia pandai menyembunyikan perasaan, mungkin aku tidak akan bisa menceritakan ini.
Dan ini adalah awal dari
semua cerita tentang si pembawa pesan..
…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar