Sabtu, 13 September 2014

Bukan Kisahku, Tapi Kisahnya (Si Pembawa Pesan, Bagian 1)



Hampir tak ada yang tersisa, semuanya amblas (hilang). Entah kemana perginya semua itu. Entah kemana arahnya kini.
Malam ini. Masih di tempat yang sama. Pada ketinggian 750Mdpl, masih ada beberapa rekan yang beraktifitas, bermacam-macam. Tak perlu kuberitahu kalian, karena kurasa kalian pun tak ingin mengetahuinya. Masih juga terasa dingin, seperti kemarin. Masih di bulan September, masih juga berada di musim kemarau. Ketika siang, mentari kembali menyapa, tidak seperti biasanya yang selalu teduh.

Kali ini benar-benar terik. Tapi, angin yang berhembus masih terasa dingin. Cukup menghibur beberapa orang yang tersengat mentari siang tadi, termasuk aku.

Aku adalah salah seorang yang bersyukur angin masih mau berhembus pelan, terkadang kencang. Menerbangkan debu jalanan, menggoyangkan dahan, menerbangkan dedaunan yang terlihat mulai menua, jatuh ke tanah, dan sesaat kemudian akan terinjak-injak oleh berbagai roda. Mulai dari roda empat, tiga, dua, atau bahkan tak beroda. Dan jika daun yang menua itu bernyawa dan berwujud manusia, maka ia akan berdoa. Semoga injakan itu bisa membuatnya lepas dari semua dosa yang telah diperbuatnya.

Tapi apa daya, dia bukanlah manusia, ia hanya akan sesaat berada di sana dalam bentuk daun, setelah dua atau tiga hari, daun itu akan hancur, menjadi debu dan jika beruntung ia akan terbang melayang, jika tidak, ia akan mengendap dan kemudian disaat musim hujan ia akan mengalir ke selokan yang panjang membentang dari ujung barat hingga ke ujung timur, mengalir tak terhenti, menyusuri jalanan padat diperkotaan, kemudian menyusuri desa-desa, membaur bersama kotoran-kotoran yang berbau tak beradab, lalu bau itu akan menguap, menjadi polusi yang menggangu penciuman.

Tapi anehnya, sebusuk-busuknya aroma itu, manusia seperti tidak peduli. Ia hanya akan berlalu tanpa melakukan apa-apa. Jika ku gambarkan, aroma itu seperti aroma bau para pencuri berdasi, kita tahu ia melakukan aksi, tapi tanpa daya kita akan menganggapnya biasa. Ini bukan hujatan, ini hanya pendapat. Sah-sah saja bukan? Karena pemerintah memberikan kebebasan kepada warganya untuk berpendapat, dan aku akan menggunakan hakku. Cukup, tak usah diperpanjang lagi. Karena aku tak berkopenten membahasnya, terlalu rumit untukku, seseorang yang tidak terlalu pandai membahas hal itu. Dan jika aku melakukannya, sama saja aku seperti tong kosong nyaring bunyinya. Maka sebelum kalian menganggap aku seperti itu, aku akan mengakhirinya. Sekarang.

Menelisik dari kisah daun yang tak selalu beruntung, mungkin dikatakan aku bernasib sama. Daun di perkotaan itu tidak seberuntung dedaunan yang tumbuh dari pohon di tengah belantara rimba. Perbedaannya bagaikan langit dan bumi. Daun yang tumbuh di hutan, setelah jatuh ia akan menyuburkan tanah, memberikan kehidupan baru bagi biji-bijian yang akan segera menjadi tunas-tunas muda.

Sungguh, harusnya kita berbelas kasihan terhadap itu semua, kepada daun yang hidup diperkotaan, yang memberikan hawa segar dan kenikmatan untuk kita mendapatkan oksigen segar, bernafas tanpa harus membayar, berteduh ketika panas menerjang, berbicara ngalor ngidul dengan teman sejawat, tapi balasan yang manusia berikan tak sebanding dengan apa yang diberikan pohon dan dedaunan itu.

Pedapatku (lagi-lagi), manusia, terlalu egois, terlalu individualis akhir-akhir ini. Sepertinya mereka bisa hidup sendiri, bisa melakukannya sendiri, sepertinya mereka tidak membutuhkan orang lain. Jika tidak kenal, maka tak akan meyapa, jika tak butuh maka tak akan mendekat, jika tak punya uang, jangan harap mendapat perhatian. Sepertinya ukuran penghormatan dan rasa percaya itu dihitung dengan menggunakan tumpukan uang, Rupiah, Poudsterling, Euro, Dollar atau satuan mata uang lainnya di belahan dunia ini yang entah bernama apa, dan sepertinya aku tak perlu mengetahuinya. Percuma saja, karena satu mata uangpun sulit untuk ku dapatkan.

Perumpamaannya daun itu sepertinya cocok disematkan kepadaku. Aku tak ubahnya seperti dedaunan yang tumbuh dipekarangan perkantoran dan pinggir jalan. Terhempaskan oleh angin, jatuh, terinjak-injak, dan kemudian mengering. Hancur, tak berbentuk sama sekali, diterjang badai berbentuk cobaan, ujian, atau bisa dikatakan ini adalah azab, karma. Ya mungkin yang terakhir itu lebih masuk akal dan dapat diterima oleh sebagian orang, bahkan oleh diriku sendiri. Yang akan berbesar hati menerima semuanya. Tanpa harus melakukan perlawanan, tanpa harus memberikan argumen ilmiah penuh teori yang berbelit.

Tak perlu pengujian, karena akupun akan menerimanya, mencoba untuk menggunakan kata rela, ikhlas, lapang dada, atau semua istilah yang bisa dikatakan untuk menggantikan kata legowo.

Jika aku lahir di waktu dulu, aku akan mencipatakan peribahasa yang berbeda. Peribahasa ‘sudah jatuh tertimpa tangga’ adalah ungkapan yang menyatakan kesialan bertubi-tubi yang menghampiri. Mungkin sekarang tidak akan bisa digunakan lagi, karena yang lebih cocok adalah ‘sudah jatuh tertimpa tangga, terinjak-injak, dan kemudian dilemparkan ke tumpukan sampah yang sudah dikerubungi ratusan lalat berwarna hijau, lalu masuk ke dalam truk pengangkut yang sudah ada banyak sampah di sana, lalu dibawa menuju tempat pembuangan sampah akhir, sampai sana pun hanya akan ditumpuk dan kemudian membusuk, lagi-lagi menjadi hal yang tidak berguna, sampah’. Panjang memang, tapi itulah yang lebih pas untuk menggambarkan semuanya. Maka aku akan berkomentar, kurasa kau juga akan sepaham denganku. Satu kata itu, Mengenaskan!.

Aku, masih termenung. Melihat secarik kertas itu, meratapi nasib yang sepertinya enggan membaik. Apa yang bisa diharapkan dari semua nasib ini, jika nasi sudah menjadi bubur itu masih bisa enak. Tinggal ditambahkan sayuran, beberapa potong ayam, kecap, sambal dan telur maka akan menjadi bubur ayam spesial, walaupun akan tambah modal. Tapi itu sebanding dengan rasanya bukan? Nah ku beri tahu kepada kalian, yang menimpaku ini lebih buruk dari itu, nasi yang sudah menjadi bubur itu menjadi basi tak lama setelah hancur, ku rasa hewan pun enggan memakannya. Karena aku pun sudah bergidik melihatnya. Jijik.

Kau ingin tahu apa isi selembar kertas itu? Itu adalah Kartu Hasil Studi atau biasa disebut KHS. Aku tak mengerti dengan semua ini, semua nilai yang tertera di secarik kertas itu tak sebanding dengan apa yang ku bayangkan. Tak ada nilai ‘A’ di sana. Dan lebih sialnya, ada beberapa mata kuliah yang sudah ku ambil dua kali, dan tidak berhasil lulus, kau tahu, mata kuliah itu sudah ku ambil dua kali, dua tahun, dan aku harus menunggu satu semester lagi untuk mengulangnya. Sepertinya aku akan menjadi koboi kampus, yang banyak kasus seperti kata para musisi nyeleneh itu, Pemuda Harapan Bangsa.

Apa lagi yang bisa ku katakan, ini tahun kelima aku berada di tempat ini. Mungkin bagi anak teknik itu hal yang wajar, karena mereka terbiasa lulus ketika sudah melewati semester ketujuh. Tapi aku adalah mahasiswa ekonomi, yang katanya tidak lebih susah dari jurusan teknik. Tapi itu tak berlaku bagiku. Mungkin pada saat pembagian otak dulu, aku terlambat datang. Dan inilah akibatnya. Menjadi mahasiswa abadi tak lulus-lulus.

Ini seperti kabar duka bagiku, sepertinya aku membutuhkan belasungkawa. Kalian boleh memberikannya. Sekarang, aku akan menerimanya, dengan perasaan gembira. Percayalah, aku akan menyukainya ketika kalian mengatakannya kepadaku. Maka akan kuucapkan, terima kasih tak terhingga.
Bandung, 13 September 2014 pukul 05.25 WIB.
Tak perlu ku perjelas lagi, tak perlu kuceritakan lagi. Bagian ini aku tidak akan menceritakan kisahku yang selalu berbicara duka dan nestapa. Aku akan bercerita tentang dia, dia adalah seorang wanita. Usianya mungkin hanya terpaut lebih muda satu atau dua tahun denganku. Aku baru mengenalnya sekitar dua tahun silam, tak banyak yang kami bicarakan dulu, hanya saja akhir-akhir ini aku sering bercengkrama dengannya. Masih canggung, tapi ku tebak. Dan aku yakin, ini akan segera mencair.

Ya, akan kuceritakan. Dia adalah seseorang yang kuberi nama ‘Si Pembawa Pesan’. Tingginya mungkin 160-165 cm (bisa lebih bisa kurang, aku tak pernah mengukurnya), rambutnya mungkin hitam, ku katakan demikian karena aku tak pernah melihatnya, selama ini ia selalu menutupnya dengan balutan kerudung. Matanya, agak sipit, tapi bola matanya besar dan selalu berbinar, alisnya jarang-jarang tapi panjang, bibirnya tipis, agak berwarna merah, tapi tak terlalu merah, karena setahuku dia tak pernah menggunakan lipstick berwarna menyala, hidungnya mungil, wajahnya bersih, dan bisa ku pastikan jika dia malu, atau marah pasti warnanya akan bersemu merah.

Sepertinya dia pendiam. Tidak, dia tidak pendiam, dia hanya akan menjadi pendiam terhadap seseorang yang tidak dikenalnya. Dia akan berubah menjadi seseorang yang berbeda ketika mengenalnya. Periang. Mudah bergaul, suka membaca, dan dia pandai menyembunyikan perasaan, sama seperti kebanyakan wanita. Tapi dia tidak benar-benar pandai menyembunyikannya. Aku bisa mudah memancingnya untuk bercerita, dan itu adalah salah satu keahlianku. Jika dia pandai menyembunyikan perasaan, mungkin aku tidak akan bisa menceritakan ini.

Dan ini adalah awal dari semua cerita tentang si pembawa pesan..




Subscribe to Our Blog Updates!




Share this article!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML