Senin, 23 Maret 2015

Melepas Pelukan Hujan (Fiksi)

#Bagian 2

Ilustrasi: giewahyudi.files.wordpress.com


Kau tau, bahkan dalam diam, dia selalu berujar lirih, tentang pertanyaan yang tak akan pernah terjawab, tentang hujan dan pengagumnya, tentang sebaris belaian mentari pagi yang menyapa di batas langit itu, semua pertanyaan akan tetap berujar. Tapi, tentu kau bahkan tak perlu mendengar, tak perlu menjawab, kenapa? Kau akan tahu jawabannya, nanti, tidak saat ini. Karena dia, yang akan menjawab semuanya. Sendiri.

Di surau itu, aku hanya diam menatap kelopak mata yang terlihat lelah, merah. Tapi jelas bisa kutangkap raut kecewa yang tergurat di wajah itu, beberapa saat kemudian, ketika berbicara dengan bahasa yang sangat sederhana, ungkapan rasa itu terurai dari tatapan mata. Menerjemahkan sisa-sisa tanya yang terangkat ke permukaan, mengambang dibawa hembusan angin, terbawa oleh lantunan nada yang terkadang hanya terdengar desis lembut, nyaris tak terdengar.

“Maaf.” sepotong nada yang kemudian terucap lirih dariku.

Aku tertunduk, menatap potongan ubin yang tersusun rapih, sementara itu aktivitas di dalam surau masih begitu hidup dengan rutinitas kerohanian. Sementara itu, dia melirik ke arahku. Mencoba menyibak pertanyaan yang enggan diberikan.

“Untuk apa? Bukankah tidak ada yang perlu dimaafkan, aku tahu akan seperti ini kisahnya. Kau tahu, ketakutanku beberapa hari lalu terjawab kemarin, kau tahu, ketakutan itu kemudian benar-benar diterjamahkan oleh sesuatu yang bisa jadi sangat mengecewakan.” bergetar suaranya, parau. Suara yang terdengar dipaksakan. Menyayat sore yang mulai terlelap.

Ku perhatikan lamat-lamat suara itu. Aku tidak bisa menjawabnya, masih berusaha bernegosiasi dengan hati, menyelaraskan dengan suasana yang sebenarnya indah.

“Dia masih mencarimu, hingga sekarang. Kembalilah, biarkan aku sendiri di sini, kembali seperti dulu.”

“Tidak.” jawabku lirih.

“Aku sudah selesai dengan semua itu, aku sudah selesai. Kau tahu itu dari awal, aku hanya ingin memulai sesuatu yang ku yakini. Tapi, sekarang aku tak bisa berbuat banyak lagi. Tak bisa, aku kembali berjalan di lorong gelap, jalan yang sama, dan untuk kesekian kalinya, aku kembali harus menikam semuanya, mengucurkan racun kepada benih yang baru saja ku tuai. Inikah balasan yang pantas ku dapatkan, inikah jawaban dari setiap bait doa yang ku lantunkan? Jika iya, maka aku akan menerimanya, tak peduli apa rasanya, toh aku sudah berulangkali merasakan hal yang seperti ini,” jelasku.

Ia menatapku, dalam. Aku, hanya diam, menatap matanya hanya akan membuat hatiku semakin perih, aku tak sanggup menatap wajah itu. Aku, baru saja menikam dua hati yang baru saja saling berjanji, untuk tidak saling mengkhianati. Aku menghempaskan dua tubuh yang berjalan diantara lereng nan curam, memasukkannya ke dalam jurang yang akan memisahkan dua janji.
….

Suasana kembali lengang, menyisakan deru angin yang mengajak berdansa pepohonan di depanku, dahan-dahan itu kembali bergesek satu sama lain, menimbukkan instrument alam yang seharusnnya terdengar menenangkan, sebentar kemudian, daun-daun kering itu mulai berguguran, jatuh di depan kami. Ada makna yang tersirat, tapi sulit untuk diterjemahkan, menarik kesimpulan? Aku tak bisa. Nihil meski berulangkali ku coba lakukan itu, tetap saja, masih tak ada jawaban dari setiap perkara yang diberikan kepadaku. Sore ini, dua pertanyaan akan segera terjawab, cepat atau lampat. Sebuah keputusan akan segera diambil dari kejadian sore ini.

Hujan kembali jatuh dari langit yang pekat, rinainya lembut menyentuh tubuh. Dingin..

Setelah semua yang terjadi, ia kembali mencoba memeluk sesuatu yang telah dilepaskannya. Kembali merajut asa yang telah dilemparkannya jauh ke dalam bayangan nan gelap. Rintik hujan itu kembali memeluk dua tubuh yang hanya saling diam, tak banyak percakapan yang terjadi. Hanya saja, pelukan itu, sepertinya bisa menjawab ribuan tanya yang muncul di kepala. Tentu tak perlu ditanyakan pertanyaan itu, tentu tak perlu pula dijawab. Karena semuanya telah terjawab di waktu yang selalu tepat.

Bisa ku lihat senyum di wajahnya kala itu, kembali mendengarkan suara itu, bersenandung memecah keheningan, berdesis lembut, merayu dengan bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh kita.


Sekali lagi, baru saja ku tikam sebuah benih yang baru ditanamkan kembali. Menghempaskannya ke dalam lubang terdalam dari sebuah bayangan, bayangan yang akan tetap menjadi bayangan. Aku, mati rasa..



Subscribe to Our Blog Updates!




Share this article!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML