Waktu
tanpa terasa berjalan begitu cepat, meniti langkah dalam setiap alur tangga
yang tersusun turun. Menuju kedalam relung terdalam dari hati yang sepi,
menyusuri setiap kelokan dan persimpangan yang terus selalu ada di depan. Aku
hanya akan selalu menatap ke depan, bukan menatapmu. Begitu kau katakana
kepadaku, seperti yang kau katakana, kepekaanku mulai hilang seiring mentari
yang tenggelam.
Aku
perlahan kembali menjauh, meninggalkan sejuta kesan tentang semburat jingga
yang merona. Aku kembali di tikam oleh sebuah tindakan konyol yang selalu
menuntunku kedalam sebuah prahara yang entah sepertinya tercipta tanpa sengaja,
atau mungkin sengaja tidak kusadari keberadaannya, mengindahkan setiap isyarat
yang jelas kau tuliskan kedalam kertas. Isyarat yang jelas kau tunjukkan
kepadaku, kepada kita.
Sesekali
ku usap peluh yang menetes dari tubuh, kembali terpaku menatap jalan yang
berliku. Sesekali ku lihat ke arahmu, sesekali ku lihat ke arahnya. Ada banyak
cabang cerita yang ku tuliskan, ada berjuta kisah tentang pesona yang berbeda.
Sesekali ku tebar benih, dan tidak kusadari bahwa benih itu tumbuh dengan
harapan-harapan kosong tentang janji yang tidak pernah ku tepati. Aku semakin
jauh melangkah meninggalkan harapan yang pernah kutanam. Meninggalkannya dengan
luka yang menganga.
Dalam
kisah masa silam, kita pernah melewatkan malam. Mengisi setiap kekosongan hati,
bercanda diantara mega-mega yang menggulung seperti samudera di angkasa. Kerap
kali ku berimajinasi dengan dirimu, berenang dan berdansa di dalam sebuah
khayalan, kembali merasakan romansa tentang harapan di masa depan, lalu
perlahan kau masuk begitu dalam tanpa bisa ku tahan, kau kembali terjebak
diantara lubang yang kutinggalkan. Kosong.
Sering kali ku tuliskan kisah tentangmu, memberikan sejuta kata-kata penuh makna, meracuni pikiranmu dengan kata-kata kosong yang kurangkai, sesaat kau seperti ikan-ikan yang terjerat perangkap nelayan. Menggelepar tak berdaya, pasrah dengan nasib yang belum tentu baik pada akhirnya. Namun, disaat kau terjerat dalam sebuah perangkap, kuberikan air yang menghilangkan dahagamu tentang sebuah rasa, ku belai kau dengan pesona yang membuatmu terpana, lalu sekali lagi kau terperdaya oleh pesona semburat jingga yang merona.
Sering kali ku tuliskan kisah tentangmu, memberikan sejuta kata-kata penuh makna, meracuni pikiranmu dengan kata-kata kosong yang kurangkai, sesaat kau seperti ikan-ikan yang terjerat perangkap nelayan. Menggelepar tak berdaya, pasrah dengan nasib yang belum tentu baik pada akhirnya. Namun, disaat kau terjerat dalam sebuah perangkap, kuberikan air yang menghilangkan dahagamu tentang sebuah rasa, ku belai kau dengan pesona yang membuatmu terpana, lalu sekali lagi kau terperdaya oleh pesona semburat jingga yang merona.
Terik
matahari membasahi bumi, hujan kembali membakar hati, angin yang pelan
berhembus bercabang memporak-porandakan kepingan harapan, sementara ketika ku
bercerita tentang rembulan kepada pesona yang berbeda. Sementara aku kembali
meratapi kebodohanku, menyalahkan diri sendiri kau justru berkata sebaliknya,
kau kembali mengingatkan tentang harapan-harapanku, impian-impianku, kau
kembali mengatakan dengan sangat lugas, tanpa ada penekanan tentang sebuah
kebencian yang seharusnya kau tanamkan pada pesona matahari yang akan menepi.
Bersahabatlah dengan senja, dia yang akan menuntun langkahmu pada seseorang yang akan menerimamu tanpa syarat, maafkan aku. Aku hanyalah mentari yang akan menghilang seiring gelap yang datang, lalu keindahanku sesasat akan digantikan dengan pesona rembulan yang bersinar terang, jika saja kau peka, tidak akan ada kata bermakna selamat tinggal pada semburat jingga senja yang mempesona. Seperti itu ujarmu dalam rasa sakit yang ku berikan.
Bersahabatlah dengan senja, dia yang akan menuntun langkahmu pada seseorang yang akan menerimamu tanpa syarat, maafkan aku. Aku hanyalah mentari yang akan menghilang seiring gelap yang datang, lalu keindahanku sesasat akan digantikan dengan pesona rembulan yang bersinar terang, jika saja kau peka, tidak akan ada kata bermakna selamat tinggal pada semburat jingga senja yang mempesona. Seperti itu ujarmu dalam rasa sakit yang ku berikan.
Sering ku katakan, aku hanya pengagum senja, aku hanya mengagumi tanpa bisa memiliki, aku hanya bisa menikmati dari ratusan juta kilometer rentang jarak Antara matahari dan bumi, aku hanyalah seorang penghkhayal yang sedikitpun tak pantas untuk menyentuh keagungan sang rasa, pergilah sayangku, pergilah bersama mentari yang akan menepi, bergilah bersama malam yang kelam, disana akan kau temukan keindahan rembulan yang bersinar terang, rembulan yang bisa menenangkan, rembulan yang akan menjaga rahasia malam.
Usah kau hiraukan senja itu, karena ia hanya pesona tanpa makna, pergilah. Tentu tidak ada yang bisa diharapkan dari sepotong kenangan yang akan segera membusuk, yang akan meracuni setiap detak dalam degup jantungmu.
Lalu sesaat kemudian kau menuliskan cerita tanpa sepatah kata, hanya sedikit kata yang tertulis diantara kenangan yang kemudian menghilang bersama pekatnya malam. Begitu tegas kau mengatakan, begitu jelas kau gambarkan, dan aku kembali hanya terdiam tanpa kata. Menatapmu dari kejauhan, menyaksikan kenangan yang akan segera menghilang. Lalu tanpa bisa ku tahan, perlahan kau katakan “Aku membencimu, senja”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar