Minggu, 13 Juli 2014

Mozaik Tentang Ketenangan Hujan



Udaranya dingin, kupikir masih pagi. Tapi setelah benar-benar terjaga waktu sudah menunjukkan tengah hari, namun tak sedikitpun ada tanda-tanda kemunculan matahari. Seperti biasa, aku masih bisa menikmati suasana disaat hujan seperti ini, menikmati irama dari tiap tetesannya, merasakan hawa dingin ini, seperti membawaku kepada kenangan tentag masa silam. Entahlah, hujan selalu bisa membuatku berjalan mundur, kembali pada kisah di halaman-halaman yang telah tertutup, dimana tidak ada kekhawatiran tentang hari esok.

Siklus hidupku masih seperti dulu, beranjak tidur ketika mentari mulai menyapa diantara kesunyian yang tersisa, dan kemudian terjaga beberapa jam setelahnya, ketika matahari tepat berada diatas kepala. Ada sesuatu yang kusesali, seringkali ku lewatkan hangatnya belaian mesra sang mentari, padahal dulu aku selalu bercengkrama dengannya, sembari menikmati seutas ketenangan dan harapan yang mulai meninggi, sama seperti sabda Illahi tentang matahari yang selalu mengintari bumi.

Pada fase berikutnya, perjalanan ini memang belum ku ketahui bagaimana aku harus memulai. Ada yang datang dan ada yang pergi, ada ketenangan dan kebisingan yang silih berganti mengisi hari, lalu secuil kekhawatiran itu bisa menumbuhkan ketakutan yang menggunung, atau pada sebuah harapan yang masih ragu untuk dijalankan. Semuanya berpola menjadi sebuah lingkaran yang sepertinya tidak akan terputus dipertengahan. Dan aku berjalan diantara lingkaran tersebut, perjalanan yang hanya akan berhenti jika aku mati.

       Diluar masih belum tampak pertanda mentari akan menghangatkan bumi, tidak ada pertanda tentang keberadaannya, satu-satunya tanda adalah meskipun mentari tak menampakkan diri, tapi masih bisa kulihat sekitar, tebalnya awan yang menggulung menyerupai samudera di cakrawala itu tidak bisa menghalangi secercah tanda tentang keberadaannya. Segelap apapun siang, dia tidak pernah benar-benar gelap, dan seterang apapun malam, dia tidak pernah benar-benar terang.

Jika aku bercerita tentang hari yang syahdu, seperti dimana awan gelap yang diselimuli kabut tipis ini berpadu menjadi satu, lalu rintik hujan mulai membasahi bumi, satu-persatu turun ke bumi, memberikan setetes kehidupan melalui keagungan-Nya.

Masih bisa kurasakan tentang kekecewaan seseorang. Dari setiap tulisan yang kubaca, dari setiap tanda diakhir kalimatnya selalu mengisyaratkan sesuatu yang bisa ku mengerti. Bahasa tulisan bisa lebih fulgar daripada teriakan-teriakan yang menyakitkan, Bahasa tulisan terkadang bisa membuat kita menitikkan air mata ketika membacanya, dan bahasamu adalah Bahasa yang bisa kumengerti tanpa harus membaca berulang kali.

Kau tahu, aku masih terjebak didalam sebuah prahara dan kemelut akan tujuan sesungguhnya, aku berjalan pun masih gontai, sesekali terjatuh,  terjerembab, sesekali tersesat, dan semakin jauh aku melangkah, meninggalkan semuanya, itu menjadi sangat indah. Menjadi sendiri, menikmati sapaan indahnya kesunyian, memeluk warna keheningan, bercengkrama dengan hawa dingin. Dan kau tahu, aku pun masih menginginkan semuanya berjalan berirama, meski tak harus sama, yang penting dia berbunyi, terserah jika harus cempreng atau sumbang, karena irama hidup pun tidak selalu merdu mendayu.

Jika kau katakan, ada sedikit gundah mengenai cerita masa silam, dan menjadikan langkah semakin berat untuk berjalan, maka ku katakan, aku terseok-seok untuk kembali berjalan, lebih tepatnya bergeser. Ya, hanya bergeser sejengkal setiap waktu, hingga akhirnya aku bisa kembali berdiri, menikmati secangkir kopi di pagi hari, atau menghabiskan sisa senja dibatas kota. Menikmati ketengangan malam yang dipeluk cahaya rembulan, itu merupakan kesunyian yang kudambakan, tidak ada kebisingan, tidak ada hiruk-pikuk, tidak ada kata yang menodai rasa.

Angin bertiup agak kencang, menerbangkan debu-debu yang membeku. sementara itu, aku hanya bisa merapatkan tangan kedalam jaket yang sudah tidak memiliki bentuk ini. compang-camping, tetapi secara fungsional dia masih bisa menghangatkan. Seperti halnya dengan apa yang sering kita lihat, kita rasakan, ku katakan. Secara fisik, mungkin aku cidera karena rasa, tetapi secara fungsional aku masih bisa mengenal dan meraskannya. Tidak perduli seburuk apa tampaknya, yang kutahu, selagi masih bisa berfungsi dengan baik, itu lebih baik.

Suatu waktu aku bertemu dengan seseorang, seperti biasa ada saja obrolan yang mampu menghangatkan. Mengalir begitu tenang, merambah suasana mencekam menjadi suasana yang menyenangkan. Kemanapun arah pembicaraannya, selalu akan ditemukan titik temu dari inti pembicaraan. Meskipun tidak secara terang-terangan ku katakan tujuanku, atau meskipun tujuanku tidak mengarahkan pada setitik nama pada harapan rasa, akan selalu ada kesan diakhir cerita.

Entah bagaimana memulainya, naluriku mulai berbisik pelan, mulai menjarah dari tiap inci kekosongan yang sempat tertutup rapat oleh kenyataan yang menyakitkan. Ketika kenyataan mengajari aku dengan begitu jujur, sesaat sakit itu akan berbalik. Pada waktu tertentu, aku bisa berdendang dengan lagu yang berbeda diwaktu yang sama. Naluriku mengajarkan tentang kejadian selanjutnya, sepertinya dia menuntunku kearah sana.. maaf, hatiku terlalu jujur untuk menceritakan semua rencana naluriku.

Jujur jika ku katakan, ada sebaris sajak tentang kerinduan yang tiba-tiba menyeruak ke pikiran, lalu menjadi sebuah kalimat yang mampu menggoda, bukan hanya engkau saja yang tergoda duhai pesona, akupun tergoda untuk merasakannya. Ketika imajiku berkelana, menemukan mozaik dari setiap kata-kata mesra, aku bisa merasakan bahwa keajaiban itu akan selalu menyapa disetiap kesulitan yang kita hadapi.

Aku tahu, semakin banyak ku ungkapkan kata yang dibalut sebuah rasa tanpa makna hanya akan mencipatakan rasa sakit, tapi aku selalu bisa menikmati rasa sakit itu. Semakin kurasakan sakit menjalar di setiap urat, maka akan semakin indah rasanya ketika meneguk manisnya kebagaiaan. Teori yang selalu bisa ku buktikan dengan tentetan rencana Tuhan yang selalu menegangkan.

Dan untukmu, untuk dia, untuk mereka, goresan kata-kata ini bisa saja menyisakan luka yang mendalam. Tetapi, seandainya kau tahu. Aku tidak ingin melukai dan menyisakan bekas luka di sisa langkahku yang semakin menjauh, sedalam itu aku melukai indahnya sebuah rasa, maka sedalam itu rasa tercipta diantara hati yang membeku.


Ada baiknya kita mulai membuka diri, menikmati sisa indah mentari, menikmati hawa dingin ketika hujan, menikmati malam yang dipeluk rembulan, menikmati embun pagi yang sunyi. Sejauh-jauhnya aku pergi, suatu saat aku akan kembali. Karena ada sesuatu yang selalu bisa menarikku kembali semua itu kusebut “rumah”. Aku akan kembali lagi ditempat itu, meskipun kusadari, belum ada keyakinanku untuk menyebut sebentuk hati diantara para pesona itu dengan sebutan rumah. Karena kurasa aku harus kembali berjalan, melangkah dan menjauh, untuk kembali membentuk sebuah harapan tentang masa depan, mengenai rasa.



Subscribe to Our Blog Updates!




Share this article!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML