Selasa, 24 Juni 2014

Prolog (Nada asmara)


Burung gereja itu, melayang-layang rendah, berpasangan. Berdansa dihari yang begitu terik, bersama dengan kicauan yang selalu keluar dari paruh mungilnya. Berdendang tanpa memperdulikan sekitar, diantara rerumputan yang mulai mengering, diantara pepohonan tanpa buah, diantara jajaran pegunungan yang menghadap ke lautan. 
Aku hanya bisa menyaksikan dengan iri, betapa damai hidupnya, betapa serasi terlihat, hidup bersahaja, sederhana di tengah hukum rimba yang menakutkan, hukum yang akan mengatakan, yang kuat akan kembali berjaya, yang lemah akan semakin terpuruk tak berdaya.
            Sementara itu pandanganku beralih pada lantai pendopo di depanku, kulihat koloni semut yang sedang mengerubungi sisa-sisa air kelapa yang sesaat sebelumnya menghilangkan dahaga, mencoba mengais rezeki dari sisa-sisa kecerobohan manusia. Sesuatu yang terbuang itu bisa dimanfaatkan oleh sekelompok binatang. Semuanya sudah di golongkan dengan semestinya, sesuai dengan porsinya.
            Bahkan binatangpun akan senantiasa bersyukur kepada sang pencipta, lalu apa gunanya aku sebagai makhluk yang di sempurnakan jika selalu mengeluh tanpa bersyukur sedikitpun? Dengan segala kemampuan dan anugerah yang diberikan sang penguasa jagat raya ini, aku bisa melakukan apa saja, mampu berjalan jutaaan kilometer dalam satu rangkaian perjalanan, mampu melayang di angkasa tanpa sayap, mampu mengarungi lautan tanpa harus mempunyai sirip, mampu merangkak diantara tebing vertical yang menjulang ratusan meter, dan aku bisa melakukan semua itu, dan jika saja sang pencipta tidak menganugerahkan akal dan fikiran tentu semua itu tidak akan pernah bisa dilakukan.
            Kemudian, lihatlah, bagaimana seorang manusia bisa menghancurkan dunia, dengan sekali hentakan menimbulkan huru-hara berkepanjangan, menciptakan perang dan merenggut banyak korban. Lalu seseorang juga bisa membawa kedamaian yang selalu di idamkan, tidak melulu dengan hunusan pedang. Dan semua itu bisa terjadi karena keinginan sang pencipta. agar kita, manusia belajar. Apakah kehancuran bisa membawa ketentraman, atau justru sebaliknya.
            Kita akan selalu diberikan pilihan sebelum melangkah. Kita akan selalu di benturkan dengan keiginan yang siap mencengkram. Dan kita akan selalu diberikan rasa yang saling berlawanan, agar seimbang. Apa lagi yang harus kita ingkari? Seseorang yang begitu bodoh mungkin akan segera menyalahkan Tuhannya ketika ia mendapatkan kenyataan, bahwa apa yang  di inginkan tidak selaras dengan yang di dapatkan. Lalu akan berkeluh kesah, meratap dalam tangis pilu, berteriak lantang dengan nada menantang.
            Lalu akan segara lupa jika pencapaian itu terlaksana dalam separuh lingaran bentangan waktu, mngatakan bahwa apa yang di dapatkan merupakan hasil jerih payah sendiri, tanpa campur tangan sang maha kuasa, lalu akan tertawa jumawa.
            Fikirku terusik akan seseuatu yang belum terjadi, mengkhawatirkan segala sesuatu yang telah diatur sedemikian rupa, berandai-andai dengan tatapan kosong, membayangkan bahwa di depan akan ada nada yang menyambut dengan lengkingan nada-nada bahagia. Atau mengkhawatirkan bahwa esok dan seterusnya hanya akan ada tangis pilu yang tidak pernah berakhir indah.
            Jika melihat, jangan pernah lupa untuk membaca, jika mendengar jangan pernah lupa untuk bisa merasa, jika bisa meraba jangan pernah lupa untuk selalu menggenggamnya. Menyaksikan fenomena alam, menikmati pertunjukan indah dari para pengisi bumi, merekam setiap kejadian, menajadikannya sebagai pembelajaran, kemudian mencoba untuk tetap konsisten dengan tujuan yang telah di rencanakan.
            Akan selalu ada waktu untuk mengucap syukur, tidak perlu iri dengan burung gereja yang terlihat serasi itu, karena pada suatu waktu mereka juga akan saling berkelahi demi sesuap makanan. Jangan pula merasa rendah diri ketika menyaksikan koloni semut yang bisa mengucap syukur meski yang di dapatkan hanya sisa-sisa dari kecerobohan kita.
            Tuhan memberikan kita akal dan pikiran, tentu kita harus bisa menilai dari setiap fenomena yang ditangkap mata, menggali setiap esensi dari kejadian yang di lalui, saling mengingatkan jika salah satu dari kita lupa, saling memikul ketika berat beban kehidupan terasa berat di pundak.
            Dan kita akan bersama-sama berdiri diantara anggunnya puncak-puncak pencapaian yang tetlah diraih, tertawa ketika berhasil mengarungi samudera, menangis haru ketika melalui masa-masa sulit dengan akhir yang membahagiakan. Dengan mengucap syukur bahwa semua itu terjadi karena kehendak-Nya. Bukankah semuanya menjadi sederhana jika kita bisa melaluinya.
            Tuhan tidak akan pernah tidur, Ia akan senantiasa melihat dan memberikan pelukan terhangat ketika kita mengingat-Nya. Ia akan selalu menjadi pelindung terhebat ketika kita menyadari keberadaan-Nya, dan kita akan selalu merasa bahagia jika selalu bisa mensyukuri apa yang didapatkan, anugerah seperti ini tidak akan bisa di beli, dengan harga berapapun.
            Sesederhana itulah kita akan bahagia, maka sesederhana itu pula kita akan merelakan setiap kehilangan, kembali merajut asa, kembali merangkai kata, kembali mencari dan tidak akan pernah berhenti, akan selalu menjadi makna terindah meski hanya lelah yang bisa dirasa saat itu, namun semuanya akan menjadi fase paling indah ketika kita menceritakannya di akhir kisah.
…………

            Duhai pemilik hati, adakah gerangan kini Kau menyiapkan secarik kertas yang di genggam seseorang untuk kembali ku tuliskan cerita indah dengannya, duhai sang pemilik jiwa, adakah Kau berikan kesempatan untukku bisa merasakan hangatnya pelukan sang pujaan yang kini menantiku di persimpangan.
            Duhai penggenggam hujan, berikanlah setetes kesegaran untukku agar bisa menyirami rasa yang akan tumbuh, dan jika sudah berbunga akan ku petik untuknya disana, akan ku berikan dengan segala rasa yang ku pelihara. Selaksa raja yang menghiasi istananya, akan ku bangun singgahsana untukku dan dirinya.
            Duhai pemilik mentari, berikanlah kehangatan ketika pagi dan pesona ketika malam menjelang, agar bisa ku berikan sedikit kehangatan rasa ini untuk menjaganya dari dinginnya malam yang mencengkram. Agar bisa ku peluk ia dengan rasa yang ku pelihara sejak hujan pertama membasahi bumi.
            Duhai rasa, sudikah kau menyambangi hati yang belum ku ketahui pemiliknya. Agar dia senantiasa menjaganya, untukku bisa memiliki rasa yang juga di jaganya. Aku akan senantiasa menanti waktu itu tiba, akan segera ku berikan jika sudah tiba waktunya. Jika Kau berkenan, maka jangan biarkan hati ini kembali mengeras, membatu, agar tak lelah dia menghaluskannya di kemudian.
            Duhai pesona, jangan kau biarkan aku dan dia terperdaya oleh keindahan semu yang kau tampakkan dihadapanku, jangan kau biarkan aku terlena oleh alunan melodi sementara yang terdengar merdu, padahal ku tahu bahwa itu hanya semu. Jangan kau biarkan aku kembali terjatuh kedalam lubang penuh dengan penyesalan.
            Duhai belahan jiwa yang kini entah dimana kau berada, percayalah. Suatu saat nanti kita akan berkata-kata dengan sangat mesra. Penuh dengan harmonisasi yang di selingi nada-nada asmara, aku akan bercerita tentang perjalananku, dan kaupun akan melakukan hal yang sama, dan diantara gelapnya malam yang dingin, kita akan saling berpelukan, mengcoba mengurai letih bersama, dalam balutan nada rasa yang akan selalu terdengar merdu, hingga kita terlelap, hingga kembali mentari kan menyapa melalui kehangatannya.

            



Subscribe to Our Blog Updates!




Share this article!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML