Kemarin,
Semburat kuning keemasan terlihat menyembul di arah timur diantara bingkai
pegunungan yang mengelilingi kota ini. Kabut tipis masih terlihat diantara
pepohonan yang menghijau. Fajar menyapa diantara hawa dingin yang masih
menusuk, perlahan menjadi sejuk.
Menjadi
jernih, seketika pandanganku begitu jelas memandang sekitar. Seteguk air
menghilangkan dahaga diantara rasa lelah. Bahkan, sudah setinggi ini matahari
muncul, aku masih terjaga di antara rasa gelisah.
Hanya
sesaat pagi itu terasa hangat, karena entah mengapa gerombolan awan kelabu
menyergap diantara kehangatan matahari. Kembali cakrawala pagi di hiasi warna
kelabu, semilir angin perjelas pertanda akan turun hujan. Aromanya tercium
begitu kuat, aroma hujan di pagi hari.
Rintik
hujan mulai turun, menembus kabut tipis. Seperti tidak mau kalah dengan awan
kelabu, kabut kembali menggulung, menebal di segela sisi. Sebentuk ornament bergambar
kesejukan tersaji diantara rintik hujan dan kabut.
Hujan
semakin deras membasahi bumi, aku menikmati semua itu bersama sang pesona yang
datang sedari pagi, bahkan ketika aku mulai terlelap, ia mulai berceloteh ria
sembari bertutur kata manja.
Ahh,,
begitu rindu aku akan suasana seperti ini. Hanya saja, mungkin terasa berbeda.
Karena waktu berjalan maju, mengubah semua pola dan memperjelas sketsa. Menjadi
guratan-guratan kasar yang mulai terlihat diantara dua mata. Begitu lelahkah
aku? Tentu saja terlalu singkat jika ku simpulkan seperti itu, masih akan ada
banyak rasa lelah dan gelisah yang akan menghadang langkahku, yang bisa
dilakukan hanya tetap melangkah, dan berusaha, sembari berdoa.
Pagi
dengan ornament kabut dan hawa sejuk akan selalu ku nanti dengan hidangan
segelas teh hangat, untuk cerita di pagi-pagi yang akan datang.
………
Hari ini,
pagi yang cerah menghangatkan suasana
yang lelah. Pagi masih setia menyapaku, masih dengan ornament kabut dan hawa
dingin. Masih menyapaku dengan cara yang sama.
Masih
bermalas-malasan untuk melanjutkan cerita yang sempat terpotong pada malam yang
panjang, setidaknya cukup panjang hingga aku terjaga di pagi yang cerah ini. Tentu
ada yang berbeda dari biasanya, tidak ada sapaan manja yang menggoda. Hanya ada
kicauan burung yang menyapa diantara hangatnya matahari pagi.
Semalam,
setelah pulang dari tempat seorang sahabat. Seperti biasa, aku mengendarai besi
tua berumur lebih dari setengah abad ini. Berjalan pelan, berharap mendapatkan
sedikit inspirasi untuk kembali menuliskan sesuatu. Berharap menjadi menarik. Tapi
yang kudapat hanya sepi, lewat tengah malam ketika lajuku melambat diantara
persimpangan jalan, lampunya berwarna merah. Tidak ada niat untuk menerobos
meski tidak tampak kendaraan di seberang sana yang hendak melintas.
Pandanganku
segera tertuju ke atas, berharap seperti kemarin rembulan menyapa walaupun
hanya separuh saja. Meski hanya semburat warna kuning yang memudar karena awan
gelap menghalangi cahayanya. Malam ini, mutlak tidak ada cahaya rembulan,
bintang pun seperti enggan menampakkan wujudnya.
Malam
ini semakin diam, dengan wujud kegelapan.
Ada apa
dengan rindu, kenapa ia begitu gemar menyiksaku? Ya, lima huruf itu begitu
menyiksaku, selalu mengusik ketenangan malam. Bahkan ia menyapa tanpa berdosa,
ia melenggang menggoda di depan mata, menjerumuskan perasaan yang sudah
tergelincir kedalam sebuah jurang yang begitu dalam. Hingga hanya bisa
menggeleng pelan, tanpa harus berkata, aku tertawa diantara gundah. Mentertawakan
diri sendiri yang di perbudak oleh rasa sesaat yang menjanjikan keindahan.
Tahukah,
menjadi sadar itu membutukan serangkaian proses yang melelahkan. Sadar atau
tidak, kita baru akan tersadar ketika sudah melakukannya. Akan merasa berdosa
ketika sudah melakukannya, akan merasa bersalah ketika sudah melakukannya. Bukankah
awalnya kita melakukan sesuatu itu karena berfikir bahwa itu benar? Lalu kenapa
menjadi salah pada akhirnya?
Mungkin
saja itu merupakan hal yang benar, namun sesuatu yang benar tidak akan menjadi
benar jika prosesnya tidak dijalankan dengan benar. Maka tidak heran jika pada
akhirnya kita akan kembali terpekur dan tersungkur, karena penyesalan dan
merasa bersalah.
Salah
dan benar, hanya menjadi ukuran untuk kita berbuat menjadi lebih baik. Saranku,
jangan memilih orang yang terbaik, tapi pilihlah sesorang yang bisa menjadikan
kita lebih baik, menjadi yang terbaik.
Pilihan
akan selalu ada, meskipun terkadang itu membingungkan. Bukankah kebingungan
merupakan pertanda bahwa kita memikirkannya? Bukankah tersesat juga merupakan
hal yang wajar dilalui oleh penjelajah? Tidak ada yang salah jika dilakukan dengan
benar, tidak ada yang benar jika dilakukan dengan salah.
……..
Pagi dengan
ornament kabut dan hawa dingin, berbagi waktu dengan sepucuk kehangatan mentari
pagi. Akan ada cerita yang sama di pagi-pagi berikutnya. Cerita yang sama
dengan cara yang berbeda. Akan sama rasanya, akan seperti itu bentuknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar