Minggu, 13 Juli 2014

Kembali Pulang



 Pada akhirnya semua jalan itu akan mengarah pulang. Sejauh apapun berjalan, berpetualang, mengelilingi separuh putaran hidup dengan terus melangkah, mencoba mencari dan selalu mencari. Entah, hingga kini pun, belum ada yang kutemukan, bahkan sebenarnya aku tidak tahu apa yang dicari. Hati dan pikiranku mencoba untuk selaras, mencoba saling berinteraksi dengan lingkungan sadarku, mencoba memberikan gambaran nyata, melalui bayangan yang diperhatikan oleh seruas makna yang dimiliki hati.

Jika hanya ingin mengerti tanpa memahami, maka esensi dari sebuah pencapaian keberhasilan tidaklah bisa didapatkan. Karena entah kenapa, banyak sekali orang mempunyai tujuan yang serupa, jika disodorkan pada kisah-kisah petualangan akan dengan antusias merasa bahwa itulah dirinya. Akulah sang petualang, akulah sang penakluk, akulah segalanya. Dan seperti itulah ketika kita tidak bisa memahami arti dari sebuah esensi perjalanan.

Dalam setiap langkah kaki yang terus berjalan tenang, aku kembali dihadapkan dengan situasi yang sebenarnya sulit untuk dimenengerti. Aku berada pada bagian yang sebenarnya tidak ingin kulalui, tapi sebenarnya mengelak pun tidak akan bisa, karena itu sebuah kenyataan, kenyataan yang seharusnya tidak untuk dikeluhkan. Jika terlalu banyak mengeluh, kita hanya akan semakin terseret masuk ke dalam kubangan yang suatu saat nanti dengan cepat bisa mengubur kita perlahan, bahkan bisa dengan sangat cepat.

Pada bagian lain sebuah persahabatan, adakalanya perselisihan menjadi sebuah warna. Ketika ada intimidasi, akan diselingi dengan pembelaan diri, ketika ada yang di salahkan, maka akan ada yang membenarkan. Kekecewaan mungkin saja terjadi, mungkin saja akan menimbulkan percikan dari sebuah sebuah persahabatan menuju rasa tidak percaya.

Aku pernah di kecewakan, tapi aku lebih sering mengecewakan. Aku pernah disakiti, tapi aku lebih sering menyakiti, aku pernah di khianati, tapi aku lebih sering mengkhianati. aku tidak lebih baik daripada penjilat-penjilat itu, aku tidak lebih baik daripada bangsat itu. Ketika semua kejelekan seseorang diungkapkan ke permukaan, menjadi bahan obrolan di meja makan, maka sepertinya semua omongan jelek itu menuju kearahku, mengelilingiku seraya berkata, “Dengarkan, semua orang sedang membicarakan kejelekkanmu, lalu bagaimana nanti jika kau sudah mati? Tidak akan ada yang akan membicarakan kebaikan-kebaikanmu, maka celakalah kamu!”

Sepertinya kata-kata itu membuatku bergidik ngeri. Entah, sampai kapan semua ini akan berakhir, entah sampai kapan semuanya akan dimulai kembali. Aku terus melangkah, semakin menjauh, semakin banyak orang yang ku sakiti, semakin banyak orang yang ku kecewakan, selangkah aku berhenti, maka akan ada yang merasa di sakiti pada langkah berikutnya.

Jika langkahku harus selalu panjang, aku tidak akan pernah berhenti, hingga nanti waktunya aku harus kembali. Entah kapan semuanya akan berakhir, entah sampai kapan semuanya bisa dimulai dari awal lagi. Pada sebuah nama yang entah lafalnya seperti apa, terkadang cinta itu tidak mengenal aksara, karena hanya ada rasa dan kasih. Tidak perlu mencarinya, karena tanpa dicari ia akan datang sendiri, setidaknya seperti itulah pemahamanku mengenai persoalan yang satu ini. Tidak perlu mengejarnya, karena ia akan menghampiri jika waktunya sudah tiba.

Semakin cepat mengatakan cinta, maka akan secepat itu pula kita akan mengatakan benci. Akan selalu ada penyebab dari sebuah persoalan, aka nada solusi menyertai pula. Terkadang kita tidak sadar jika semua permasalahan itu akan disertai dengan berbagai solusi, seperti kata pepatah lama, ada banyak jalan menuju Roma, maka ada banyak pula jalan untuk mencari setiap masalah yang sedang menyapa.

Malam ini begitu dingin, sangat dingin, seperti sedang berdiam di suatu tempat dengan ketinggian 3000 Mdpl. Semilir angin yang berhembus pelan sudah cukup membuatku merasakan dingin mulai masuk dari ujung kaki, perlahan dengan sangat pelan dingin ini mulai membekukan keadaan, sepertinya semuanya mulai terbuai dengan sunyinya malam, semuanya kembali ke peraduan. Dan sesaat kemudian hanya akan ada hening yang sempurna, indah.

Selarut ini, malam merayap pelan. Mulai mengisahkan tentang perjalanan mentari yang mengintari bumi. Seperti cerita seorang teman yang mengisahkan tentang malam ini, ia berujar tentang bulan, terlihat indahnya bulan diantara awan yang menggumpal, terlihat indah ketika bulatan bercahaya itu menyibakkan sisa-sisa awan yang menutupinya. Sepertinya sang awan memahami bahwa dia harus menjauh dari rembulan, karena ada seseorang yang berharap keindahannya terlihat di malam yang begitu dingin, terlebih setelah sepanjang hari hanya ada dominasi hujan dan awan gelap, dingin ini berpadu dengan harmonisasi cahaya rembulan, bersinar terang keemasan.

Suasana ini tentu akan berarti bagi sebagian orang, bagi sebagian orang yang menyukai keidnahan dari sisi pandang yang berbeda, menikmati keindahan dari sisi gelapnya, menyaksikan lukisan Illahi, lalu dalam hati bergumam, berharap dan merapal doa kepada Sang Pencipta, mengenai angan dan cita-cita, menganai rasa, mengenai hati, mengenai tujuan awal dan tujuan akhir, mengenai perihal jalan untuk kembali pulang.






Subscribe to Our Blog Updates!




Share this article!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML