Kamis, 23 Oktober 2014

Ini Bagian yang Terlupakan, Tentang Senja

#Rekonstruksi



Ini akan berbeda dari sebelumnya. Kembali, aku harus memutar otak. Merekonstruksi bagian-bagian yang tak lagi kokoh, seperti mendayung perahu di arus yang tenang, tanpa angin. Benar-benar tenang, tak beriak.

Beberapa catatan usang kembali terbuka, jurnal itu kembali terbuka dengan sendirinya. Dan entah kenapa, ketika corong-corong surau itu mengumandangkan adzan maghrib – Tepat setelah matahari menghujam ke bagian barat – aku mulai menuliskan tentang ini.

Lampu-lampu mulai menyala, menghiasi pekat yang semakin tak terlihat. Namun, selarik cahaya itu semakin banyak, bertebaran. Seperti jutaan kunang-kunang yang membelah malam. Sejenak mataku terkoneksi dengan otak, lalu masuk ke dalam hati, kembali memutar memori. Tentangnya.

Angin berdesau kencang, fisikku mulai ambruk. Sepertinya berhari-hari tak tidur dan cuaca mempengaruhi semuanya. Kepala mulai sedikit pusing, bersin-bersin dan seperti biasa, lambungku berontak. Masalah klasik.

Aku ingin kembali bercerita tentang senja yang merona, ingin kembali sejenak mengenangnya. Di antara hawa dingin malam, tanpa rembulan. Hanya ada awan kelabu, berserabut warna yang akan bertambah pekat. Hitam.

Pikirku kembali beranjak, dari satu putaran waktu, ke putaran waktu berikutnya. Berunut, beralur mundur. Beberapa waktu lalu, entah kapan tepatnya, aku tak begitu mengingatnya. Ada percakapan yang – bisa jadi – hanya menjadi sebuah permulaan, basa-basi. Namun, di sepertiga malam, aku begitu menginginkan dia menemaniku, dalam dekapan untaian kata dan sedikit tutur sapa.

Ada bentangan warna yang ku tawarkan kepadanya, aku pernah berujar: "Kau tahu? Ketika halilintar menggurat malam yang pekat dengan cahaya putih menyilaukan itu, di sanalah terlihat keindahannya (meskipun kau bilang itu menyeramkan), bukankah keindahan itu bisa berwarna apa saja? Merah, hijau, biru, oranye, terang, menyala, redup, gelap. Pekat.

Bahkan dengan dentingan suara jutaan air yang tumpah dari cakrawala itu, bisa tenangkan kita, dalam dingin dan pekatnya malam yang hening. Kita akan terlelap. Tidur..

"Selamat malam, kita tahu, indah tak melulu bercerita tentang warna cerah, kita akan segera sepakat, bahwa di antara warna kelabu akan ada keindahan yang tertera di dalamnya. Percayalah, Tuhan selalu A-D-I-L!"

Ini tetang senja, bisa saja tentang pekatnya malam, dan berharap ada purnama menghiasi angkasa. Atau aku juga berharap tentang hujan, bisa saja. Ada dalam setiap kenangan yang kemudia tertera di dalam secarik kertas usang. Tapi itu tidak benar-benar usang. Aku masih belum tahu arah tulisan ini. Ini hanya ada di dalam benakku saja, tentang kenangan senja yang terluka. Tentang hujan yang tak kunjung menyapa, tentang semuanya.

Waktu itu, pernah ku katakan kepadanya. Bahwa dalam satu kisah akan ada banyak lakon di dalamnya, akan ada banyak nada dalam satu simphoni. Tentang dia yang memelukmu ketika malam menjelang, sehabis acara makan malam. Atau lebih tepatnya, kencan. Kau berujar itu hanya sebatas teman, itu hanya sekilas tentang cerita yang tak pernah kau ucapkan, tapi aku sungguh tahu alurnya. Meski tak benar-benar akurat, setidaknya tebakanku masih benar adanya. Meski kau sedikit mengelak, masa bodoh. Aku tak perduli.

Mungkin aku akan kembali bercerita, ada banyak kisah yang akan ku tuliskan tentang senja. Tapi sepertinya aku harus menunda, ada urusan yang lebih penting, dari apapun di dunia ini. Tak bisa di tunda lagi. Dan ku putuskan, akan ku sudahi sampai di sini, tentang ini. Entah kapan akan ku tuliskan lagi tentang cerita yang sama, karena ada bagian dari cerita lain yang belum ku selesaikan, hanya untuk mengingatkan, aku masih bisa merasakan hangatnya semburat warna jingga yang perlahan menghujam ke jantung bumi, tenggelam di arah barat. Dan pekat, pekat menghiasi sisa cerita selanjutnya. Tanpa cahaya, hanya ada gelap. Tanpa warna.

Hanya beberapa menit sejak ku putuskan untuk mengakhiri kisah ini, tapi sejenak kemudian jemari dan hati enggann berhenti. Dan aku masih belum tahu, apa yang akan dituliskan. Setidaknya, ada bagian percakapan yang masih bisa ku rekam, beberapa malam lalu.

Ini semua tentang semburat jingga yang tak ku jumpai beberapa waktu, karena aku lebih memilih bercengkrama dengan pekatnya malam tanpa warna, hanya ada dingin dan sepi. Sendiri. Beberapa kali hujan turun, namun secepat itu pula mentari menghilangkan bekas-bekasnya, secepat angin berhembus, tak terlihat.

Di penghujung hari, ketika malam merangkak pelan. Menelan cahaya menyala sore tadi. Tak ada gemintang, terlebih cahaya bulan. Kosong. Tapi, setidaknya aku bisa bercerita meski tanpa warna. Bukankah beberapa waktu lalu aku mengajakmu untuk menyepakati satu warna yang akan berujung indah, dengan makna melebihi warna-warna terang benderang? Kita akan segera mengerti bahwa semuanya akan berakhir indah, ini berbicara tentang kuasa-Nya, tentang kehendak-Nya, bukan tentang keinginan kita. Apa yang akan kita ingkari tentang kuasa dan kehendak-Nya? Bukakah terlalu lancang jika kita terus bertanya, tentang sesuatu yang pasti terbaik menurut-Nya untuk kita? Terlalu bodohkah kita? Terlalu bebalkah kita? Bodoh, jika kita terus merutuki keadaan yang ada. Tolol jika kita terus menginginkan semuanya, sesuai dengan kehendak kita.

Tentang senja, tentang hujan, tentang rembulan, tentang si pembawa pesan, tentang bintang bernama orion atau tentang sang pujaan yang tak juga datang beranama rintik senja, dan itu semua ada di dalam satu rangkaian cerita dari sang pencipta, akulah si pembuat cerita, dan aku akan membubuhkan semua cerita itu dengan apa yang ku inginkan. Tidak ada satupun yang bisa melawan, karena semua itu hanya fiksi. Sebatas cerita tanpa makna, tapi setidaknya akan ada satu paragraf pesan tentang semua tulisan ini. Dan aku akan kembali membawa cerita tentang senja yang merona, senja yang memeluk mesra, tentang semburat warna jingga yang menikam malam.



Subscribe to Our Blog Updates!




Share this article!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML