(anggi)
Hujannya lumayan deras malam ini,
anginnya juga cukup dingin, baru terasa sedikit hangat ketika ku kenakan jaket. Perlahan
gemuruh suara hujan dan kilatan halilintar menjadi melodi yang tak seromantis
waktu itu, aku tak bisa berkata, hanya bergumam dalam hati. Tetesan hujan yang
terkena sinar lampu itu membentuk wajahmu. Lalu mengalir perlahan dan mulai
menjauh. Seketika pandanganku menjadi kabur, tak jelas dan kemudian benar-benar
hilang. Hilang dari pandangan dan ingatan.
…..
(aku)
butiran-butiran bening air mulai
keluar dari kedua kelopak matanya. Perlahan ia bercerita, tentang kisah usang
yang entah akankah di kenang, atau di buang. Cukup indah memang, namun tentunya
sedikit menyakitkan. Sesekali ia seka mata yang penuh dengan air mata, sedikit
memerah karena iritasi, sesekali tersenyum dan tertawa. Namun tak bisa ia
sembunyikan kebimbangan akan perasaannya.
Ya, hanya menunggu waktu saja
hari pernikahannya. Namun, entah kenapa ia masih saja belum bisa benar-benar
menghapuskan bayangan akan kisah masa lalunya, tatapannya nanar, lurus namun
kosong. Helaan nafasnya terdengar berat, kemudian dilanjutkannya cerita itu, seolah
kembali ke masa lalu, kembali membuka lembaran demi lembaran kisah yang sudah
ia tutup untuk beberapa waktu lalu, ia buka kenangan-kenangan itu, masih bisa
dirasakan manisnya, namun masih juga ku tangkap rasa getir diantara kata yang
terucap dari bibirnya.
….
(anggi)
Malam itu, entah kenapa ingin
sekali ku menyapanya, ada keinginan kuat yang mendorong lenganku untuk
mengambil gudget kesayanganku. Namun, baru beberapa saat ku tekan tombol aktif,
ada pesan masuk, segera ku buka, dan ternyata ada dia, wanita yang kini menjadi
sahabatku itu, wanita yang dulu pernah menjadi kekasihku, wanita yang selalu
ada di dalam cerita-ceritaku. Sepertinya kami terhubung, kami seperti memiliki
ikatan batin yang kuat, ketika ku ingin menghubunginya, ia lebih dulu
menghubungiku, dan begitu juga sebaliknya. Tak lama setelah berbincang-bincang
melalui pesan singkat itu, ia mulai bertanya, agak serius. Semula ku tanggapi
dengan wajar, namun entah kenapa, tak bisa ku pungkiri, ada sesuatu yang
membuat hati ini berdesir, sedikit sesak, dan nafasku mulai berat.
Dari pesan itu, ku ketahui. Dalam
waktu dekat ini dia mau melangsungkan pernikahan. Harusnya aku bahagia, karena
dia telah menemukan lelaki yang tepat. Tapi, hatiku terlalu jujur untuk
berbohong, kalau dia adalah wanita yang istimewa. Hingga kini, aku selalu
mencari wanita yang seperti dia, tentu mustahil tapi memang itu inginku. Banyak
wanita yang ku kenal, dekat denganku, tapi entah kenapa aku selalu
membandingkan semua wanita itu dengannya.
Dan kini, mimpi itu perlahan akan
menjadi nyata. Dia, wanita yang selalu menemani setiap waktu luangku, meski
hanya sebatas fatamorgana saja, akan benar-benar meninggalkanku. Bersama orang lain, bukan denganku tentunya.
Dan dengan seiring berjalannya
waktu, akan ku temui wanita-wanita seperti ia di luar sana, dengan nama dan
kisah yang berbeda. Lalu, aku disini, hanya bisa berdoa untuknya, dan untukku.
Semoga semuanya menjadi seperti seharusnya.
Semenara itu, waktu akan berjalan
dengan semestinya, akan beralur seperti seharusnya. Dan semuanya akan menjadi
kisah yang entah akan terbuka lagi atau di tutup rapat-rapat. Untuk selamanya.
Hujan masih saja turun, dan angin
yang bertiup semakin menjadi dingin. Lantunan lagu sendu menjadi semakin
dramatis, suasana menjadi begitu dingin, beku, dan untuk sementara waktu tak
akan ada lagi cerita tentangnya..
….
(aku)
Lalu, masih dengan tawa khasnya
ia melanjutkan cerita.
….
(wina)
Dulu, ketika semuanya berlalu
begitu saja, tiba-tiba saja ada sesosok laki-laki yang sangat mirip dengannya,
ia buatku tertawa, dan entah kenapa ia mampu membuatku tenang. Sosoknya
benar-benar seperti kekasihku dulu. Aku pun tak tahu bagaimana ini bermula, sedikit
menyesal ketika semuanya telah terjadi. Aku berada diantara dua orang yang
sama-sama ku sayangi, aku berada di tengah prahara perasaan, berkecamuk hebat
di dalam jiwa. Ingin berlari meninggalkannya, melupakannya, namun semakin
berusaha untukku berlari menjauh, ia semakin mendekat, semakin keras usahaku
untuk lupakannya semakin teringat jelas tawa dan senyumannya, tingkah laku dan
gaya bahasanya, dan entah berapa kali aku meneteskan air mata untuknya.
Aku begitu rapuh, dan hingga
keputusan besar ini akan ku ambil, ia belum mengetahuinya, ia begitu jauh
berada di seberang sana, hingga kepergiannya kemarin tak bisa ku katakana
rencana ini, rencana besar dalam hidupku. Semoga saja ia mengerti. Ya, semoga
saja..
…
(arman)
Jam menunjukkan pukul 10.15 wib,
sebentar lagi pesawat yang akan membawaku ke kota kelahiranku akan lepas
landas. Orang-orang tampak sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, sementara
itu, aku masih terdiam di ruang tunggu. Kemarin, datang telepon dari ibu, aku
harus segera pulang, ayah sakit.
Meski berat meninggalkan kota
ini, tapi memang seharusnya aku meninggalkan kota ini. Kota yang mewujudkan
impianku satu-persatu. Ku tinggalkan sahabat-sahabatku, ku tinggalkan kampus
tercinta, dimana semua cerita berawal dari sana, ku tinggalkan ibu angkatku dan
tentu saja orang yang spesial, ya, dia wanitaku, meski dia juga wanita orang
lain, bukan hanya aku. Aku berada diantara mereka, berada di tengah-tengah
situasi yang tak bisa ku pahami dalam sekejap mata.
Kenangan-kenangan manis di kota
ini tentu akan selalu indah untuk di kenang. Pandanganku kosong, pikiranku
melayang menuju tempat kota kelahiranku, tak jauh beda dengan kota ini, udara
bersih, hawa dingin khas pegunungan, ramah warga dan tetangga, ramainya
surau-surau dikala senja menjelang oleh suara anak-anak yang belajar ngaji atau
tentang indahnya pematang sawah, dengan latar danau di belakangnya. Damai sekali
kampung halamanku.
Bayangan akan kampung halaman
berkelebat cepat, tatkala ku ingat akan orang tua angkatku di sini, belum
sempat ku kabarkan kepulanganku, kemarin aku hanya bilang ingin pergi ke ibu
kota, mencoba mengais rupiah dengan selembar surat sakti bernama ijazah. Lalu,
ku kabarkan kepadanya, aku harus pulang, suaranya terdengar parau di seberang
sana, akupun sama. Ku tangkap nadanya agak sedikit berat, seperti biasa. Nasehat
dan wejangannya diberikan untukku, tak lupa doanya juga ia sertakan untuk
mengiringi langkah-langkahku.
Ku kabarkan kepada beberapa
sahabat, rekan dan semuanya. Dalam hati aku berjanji akan kembali lagi.
Lalu, ku beranikan diri untuk
mengucapkan selamat tinggal untukmu, cintaku. Kupahami, berat rasanya jika kita
lanjutkan kisah ini, karena ku tahu, mungkin kau sudah punya rencana dengannya,
orang yang telah lama kau kenal, bukan aku. Anak kemarin sore yang hanya bisa
membuatmu tertawa sementara. Tapi, terimakasih untuk semua cerita singkat itu.
Akan ku bingkai semua kisah itu dan ku simpan di relung hati yang paling dalam.
….
(aku)
Sulit ku pahami kisah ini,
terlalu rumit. Terlalu berani mereka, entah bodoh atau konyol. Namun tak bisa
di salahkan juga. Karena ketika cinta datang, tentu ia tak mengenal waktu, tak
mengenal keadaan. Jika waktunya ia masuk kedalam dua jiwa yang berbeda, apapun
kondisinya, terjadi juga. Yang bisa dilakukan hanya belajar dari kejadian yang
terjadi, dan apalagi selain mengambil hikmah dari semuanya. Dan setiap orang
akan berada di dalam ceritanya masing-masing..
**sebuah fiksi untuk seorang kawan dan sahabat, maaf curhatannya di jadiin tulisan, kalo ga sesuai sama alurnya maklumin aja ya.. hhee,,(lagi belajar nulis soalnya, makasih idenya.. :) )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar