Kamis, 11 September 2014

Ketika Purnama Bercerita di Awal September (Rekam Jejak, Bagian 1)




Bandung, Rabu, 10-09-2014, Pukul 09.15 Wib
Semua kenangan itu sepertinya kembali menyambangiku.

Berada di ketinggian kurang lebih 750Mdpl (meter di atas permukaan laut) cukup membuat tubuhku sedikit menggigil merasakan terpaan angin yang menjadi semakin dingin, padahal jam baru menunjukkan pukul 09.15 Wib. Terlebih ini sudah memasuki musim kemarau. Angin bertiup kencang, terlebih ketika malam. Suasananya  akan semakin dingin, menggigit.


Dari kemarin ku lihat purnama bersinar terang, teduh sekali. Ku rasa di semua tempat di nusantara ini, bisa melihat keanggunannya. Jika kau tak melihat keanggunannya tentu ku katakan, kau tak beruntung. Atau kau sudah mati rasa, tak bisa melihat keindahan goresan tangan Tuhanku, Tuhanmu juga.

Malam ini Dia menggoreskan keindahan melalui senyuman rembulan, melalui keagungan-Nya ia bercerita tentang keindahan yang disukai-Nya. Jika kau tak menyukai itu, aku tak bisa berkata. Dari makhluk golongan mana kau diciptakan.

Jika bisa ku berbicara dengan angin, tentu aku akan bercengkrama dengannya, membicarakan keindahan rembulan. Semburat warna jingga, bersemu kuning keemasan. Dari tempatku berada, tak ada awan berwarna kelabu yang menghalanginya, bulat sempurna. Indah..

Cukup lama ku nikmati pemandangan indahnya, lama ku tatap di atas sana.

Sejenak aku tak bergeming dengan keadaan sekitar, terlalu ramai memang, tapi bisa kurasakan keindahan itu mulai masuk ke dalam relung hati yang terasa semakin sepi. Namun, tak bisa dipungkiri, memang terkadang sunyi itu merdu sekali bukan? Jika kau pernah merasakan sendiri dan menikmati dalam setiap detik waktu yang bergulir, ada selaksa makna yang tak bisa kau jelaskan dengan barisan kata-kata. Ku rasa pujangga terbaik di penjuru dunia pun sulit untuk menggambarkannya, bahkan dengan kiasan kata yang begitu menggelora.

Sesekali ku perhatikan secarik kertas, yang sebagian telah terisi oleh barisan kata-kata, sebagian lagi di penuhi dengan coretan-coretan kasar.

Tiga Tahun Lalu, Tepat Tanggal 09-09-2012.
Kabar yang datang di waktu sepertiga malam itu seperti membekukan waktu, semuanya seperti berhenti, angin seperti berhenti berhembus, dedauan enggan bergoyang, dan gemercik suara sungai itu seperti membeku, jantungku pun sama, seperti berhenti berdetak. Kau tahu, seharusnya itu menjadi perayaan usia ke-12 adikku. Tak ada nyanyian selamat ulang tahun, tak ada ucapan selamat. Yang ada lagu sendu, ucapan belasungkawa, ratapan tangis para wanita, merintih pelan, terdengar menyayat hati. Dan itu akan selalu menjadi lagu sendu untuknya, karena ia akan selalu teringat, tanggal lahirnya adalah tanggal di mana ia ditinggalkan oleh orang yang dipanggil Ayah olehnya, olehku, oleh kami.

Waktu itu, aku berada jauh dari sana. Suatu tempat yang kusebut rumah. Waktu itu, aku begitu egois. Membiarkan dia terbaring lemah karena sakit yang menggerogoti tubuhnya, tumor itu tumbuh di jalur pernafasannya, menyebar dan kemudian mengakar di dalam otak, menggerogoti sisa usia yang tak lagi muda. Perlahan tubuh itu hanya berbalut kulit dan tulang, tak ada daging diantara tubuh yang mulai mengering itu. Hingga akhirnya dia harus meninggalkan kita semua. Aku hanya bisa mengutuki diriku sendiri, hingga saat ini. Bagaimana mungkin aku tega meninggalkan seseorang yang selalu menjagaku, terlebih ketika dia hendak berdiri pun tak mampu.

Jika kau tahu alasanku waktu itu tentu tak akan bisa di terima oleh siapapun. Bahkan diriku sendiri.

Ada ambisi di dalam diriku waktu itu, menaklukkan satu persatu impian yang ku pendam begitu lama. aku bermimpi untuk menaklukkan mimpi-mimpi itu, hingga aku benar-benar lupa, jika ada seseorang yang benar-benar membutuhkanku. Seharusnya ku jaga ia waktu itu, seharusnya aku selalu berada di dekatnya, mendampingi sisa-sisa usia yang seharusnya bisa ku pahami, tubuhnya tak akan mampu menahan terlalu lama rasa sakit itu, meski ku tahu kemauannya untuk hidup begitu besar.

Ya, kemauan untuknya  hidup begitu luar biasa. Bagaimana tidak, sebentar lagi anak perempuan kesayangannya akan melangsungkan pernikahan, seorang anak perempuan yang begitu di sayanginya, aku pun merasakan kebahagiaan itu, perempuan itu adalah kakakku. Ya, dia saudara tertua kami. Aku anak ketiga, ada satu lagi kakakku, laki-laki usianya hanya terpaut setahun denganku dan aku masih memiliki seorang adik lelaki, usianya terpaut Sembilan tahun. Dan ini adalah hari di mana ia di lahirkan, sekaligus hari di mana semuanya tampak suram, bagiku, baginya, bagi kami semua.

Dan lihatlah, kemarin adalah tepat perayaan ulang tahun ke-15 adikku, sekaligus tepat tiga tahun meninggalnya ayah kami.

Seperti yang ku katakan di awal, bahwa malam ini benar-benar indah. Jika itu adalah senyumannya, aku tidak akan pernah berhenti menatapnya, karena untuk yang terakhir kalinya aku tak bisa menatap wajahnya, aku hanya bisa tertunduk di gundukan tanah berwarna merah, basah.

Angin masih berdesau pelan, gemercik suara sungai itu (bukan, bukan sungai, kuralat perkataanku, itu adalah selokan yang beraroma tak tentu, berbagai macam bau ada di sana, kau bahkan bisa mencium aromanya dari jarak belasan meter) menjadi melodi tersendiri, dingin itu semakin menggigit, sunyi itu, semakin merdu terdengar.

Aku merindukanmu ayah, tapi bukan berarti ku tak rela dengan kepergianmu. Aku hanya ingin kau melihat, aku berbeda dari yang dulu. Tapi ku yakin kau bisa melihat dari tempatmu yang indah di sana. Salamku untukmu, ayah..



Subscribe to Our Blog Updates!




Share this article!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML