Jumat, 12 September 2014

Ketika Purnama Bercerita di Awal September (Rekam Jejak, Bagian 2)



Kerinduanku tidak hanya tertuju pada mendiang ayah, ada sebersit kerinduan kepada beberapa orang. Ya, entah kenapa, malam itu aku begitu banyak merindukan orang. Mungkin pembahasannya akan dipersempit, dan ku akui, mereka adalah wanita. Ya beberapa wanita yang ku rindukan.

Pertama, ku beri tahu kau tentang seorang wanita yang begitu luar biasa, aku mengenal seorang wanita, dia adalah pengagum senja. Sama denganku, aku pun sama. Menjadi pengagum semburat warna jingga di penghujung hari. Diantara batas siang dan malam, di antara batas waktu, ada seberkas keindahan yang terpancar dari warna jingga di atas sana.

Aku merindukannya, ya harus ku akui itu.

Bertemu, jangan kau tanyakan sesering apa aku bertemu dengannya, aku baru bertemu dengannya dua kali. Dua kali dalam hidupku yang berharga. Singkat memang, tapi ku katakan kepadamu, ia bisa memberikan banyak ketenangan dalam hidupku (tidak berlebihan). Ya, waktu itu dan bahkan jika boleh ku katakan ia masih melakukan hal yang sama hingga sekarang.

Dia pernah berkata, bahwa aku menjadikannya tak lebih dari sekedar buku catatan. Yang bisa menuliskan cerita apapun, bisa mengungkapkan rasa apapun, meluapkannya dalam barisan kata-kata. Dan bodohnya, aku baru menyadari itu beberapa waktu lalu, belum lama. Tahukah, waktu itu dia putuskan untuk menjauh dariku, aku bisa menerimanya, tapi coba tebak. Aku hanya bisa bertahan dalam hitungan hari untuk tidak kembali menghubunginya.

Aku kembali menyapanya, memberikan berbaris-baris kata cinta, menggoda, dan entah kenapa dia menerimanya. Mungkin kau akan segera paham, bahwa rasa seperti itu tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, karena itu semua tidak perlu penjelasan, itu hanya bisa dirasakan, dan ketika kau merasakan itu, kau akan tahu penjelasannya seperti apa.

Pernah suatu ketika, kita berharap bisa menikmati senja bersama. Diantara irama deburan ombak di pantai, menatap indahnya sunset, atau kembali mendaki puncak-puncak itu, menikmati pesona negeri di atas awan. Mencium aroma perapian, ya itu yang diinginkannya, pada hari di mana dia memutuskan untuk tidak menghubungiku kembali.

Hingga detik ini, aku masih bisa merasakan jika belum bisa benar-benar ‘menjauh’. Pernah ku katakan dalam tulisan, jika ada seseorang yang mendekatimu saat ini, ada seseorang yang begitu ingin mendapingimu, atau lebih tepatnya kau diinginkan seseorang untuk mendampinginya, tapi entah kenapa kau menolaknya. Jika kau katakan masa lalu seseorang itu begitu kelam, kau tidak akan tahu masa depan seseorang. Jadi sepertinya kita tidak bisa menghakimi masa depan seseorang dengan melihat masa lalunya. Kau punya kekuatan untuk merubah seseorang, kau punya kekuatan itu. Tapi kau miliki kehidupanmu sendiri. Dan kau berhak untuk memutuskan apa yang menurutmu baik.

Apakah kau sudah lupa, masa laluku tidak lebih buruk dari lelaki itu, dan kau satu-satunya orang yang tahu begitu detail tentangku. Kau tahu kenapa, karena kau adalah catatanku. Tak ada seorang wanita di dunia ini yang mengetahui kisahku sedetail dirimu, bahkan ibuku sekalipun.

Sejauh ini, belum ada yang bisa menggantikan peranmu. Belum ada, dan mungkin hingga nanti waktunya tiba, ‘dia’ tidak akan pernah bisa lebih tahu daripada dirimu.

Aku tidak akan bercerita banyak tentang dirimu di sini, karena ada sebagian catatanku tentang fase ini, di bagian selanjutnya. Kau pegang catatan tentangku, maka aku akan memberikan catatan tentang kita. Dari satu kata akan banyak makna, akan ada banyak cerita, dari satu kata akan tertulis puluhan paragraf, ratusan halaman hanya untuk membahas catatan itu.

Begitulah mungkin aku bercerita tentangnya, tak perlu panjang lebar. Karena mungkin akan kembali ku ceritakan dia ‘Si Pengagum Senja’ dalam kisah yang berbeda. Kau tahu, aku tidak bisa melupakan ‘Si Pengagum Senja’ ini. Kau bertanaya kenapa? Bukankah sudah ku katakan, dia adalah catatanku, jurnalku. Jadi ketika ku buka lembaran baru dari jurnalku yang baru, secara otomatis catatan tentangnya akan kembali terbuka. Aku akan membacanya pelan-pelan, untuk ku selaraskan dengan kisah sesudahnya.

Kedua, aku juga merindukan seseorang yang kini ku tahu, sedang berusaha menggapai impiannya. Ratusan kilo meter dari tempatku berada. Jauh berada di bagian timur Indonesia. Ia mengabdikan dirinya untuk bangsa ini, pergi jauh ke tempat terpencil di bagian timur negara ini. Mencoba menanamkan asa kepada para generasi penerus bangsa di batas terluar nusantara.

Jika kau belum tahu bagaimana terpencilnya tempat itu, akan sedikit ku gambarkan. Listrik, adalah barang langka di sana, dia pernah memberikan kabar, bahwa di sana hanya ada gulita ketika malam menjelang, hingga ketika malam telah larut, yang terdengar hanya suara debur ombak. Sesekali ia mengabarkan dirinya dengan sebuah foto yang dipasang di halaman facebook miliknya.

Ku katakan kepadamu, dia sangat suka orion, dia selalu menggambarkan dirinya (secara tidak langsung) sebagai penjelmaan dari wujud orion (dia tidak pernah menyebutkan dirinya orion, aku saja yang memberikan nama itu. Beberapa bulan yang lalu). Orion, tak banyak yang ku tahu tentang itu, sedikit yang ku ketahui, itu adalah jajaran bintang yang selalu menujukkan arah bagi para nelayan. Tak tahu, arah mana yang di tuju, jika kau tahu, kau bisa beritahu aku.

Dan tebak, dia juga pengagum senja, sama seperti orang pertama. Dan akupun juga sama. Dia menulis, sama seperti si pengagum senja, ia selalu menuliskan cerita, tentangku. Jangan kau tanya aku tahu dari mana, karena aku tipikal orang yang selalu ingin tahu atau dalam bahasa anak muda sekarang biasa di sebut ‘kepo’. Aku bisa membaca, bahwa sebagian besar disetiap tulisannya selalu membawa diriku, dalam makna kiasan yang berbeda tentunya, dan mungkin hanya aku dan dia yang tahu siapa objek yang selalu dibicarakan.

Ku perjelas, dia adalah wanita pertama yang menjadi bagian dari cerita ini. Dan ku sebut dia ‘Orion’. Karena entah mengapa, setelah apa yang ku lakukan kepadanya, dia tidak pernah bisa membenciku. Kau tahu, pernah suatu ketika selama dua hari aku tak makan, jika kau pikir aku sakit. Maka kau salah, ku beritahu kau, aku tak punya uang!.

Waktu itu tak ada uang di saku, bahkan logam recehan pun sudah tandas untuk membeli makan malam kemarin. Dan dia, dia mengajakku untuk makan, dan jangan kau tanyakan siapa yang bayar, tentu saja bukan aku. Waktu itu aku hanya seorang sarjana tanpa pekerjaan, ya, boleh kau katakan, aku seorang pengangguran, Sarjana Ekonomi, keren bukan? Tapi, untuk apa jadi sarjana jika tak bisa menghidupi diri sendiri. Dan dia, dia sudah mendapatkan pekerjaan, bisa dikatakan dia lebih mapan karena berpenghasilan.

Setelah menyelesaikan studi di perguruan tinggi aku tak langsung bekerja. Bukan karena aku enggan, tapi sepertinya perusahaan-perusahaan itu enggan menerimaku sebagai karyawannya, katanya aku berpotensi, tapi belum saatnya untuk bergabung dengan perusahaan itu, aku harus banyak belajar dan berusaha lagi. Dan baru ku ketahui bahwa itu adalah cara penolakan secara halus kepada calon karyawan yang tidak berkopenten. Dan aku termasuk dari sekian banyak sarjana yang tak dapat pekerjaan itu. Tapi ku sebut aku tidak menganggur, aku sedang menikmati ‘liburan’. Aku tahu dan percaya bahwa rezekiku sudah ditetapkan oleh-Nya, dan itu benar adanya. Karena sesekali aku bisa menjual hasil karyaku, cukup untuk makan satu minggu.

Sering ku dengar potongan lirik dari maestro musisi Indonesia Iwan Fals, dia mengatakan:”..Sarjana begini, banyaklah di negeri ini. Tiada bedanya dengan roti,”
Benar tebakanmu, aku tersindir dengan kalimat idolaku itu, tapi entah kenapa aku begitu lantang menyanyikannya.

Biarlah jika kau katakan aku tak punya malu. Untuk apa malu, malu hanya akan membuatku mati dan terbujur kaku waktu itu. Maka, ku perjelas kepadamu, ku hapuskan kata ‘malu’ dari kamusku. Itu kata pertama yang kucoret dari daftar hidupku, tentu tidak berlaku kepada beberapa hal. Aku masih malu untuk bebuat dosa (dosa besar, menurutku) ku harap kau bisa maklumi itu.
Oke, cukup tentang Orion.

Ketiga. Baiklah, aku akan memulai cerita tentang orang terakhir. Orang yang menjadi pemicu semua cerita ini. jika ku katakan, dua orang sebelumnya selalu menyukai hal yang sama, maka orang ketiga ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang ku sukai.

Ku perjelas untukmu, dua orang sebelumnya adalah pengagum senja, pengagum orion, pembaca novel, penulis puisi (sama sepertiku), penulis cerita fiksi, pendaki gunung bahkan, maka orang ketiga ini tidak pernah melakukan apa yang dilakukan olehku, atau dua orang sebelumnya.

Membaca, jangan harap dia suka. Jika ku sodorkan tumpukan novel maka dia akan memintaku untuk menceritakan ulang, dengan gaya bahasa dan ringkasan cerita, itupun tidak akan berjalan lama. Atau jika ku paksa dia, dia membuka satu buku dan membalikkan halaman pertama, dan ketika ku palingkan wajahku sejenak, di halaman kedua dia sudah tertidur.

Menulis, dia tidak pernah bisa melakukannya. Maksudku dia tidak bisa merangkai kata-kata indah dan mempesona, bukan berarti dia tidak bisa menulis dengan arti sebenarnya. Akan menjadi aneh jika Sarjana Ekonomi dengan predikat Cumlaude tidak bisa menulis, akan jadi apa negara ini? Ya, bahkan harus ku akui, dia menyelesaikan studinya lebih cepat dariku, aku membutuhkan waktu ekstra satu tahun untuk menyelesaikan studi dan mulai menyusun skripsi, sedangkan dia tepat waktu melakukannya. Atau lebih tepatnya, ia lulus tepat waktu, berbeda denganku yang mencari kelulusan di waktu yang tepat. Sayangnya setahun kemudian aku baru mendapatkan waktu yang tepat menurutku.

Mandiri, menurutku, dari ia lebih manja daripada kedua wanita di atas. Sangat manja bahkan (menurut versiku).

Senja, dia tidak menyukainya melebihi aku dan dua wanita itu. Orion? Jangan harap dia tahu itu. Dia tidak akan pernah tahu itu. Mungkin dia akan mengira bahwa itu adalah nama makanan dari Jepang. Purnama, ya mungkin dia akan menyukainya, tapi tidak lebih dari kami bertiga.

Ku buka rahasia ini untukmu, aku meninggalkan orang pertama dan kedua demi wanita ini. Sadis memang, bahkan ku katakan kepada orang pertama jika aku tak bisa melepaskannya dan berpindah hati kepadanya, dan anehnya dia menerima itu. Dia tidak pernah mengusik hubungan kami, selesai.

Rahasia kedua, aku meninggalkan orang kedua demi wanita ini juga, aku meninggalkannya begitu saja, tanpa alasan bahkan (dan baru ku ketahui belum lama ini bahwa dia tahu alasan kenapa aku meninggalkannya).

Dua orang sebelumnya belum pernah meminta sesuatu kepadaku, tapi wanita ini. Aku sulit menolak permintaannya, secara persentase tak lebih dari 30 persen aku menolak permintaannya. Jika kau katakan dia wanita matre aku akan dengan tegas menolak pendapatmu.

Dia tidak seperti yang kau pikirkan, maksudku, dia tidak pernah meminta barang-barang mewah, pakaian, atau apapun. Yang dia minta daging dan eskrim, dan satu lagi yang paling berharga menurutku. Dua wanita tadi tidak pernah bisa mengganggu waktuku, mereka tidak pernah bisa menyita begitu banyak waktuku (waktu itu).

Ku beri tahu kau beberapa hal, waktu itu aku adalah mantan ketua Mapala di kampusku, kau tentu tahu bagimana pola anggota Mapala, jika tidak tahu maka akan sedikit ku jelaskan. Ketika kau menjadi anggota Mapala, kau akan menyampingkan urusan pribadi, kau akan bergelut dengan aktivitas yang bahkan sulit untuk kau nalar dengan akal sehat.

Di kampusku, kami bisa rapat hingga subuh menjelang, menyusun kurikulum dan silabus, menyusun strategi untuk menjalankan roda organisasi, menyusun konsep ekspedisi, menyelenggarakan event berskala nasional, internasional bahkan, belum lagi kau harus siap di mana pun berada. Militansi anggota Mapala sangat kuat, kekeluargaan, toleransi, persahabatan, itu adalah doktrin yang tidak bisa dilepaskan. Dan jika di suruh memilih, kami akan lebih banyak menghabiskan waktu di dalam organisasi ini, bukan dengan para wanita itu. Tapi dia, dia bisa menyita waktu itu, dia bisa melakukan apa yang tidak bisa dilakukan kedua wanita sebelumnya.

(Itu penjelasanku tentang anggota Mapala. Jika belum jelas, kau bisa cari referensi dari berbagai sumber. Ada banyak penjelasan tentang itu semua).

Dia tidak bisa menulis, tidak suka membaca novel, belum pernah merasakan tamparan alam, belum sempat menyaksikan eloknya negeri di atas awan dan sunrise di antara puncak-puncak yang tinggi menjulang.

Untungnya dia selalu suka jika kutuliskan puisi untuknya. Dia akan selalu meminta, merengek, memaksa, bahkan menjajahku, dia melakukan semua jurus andalan untuk memaksaku menuliskan kata-kata indah tentangnya, dan aku seperti kerbau yang dicocok hidungnya (jangan tertawakan aku tentang hal ini).

Kau bisa tebak perasaanku bukan? Ya, aku suka itu, dan karena dia tak suka tentang senja, rembulan, rintik hujan, savanna, dan orion. Ku tuliskan namanya dengan bahasa yang ku sukai, tak perduli dia suka atau tidak, aku tidak perduli sama sekali. ‘Rintik Senja’ begitulah aku menyebutnya.

Semua kisah berjalan dengan indah, tapi memang sebenarnya semuanya tidak ada yang benar-benar indah. Ada realita yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, bahkan terkadang ia akan menjadi begitu menyakitkan. Tapi itulah kenyataannya, ia mengajarkan tentang kebenaran, meski menyakitkan, kenyataan berkata dengan sangat jujur.
24-09-2013, Tepat Setahun Lalu
Periode terberat dalam fase ini muncul. Kau tahu, itu hari ulang tahunku. Dan jika kau tahu, aku mendapatkan kado spesial darinya, wanita terakhir ini. Sangat spesial, bahkan, ku beritahu kau tentang sesuatu. Dia memberikan kado yang tidak pernah terlupakan. Jika kau percaya karma, maka inilah yang terjadi padaku.

Kau tanam kebaikan sekecil biji sawi, maka kau akan menuianya seperti itu, tidak kurang tidak lebih. Ya, ketika ku-tiga-kan dia, dia pergi meninggalkanku dengan men-dua-kan aku, dengan perasaan luka, aku terima. Marah, ya tentu saja, manusiawi jika aku merasa seperti itu, tapi kemudian aku tersadar, itu adalah buah yang ku tanam, maka aku akan memakannya (dia tidak meninggalkanku, akupun sama, tidak pernah meninggalkannya, dan seperti itulah cara kita mengakhiri kisah itu, ini adalah akhir, tapi ini juga awal, dan inilah awal kisah selanjutnya, nanti akan ada bagian selanjutnya).

Setahun lalu kejadian itu, tapi kau tahu. Seperti yang ku perkirakan, dia kembali padaku. Tapi tidak lama, ia kemudian menghilang. Meninggalkanku dengan sejuta tanya tentang rasa yang tercipta. Marah? Tidak sama sekali, kali ini aku tidak bisa marah, karena jelas ku ketahui dia berikan pelajaran berharga untukku.

Dan ku putuskan bahwa aku akan menjalani fase ini sendiri, tak ada siapapun. Tak ada dia, dia, dia. Hanya  ada aku, impianku, tujuanku, ambisiku, cita-citaku, harapanku. Belum ada namanya di dalamya (saat ini).

Bagian ini juga akan ku akhiri lebih awal, karena aka nada lebih banyak lagi aku bercerita tentangnya, pada bagian selanjutnya. Atau pada kisah yang berbeda. Ini hanya kilas balik dari perjalanan rembulan yang bersinar terang, malam ini.

Rabu 10-09-2014, Pukul 11.19 Wib
Ku katakan kepadamu, bulan bersinar terang. Aduhai, elok ketika mata memandang, terbesit kerinduan tentang para wanita itu. Tentang mendiang ayahu, tentang muramnya ulang tahun adikku, tentang kerinduanku kepada barisan pegunungan dan hangatnya perapian. Kini waktuku lebih banyak habis di depan layar laptop.

Jemariku berpacu dengan waktu, menuliskan ribuan kata secepat mungkin, memperbaharui berita, waktuku benar-benar habis untuk menulis. Tapi tahukah kau, sesibuk-sibuknya aku dengan pekerjaan ini, tentu ada sedikit ruang dan waktu yang sempat teralihkan kepada ranah rasa. Tentang perasaan yang tak pernah berhenti bersenandung, ada sebersit kerinduan tentang kehadiran seseorang.

Dan kini, aku sering berbicara dengan seseorang, secara harfiah aku tidak langsung berbicara empat mata. Kami hanya terhubung oleh koneksi internet dan sinyal provider. Aku berdiskusi dengannya, lagi-lagi seorang wanita, tapi dia bukanlah seperti ketiga wanita di atas. Dia adalah penghubungku dengan seseorang, ya dia ku sebut sebagai ‘Si Pembawa Pesan’.

Dia sangat suka membaca, sedikit ku baca karakternya. Dan sedikit akan kuceritakan kepadamu tentang ‘Si Pembawa Pesan’ ini.

Dia, orang terbaik yang menjaga perasaannya, puluhan tahun ia simpan rasa kepada seseorang, dan kau tahu, hingga detik ini dia masih memiliki rasa itu, meski kemarin ku ketahui ia mulai menikam hatinya, mematahkan tangkai rasa itu satu persatu, berharap akan ada seseorang yang bisa tumbuhkan rasa yang telah kering itu.

Dan ku beritahu kepada kalian, sekarang dia mulai membuka hatinya kepada seseorang, jika tebakanmu orang itu adalah aku, kau salah besar kawan, tapi aku tak ingin membahas ‘dia’ yang diharapkannya. Biarkan itu mengalir, dan suatu saat akan ku ceritakan kepadamu, itupun jika ia  ingin berbagi tentang kisahnya.

Pendiam, tidak ingin berdebat, tipikal pendengar yang baik, pemberi solusi handal, tipikal wanita sederhana, tapi dia punya karakter kuat. Bisa ku lihat dari alis yang melengkung tajam, garis tegas, tak kenal kompromi, tapi dia tipikal seorang ibu yang (InsyaAllah) hampir mendekati sempurna, kelak. Tulus, ya dia memiliki itu, di usia yang masih begitu muda dia selalu mencoba untuk bersikap tulus terhadap semua orang di sekelilingnya, setidaknya itu bisa terlihat dari sorot matanya, teduh.

Egois, ya setiap orang pasti memiliki sikap itu. Dan dia juga seorang manusia, sama seperti kita. Yang memiliki perasaan itu, sesekali dia akan menjadi seorang yang sangat egois, keras kepala, memaksakan kehendak, ya kehendaknya begitu kuat. Tapi sayang, itu tidak diimbangi dengan keinginan kuat, terkadang dia akan mengaku kalah sebelum perang, terkadang ia hanya akan mengalah, agar tak menyakiti seseorang.

Ini bukan tentang menghakimi, tapi jika kau mengatakan bahwa aku menghakimi seseorang yang belum ku kenal, aku bisa apa? Semua orang bebas berpendapat, tapi setidaknya hal yang ku tuliskan di atas pernah ku tanyakan kepadanya, dan anehnya, hampir mendekati sempurna kebenarannya.

‘Si Pembawa Pesan’ dia menjadi penghubungku dengan ‘dia’. Semua itu mengalir begitu saja, ada banyak kesamaan antara aku dan ‘Si Pembawa Pesan’. Kami, dua orang bodoh yang mengharapkan sesuatu, tetapi sesuatu itu tidak pernah (mungkin) mengharapkan kami.
Pernah dia berkata:”Jangan terlalu berharap.”

Tegas ku katakan kepadanya, jika kita tidak punya harapan, lantas untuk apa kita hidup? Terkadang harapan adalah hal terkuat yang bisa kita miliki. Harapan akan memberikan kekuatan kepada kita untuk melakukan sesuatu, yang bahkan mendekati mustahil. Harapan, kita harus punya itu. Ku katakan kepadanya. Jangan pernah menikam harapan, terlebih membunuhnya, karena harapan adalah salah satu alasan kenapa kita masih berada di sini, berjuang mendapatkan apa yang kita inginkan.

Rabu, 10-09-204, Pukul 11.59 Wib.
Sepertinya harus ku cukupkan tulisan ini. Jariku sepertinya sudah mulai meminta untuk berhenti menari, seharian ini yang ku lakukan hanya menuliskan ribuan kata. Entah, mugkin jika semua kata yang ku tuliskan sejak siang menjelang, dan kemungkinan jika di ukur panjangnya bisa puluhan kilometer (mungkin aku juga hanya mengada-ada. Atau bisa saja jika ukuran font-nya 100pt). Mataku sudah mulai perih, dan mungkin otakku juga sudah mulai lelah (padahal sejak lama aku seperti sudah lupa meletakkan otakku di mana, dan kini bisa di sebut aku lupa membawa otak itu di dalam kepala), sepertinya semua sistem tubuhku mulai menuntut untuk menghentikan aktivitas ini.

Dan cukup sekian untuk ‘Si Pembawa Pesan’ karena ada bagian lain dan sisi lain, secara khusus akan kuceritakan kisah penantiannya.
….

Untukmu, ayah aku merindukanmu. Mungkin hanya doa yang bisa ku berikan untukmu, tapi aku selalu percaya doa anak shaleh itu akan didengarkan oleh Allah SWT, meskipun ku akui aku belum benar-benar shaleh, tapi aku akan berusaha untuk melakukan itu.

Untukmu, adikku. Usiamu semakin berkurang, gunakan sisa umurmu sebaik mungkin, belajarlah dari kami, kakak-kakakmu, jika kau bisa melangkah lebih jauh dari apa yang ku lakukan, maka lakukanlah. Ada banyak hal di luar sana, yang bisa membentukmu menjadi lebih kuat dari saat ini, persiapkan dirimu untuk menghadapi kenyataan yang tidak selalu selaras dengan inginmu.

Untukmu, ‘Si Pengagum Senja’ ada banyak kata dan cerita tentang dirimu, meski kita hanya bertatap muka beberapa kali saja, tapi kau sudah memberikan yang terbaik dari apa yang kau miliki, terima kasih telah menjadi ‘Buku Catatanku’. Semoga kau dapatkan apa yang kau inginkan, dan semoga kita bisa tertawa meski dalam langkah dan kisah yang berbeda.
Untukmu, ‘Orion’ langkahmu sudah semakin jauh, impianmu satu persatu mulai kau taklukkan. Dari ujung timur nusantara ini, mulailah kisahmu, berjalanlah sebagaimana mestinya. Peliharalah keyakinanmu. Kau adalah salah satu yang terbaik dari kisah ini. Selalu, jadilah orion itu, meski bukan untukku, ada orang lain yang bisa kau tuntun untuk kembali pulang.

Untukmu, ‘Rintik Senja’. Sisa harapanku masih ada di dalam dirimu. Terima kasih atas apa yang kau berikan kepadaku. Terima kasih untuk semua kisah indah itu, ada banyak cerita tentangmu. Semoga kau masih ingin membacanya. Fase bersamamu pernah menjadi yang terindah. Tetaplah menjadi seperti itu, aku suka rengekan manja itu menyapa di setiap pagiku. Aku merindukanmu.

Untukmu, ‘Si Pembawa Pesan’. Terima kasih atas semua yang telah kau lakukan untukku, atas semua diskusi yang kita lakukan, atas semua pelajaran yang kau berikan, terima kasih. Walaupun hanya sebatas kata-kata semu, kau bisa menjadi teman terbaik ketika hari-hariku benar-benar sepi. Percayalah, harapan itu bisa membawa kita kepada fase selanjutnya yang lebih ‘gila’. Ada impian yang tak sempat kau wujudkan, maka jangan pernah berhenti pada satu titik, kita akan mendapatkan ‘dia’ bersama-sama, tak perlu sama ceritanya, yang terpenting adalah tawa di akhir cerita.



Bandung, Kamis 11-09-2014 Pukul 12.18 Wib



Subscribe to Our Blog Updates!




Share this article!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML