Burung gereja itu,
melayang-layang rendah, berpasangan. Berdansa dihari yang begitu terik, bersama
dengan kicauan yang selalu keluar dari paruh mungilnya. Berdendang tanpa
memperdulikan sekitar, diantara rerumputan yang mulai mengering, diantara
pepohonan tanpa buah, diantara jajaran pegunungan yang menghadap ke
lautan.
Aku hanya bisa menyaksikan
dengan iri, betapa damai hidupnya, betapa serasi terlihat, hidup bersahaja,
sederhana di tengah hukum rimba yang menakutkan, hukum yang akan mengatakan,
yang kuat akan kembali berjaya, yang lemah akan semakin terpuruk tak berdaya.
Sementara
itu pandanganku beralih pada lantai pendopo di depanku, kulihat koloni semut
yang sedang mengerubungi sisa-sisa air kelapa yang sesaat sebelumnya
menghilangkan dahaga, mencoba mengais rezeki dari sisa-sisa kecerobohan
manusia. Sesuatu yang terbuang itu bisa dimanfaatkan oleh sekelompok binatang.
Semuanya sudah di golongkan dengan semestinya, sesuai dengan porsinya.
Bahkan
binatangpun akan senantiasa bersyukur kepada sang pencipta, lalu apa gunanya
aku sebagai makhluk yang di sempurnakan jika selalu mengeluh tanpa bersyukur
sedikitpun? Dengan segala kemampuan dan anugerah yang diberikan sang penguasa
jagat raya ini, aku bisa melakukan apa saja, mampu berjalan jutaaan kilometer
dalam satu rangkaian perjalanan, mampu melayang di angkasa tanpa sayap, mampu
mengarungi lautan tanpa harus mempunyai sirip, mampu merangkak diantara tebing
vertical yang menjulang ratusan meter, dan aku bisa melakukan semua itu, dan
jika saja sang pencipta tidak menganugerahkan akal dan fikiran tentu semua itu
tidak akan pernah bisa dilakukan.
Kemudian,
lihatlah, bagaimana seorang manusia bisa menghancurkan dunia, dengan sekali
hentakan menimbulkan huru-hara berkepanjangan, menciptakan perang dan merenggut
banyak korban. Lalu seseorang juga bisa membawa kedamaian yang selalu di
idamkan, tidak melulu dengan hunusan pedang. Dan semua itu bisa terjadi karena
keinginan sang pencipta. agar kita, manusia belajar. Apakah kehancuran bisa
membawa ketentraman, atau justru sebaliknya.
Kita
akan selalu diberikan pilihan sebelum melangkah. Kita akan selalu di benturkan
dengan keiginan yang siap mencengkram. Dan kita akan selalu diberikan rasa yang
saling berlawanan, agar seimbang. Apa lagi yang harus kita ingkari? Seseorang
yang begitu bodoh mungkin akan segera menyalahkan Tuhannya ketika ia
mendapatkan kenyataan, bahwa apa yang di
inginkan tidak selaras dengan yang di dapatkan. Lalu akan berkeluh kesah,
meratap dalam tangis pilu, berteriak lantang dengan nada menantang.
Lalu
akan segara lupa jika pencapaian itu terlaksana dalam separuh lingaran
bentangan waktu, mngatakan bahwa apa yang di dapatkan merupakan hasil jerih
payah sendiri, tanpa campur tangan sang maha kuasa, lalu akan tertawa jumawa.
Fikirku
terusik akan seseuatu yang belum terjadi, mengkhawatirkan segala sesuatu yang
telah diatur sedemikian rupa, berandai-andai dengan tatapan kosong,
membayangkan bahwa di depan akan ada nada yang menyambut dengan lengkingan
nada-nada bahagia. Atau mengkhawatirkan bahwa esok dan seterusnya hanya akan
ada tangis pilu yang tidak pernah berakhir indah.
Jika
melihat, jangan pernah lupa untuk membaca, jika mendengar jangan pernah lupa
untuk bisa merasa, jika bisa meraba jangan pernah lupa untuk selalu
menggenggamnya. Menyaksikan fenomena alam, menikmati pertunjukan indah dari
para pengisi bumi, merekam setiap kejadian, menajadikannya sebagai
pembelajaran, kemudian mencoba untuk tetap konsisten dengan tujuan yang telah
di rencanakan.
Akan
selalu ada waktu untuk mengucap syukur, tidak perlu iri dengan burung gereja
yang terlihat serasi itu, karena pada suatu waktu mereka juga akan saling
berkelahi demi sesuap makanan. Jangan pula merasa rendah diri ketika
menyaksikan koloni semut yang bisa mengucap syukur meski yang di dapatkan hanya
sisa-sisa dari kecerobohan kita.
Tuhan
memberikan kita akal dan pikiran, tentu kita harus bisa menilai dari setiap
fenomena yang ditangkap mata, menggali setiap esensi dari kejadian yang di
lalui, saling mengingatkan jika salah satu dari kita lupa, saling memikul
ketika berat beban kehidupan terasa berat di pundak.
Dan
kita akan bersama-sama berdiri diantara anggunnya puncak-puncak pencapaian yang
tetlah diraih, tertawa ketika berhasil mengarungi samudera, menangis haru
ketika melalui masa-masa sulit dengan akhir yang membahagiakan. Dengan mengucap
syukur bahwa semua itu terjadi karena kehendak-Nya. Bukankah semuanya menjadi
sederhana jika kita bisa melaluinya.
Tuhan
tidak akan pernah tidur, Ia akan senantiasa melihat dan memberikan pelukan
terhangat ketika kita mengingat-Nya. Ia akan selalu menjadi pelindung terhebat
ketika kita menyadari keberadaan-Nya, dan kita akan selalu merasa bahagia jika
selalu bisa mensyukuri apa yang didapatkan, anugerah seperti ini tidak akan
bisa di beli, dengan harga berapapun.
Sesederhana
itulah kita akan bahagia, maka sesederhana itu pula kita akan merelakan setiap
kehilangan, kembali merajut asa, kembali merangkai kata, kembali mencari dan
tidak akan pernah berhenti, akan selalu menjadi makna terindah meski hanya
lelah yang bisa dirasa saat itu, namun semuanya akan menjadi fase paling indah
ketika kita menceritakannya di akhir kisah.
…………
Duhai
pemilik hati, adakah gerangan kini Kau menyiapkan secarik kertas yang di
genggam seseorang untuk kembali ku tuliskan cerita indah dengannya, duhai sang
pemilik jiwa, adakah Kau berikan kesempatan untukku bisa merasakan hangatnya
pelukan sang pujaan yang kini menantiku di persimpangan.
Duhai
penggenggam hujan, berikanlah setetes kesegaran untukku agar bisa menyirami
rasa yang akan tumbuh, dan jika sudah berbunga akan ku petik untuknya disana,
akan ku berikan dengan segala rasa yang ku pelihara. Selaksa raja yang
menghiasi istananya, akan ku bangun singgahsana untukku dan dirinya.
Duhai
pemilik mentari, berikanlah kehangatan ketika pagi dan pesona ketika malam
menjelang, agar bisa ku berikan sedikit kehangatan rasa ini untuk menjaganya
dari dinginnya malam yang mencengkram. Agar bisa ku peluk ia dengan rasa yang
ku pelihara sejak hujan pertama membasahi bumi.
Duhai
rasa, sudikah kau menyambangi hati yang belum ku ketahui pemiliknya. Agar dia
senantiasa menjaganya, untukku bisa memiliki rasa yang juga di jaganya. Aku
akan senantiasa menanti waktu itu tiba, akan segera ku berikan jika sudah tiba waktunya.
Jika Kau berkenan, maka jangan biarkan hati ini kembali mengeras, membatu, agar
tak lelah dia menghaluskannya di kemudian.
Duhai
pesona, jangan kau biarkan aku dan dia terperdaya oleh keindahan semu yang kau
tampakkan dihadapanku, jangan kau biarkan aku terlena oleh alunan melodi
sementara yang terdengar merdu, padahal ku tahu bahwa itu hanya semu. Jangan
kau biarkan aku kembali terjatuh kedalam lubang penuh dengan penyesalan.
Duhai
belahan jiwa yang kini entah dimana kau berada, percayalah. Suatu saat nanti
kita akan berkata-kata dengan sangat mesra. Penuh dengan harmonisasi yang di
selingi nada-nada asmara, aku akan bercerita tentang perjalananku, dan kaupun
akan melakukan hal yang sama, dan diantara gelapnya malam yang dingin, kita
akan saling berpelukan, mengcoba mengurai letih bersama, dalam balutan nada
rasa yang akan selalu terdengar merdu, hingga kita terlelap, hingga kembali
mentari kan menyapa melalui kehangatannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar