Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 02 Januari 2015

Gurat Tawa Dikala Senja Menyapa

#Kemarin



“Buatkan aku sebuah kata-kata. Aku ingin mendengarkannya.” ia meminta, matanya menatap ke depan, mengunci pandanganku. Sayu, ada kerinduan di sana, tapi jelas tak ada keberanian untuk mengatakannya. Aku cukup jelas bisa melihatnya, bertahun-tahun aku mempelajari tatapan mata itu. Ini tidak mungkin salah.

Aku tersenyum, kemudian menatapnya. Halus.

Ada sebuah relung jiwa yang menganga, teriris pelan, menyayat, tapi tak ada rasa sakit di sana. Hanya ada sebuah rasa yang kemudian memudar, tak jelas. Aku tak tahu ini pertanda apa, apakah ini adalah permintaan terakhirnya? Entahlah, aku enggan memikirkannya terlalu dalam. Toh ini akan terjadi juga. Cepat atau lambat, kata-kata itu akan terucap.

“Apa yang ingin kau dengarkan dariku? Bukankah terlalu sering aku bercerita kepadamu? Tidak bosankah kau selalu dengar apa yang ku katakan, bahkan aku terlalu banyak bicara akhir-akhir ini, bukankah begitu?” tanyaku.

Ia menggeleng. Sejurus matanya kembali mengunci pandanganku. Aku tertegun, bening matanya gambarkan wajahku di sana. Mata itu seolah memohon kepadaku.

Aku tersenyum, menatapnya, mencoba memberikan tatapan terbaik yang ku miliki, ini mungkin akan menjadi tatapan terakhirku untuknya, tatapan paling romantis yang pernah ku berikan untuknya. Mungkin.

“Baiklah jika kau memaksa, aku bisa apa? Kau selalu bisa memaksaku, dengan cara apapun. Bahkan, tanpa kau berkata, kau bisa mengintimidasiku begitu kuat,” aku menghela napas. Masih belum terpikirkan apa yang harus ku ucapkan.

Ia menunggu dengan tatapan antusias. Sial, bahkan konsentrasiku telah buyar demi melihat itu semua. Ini sudah dua tahun berlalu, dan aku masih belum bisa melepaskan tatapan mata itu. Sekali lagi, dia mengintimidasiku dengan caranya sendiri.

Aku mengambil napas, berat. Mengumpulkan semua memoriku tentang waktu itu, mencoba merangkai mozaik yang telah terberai, mencoba mengumpulkan kepingan puzzle yang berserakan, pikiranku kembali merangkainya menjadi sebuah kisah, tentang kita.
….

Malam di kota ini semakin dingin, padahal baru saja ku tinggalkan sejenak. Beberapa hari lamanya kakiku beranjak menjauhi semua ini, mencoba merajut kisah di tempat yang berbeda, Jakarta. Untuk beberapa kalinya ku injakkan kakiku di kota itu, kacaunya pikiranku kembali menyatu dengan kondisi semrawutnya ibu kota. Nyaring klakson meraung panjang, memekakan telinga, teriakan kondektur metro mini, pedagang asongan, senandung penyanyi jalanan, tak kalah ingin berpentas, sesekali pengemis itu menunjukkan aksinya, menegadahkan kedua tangan dengan tatapan kosong, berharap. Ah, bahkan di mata mereka masih ada harapan, bahkan mereka masih berharap kepada seseorang yang tidak dikenalnya, sementara aku tidak.  Tak ada harapan di mataku, terlebih di dalam hati. Kosong. Ironis.

Dan di sinilah aku sekarang berada, bersama hawa dingin dan rasa rindu tentang sesuatu yang tak ku ketahui wujudnya. Kembali aku tenggelam di dalam samudera bahasa, kembali menuliskan kata-kata ini, memadukan berbagai kosa kata, ini hari yang sibuk. Aku benar-benar lelah, hingga tak terasa mataku terpejam sesaat, hingga kumandang adzan magrib bangunkanku dari mimpi indah sejenak. Aku kembali terjaga, dan ketika aku belum siap, hawa dingin itu kembali memelukku, memutar memori itu.
“Semilir angin membawa kita kepada suasana ini, suasana yang tidak kita mengerti. Bercengkrama dengan cara kita masing-masing. Mencoba memahami hati, kembali merasakan apa yang pernah hilang,” sengaja ku potong kalimatku, lamat-lamat ku tatap wajahnya. Ia masih menunggu kalimatku berikutnya.

Dia masih menunggu kalimat berikutnya. Aku melihatnya, sungguh. Pelan-pelan ku goreskan tinta itu di ingatanku, mengguratkan gambar terakhir dari wajahnya. Mungkin aku tidak akan melihatnya lagi, mungkin. Tidak ada yang tahu.

“Hujan, berapa kali ku tuliskan kisah tentang hujan? Tak terhingga bukan? Bukan, itu bukan cerita tentang hujan, itu cerita tentangmu, tentangku. Tentang kita. Kau pernah melihat indahnya sunset di tepi pantai, indah bukan? Ku beritahu kau satu hal, kehadiranmu selalu dinantikan meski hanya sesaat, seperti itulah kau di mataku, selalu dinanti meski hanya sesaat. Kau tahu, aku bisa melangkah ratusan kilo meter, menjalani setapak demi setapak perjalanan yang entah sampai kapan berujung, dan kemudian pada suatu waktu sebelum malam menjelang, aku akan berhenti sejenak. Menatap berjam-jam mentari yang merona itu, dan begitulah kau di mataku, selalu indah meski hanya sesaat ku menatap,” kataku. Wajahnya merona, merah. Ia suka, aku bahagia.

Matanya semakin antusias, tak sabar menunggu kalimat berikutnya. Aku ingin menatapnya lebih lama lagi, ketika binar mata itu seperti berbicara, “Aku masih akan menunggu itu,”

“Kau lihat, bahkan sejenak ketika gelap itu hendak menelan mentari yang merona itu, kau tetap indah dengan kisah itu. Malam datang, menyapa hari yang akan berganti, gelap. Ini kisah lain dari pesonamu, bahkan ketika malam tak ada cahaya di atas sana, kau tetap indah dengan kisahmu. Gelap itu menggurat kenangan ketika sepi mulai merasuki hati, tapi kau tahu? Itu adalah bagian dari kisahmu, kisah yang bahkan akan selalu bisa membuatku tertawa bahagia,” aku tersenyum. Kembali senyumnya simpul tersungging di wajah itu, merona, sekali lagi. Dia tertawa, aku menyukainya.

Angin kembali membelai mesra, kata-kataku tercekat, sesaat aku sadar, ini adalah guratan kata yang mungkin akan kembali berserakan, akan kembali terberai, pecah, bahkan aku tak yakin akan kembali menyatu, itu hanya bagian yang akan terlupakan bukan? Ya, itu hanya akan menjadi kisah klise, antiklimaks.
…..

Pada bagian lain kisah ini, aku kembali merangkai asa yang entah telah terburai ke mana, ini akan menjadi sebuah kontradiksi. Ini akan menjadi impulsif, dramatis, melankolis, romantis sesekali, getir di dalamnya, sedikit cerita yang menggurat hati akan menambah suasana semakin menarik bukan, bahkan kalian akan segera menyukai kabar duka, menurutku, kabar buruk adalah kabar baik, setidaknya itulah yang ku tangkap dari semua fenomena yang di angkat media.

Hujan memang tidak menyapa hari ini, tapi jelas kabut menutup sebagian kota yang entah telah menggeliat sejak pukul berapa. Hingga siang menjelang, bahkan matahari enggan menampakkan kegarangannya hari ini, semakin dingin. Karena mendung menggantung di cakrawala, menggulung sebagian kisah kelam dan derita sebagian orang, bencana semakin menggeliat, alam menunjukkan keparkasaannya, banjir, longsor, bahkan hingga kecelakaan salah satu maskapai penerbangan menjadi sebuah informasi yang sangat nikmat untuk disantap.

Miris, negeri ini semakin gembira menonton pertunjukan itu, media berbondong-bondong mengangkat berita duka, menjadikan itu sebagai komoditi untuk mengeruk rupiah. Headline news, di mana-mana menayangkan berita yang sama, tak terhingga dalam hitungan detik berita itu mendapat ribuan klik dari para pembaca yang mengakses melalui website, mendapat rating tertinggi dari pemirsa layar kaca. Ada apa dengan negeri ini, atau lebih tepatnya, ada apa dengan kita, denganku, denganmu? Aku masih tak mengerti, mungkin akan lebih baik jika kita tidak mengerti itu.
…..


Aku, kamu. Hujan, senja, malam, mentari pagi selalu menggambarkan suasana tentang waktu itu. Ini akan menjadi bagian yang tidak akan terlupakan. Sementara itu, penggenggam hujan kembali bersendung riang, di antara rintik hujan dikala senja menyapa, malam menjadi kisah yang terus bercerita tentang semuanya, semilir angin akan selalu membisikkan untaian kata berirama mendayu. Aku, kamu, dia, mereka, menjadi sebuah rentetan cerita yang tak akan terputus, hanya waktu, satu-satunya yang pasti, selebihnya tidak ada.
Read More




Sabtu, 15 November 2014

Karakter Tanpa Nama

#Bayang


Masih mendung. Awan kelabu masih menggantung di angkasa, tanpa setitik warna biru yang tergores di sana. Hawa dingin menyergap perlahan. Sudah siang, mentari tak kunjung menyapa lagi, tapi pagi hanya sesaat ia muncul, menggurat angksa dengan secercah kemegahan, tunjukkan kedigdayaan sebagai penguasa angkasa.

Ia masih menatap tanpa bahasa, tanpa lisan berucap. Berusaha mencerna dari setiap kejadian yang tertera dalam barisan kenyataan, ini adalah nyata yang harus dihadapinya. Tanpa kompromi, ya kenyataan itu menamparnya begitu kuat, hingga lunglai tak berdaya, lemas. Teronggok bagai sampah yang basah, mengeluarkan aroma busuk, dan kemudian hancur karena panas sengatan matahari dan terpaan hujan yang mendera.

Ada bagian yang terbuang, ada bagian yang hilang, ada juga bagian yang ditemukan, berserakan, terpecah belah, tercabik, benar-benar hilang dari hadapan, menguap disengat zaman yang sekali lagi terlanjur menjadi begitu kejam, ketika kelembutan hati tak bisa dijaga, ia hanya akan membuatnya menjadi sangat buruk, merubahnya dari sosok yang berbeda dari sebelumnya. Kenyataan mengajarkan akan rasa sakit. Perih.

Tergores pelan, menyusuri antara batas-batas yang tersekat di antara cabikan malam yang menyayat hati, ada selaksa tawa yang tercekat di antara kerongkongan, tertahan menjadi sesak.

Kepalanya berdenyut kembali, merasakan sakit yang entah bertambah hingga berapa kali lipat, yang dia rasakan hanya rasa sakit. Baru bangun beberapa waktu lalu, sebelumnya ia masih bisa merasa senang, karena hujan di pagi hari memeluknya pelan, terlelap ketika barisan hujan itu kembali menyapa suasana pagi. Jika sekarang adalah tiga tahun lalu, dia tidak akan melewatkan suasana semanis ini. Tapi itu dulu, kini tak ada lagi yang bisa dirasakan selain dingin.

Jemarinya mencoba meredakan rasa sakit itu, memijit-mijit pelan berharap rasa itu berkurang, namun semakin dipijit, itu semakin sakit. Jika otaknya tidak berfungsi mungkin dia telah membenturkan kepalanya di tembok itu, tembok yang terlihat semakin usang. Udara pengap dari kamar yang tak pernah terkena matahari itu semakin membuatnya tersiksa.
Lihat, wajahnya memerah, mungkin karena malu, atau bahkan bisa jadi itu adalah ungkapan dari rasa yang tidak bisa diucapkannya, bahagia. Dia begitu suka membuat wajah wanita itu memerah, ia begitu suka ketika wanita itu merengek manja, atau bahkan mencubit pelan, Dia juga suka membuat wanita itu kesal karena sering mengacak-acak kelapanya.

“Hujan, bukankah kita selalu suka saat-saat seperti ini?” dia bergumam pelan, matanya nanar tak berkedip melihat jutaan galon air yang tumpah ke bumi.
Wanita di sebelahnya tak menjawab, terlalu asyik dengan laptop di depannya. Jemarinya lentik mengeja satu-satu huruf di keyboard dengan kedua telunjuknya. Sesekali tersenyum, serasi manis dengan suasana pagi ini, bulu matanya lentik, alisnya juga sama.

“Hey, lagi apa? Sibuk Banget?” dia kembali memegang kepalanya, mengacak-acak rambut panjangnya.

Wanita itu menghentikan aktivitasnya. Seperti biasa, ketika kesal bibirnya akan maju beberapa centi, kemudian menatap garang. Mencoba teriak, meluapkan kekesalan karena merasa terganggu. Lebih mirip dengan induk singa yang merasa anaknya dalam ancaman.

Sebelum teriakannya menggemparkan tetangga, ia bergerak cepat. Membekam mulutnya, mencoba berdamai. Wanita itu berontak, jelas tenaganya begitu kuat karena tak pernah digunakan, sedangkan aktivitas sehari-harinya hanya makan dan makan.

Setelah berhasil lepas dari cengkraman tangan lelaki itu, si wanita berteriak, keras. Lagi, ia gagal mencegah itu terjadi.

“Kaakkk!! Kenapa si ganggu?! Bisa gak diem?” dia mengancam, sambil mengacungkan kepalan tangannya.

“Iya iya, maaf. Janji, gak akan ganggu lagi, piss.” wanita itu mendengus sebal, tapi sesaat tersenyum setelah melihat layar laptop.

“Dasar, wanita!” ucapnya ketus, nyaris tak terdengar. Namun ternyata si wanita mendengar itu cukup jelas. Matanya mendelik ke arahnya, masih dengan tatapan mengancam. Ia hanya nyengir kuda, lalu diam.

Di luar, hujan masih turun dengan deras. Suasana yang indah. Ia mengambil jurnal di dekatnya, menggoreskan tinta di dalam barisan kertas kosong. Beberapa larik tentang hujan kembali tercipta, hujan dan semua suasana indah.
            …

Kemarin, ketika malam mulai menjelang, tatapan mata penguasa cakrawala tak terlihat sejak pertama kali seharusnya dia menampakkan diri. Hujan rintik-rintik masih saja turun. Ku putuskan untuk hanya sekedar jalan, menemui salah seorang sahabat. Menembus hujan, mengindahkan rasa dingin yang menggigit, menyusuri sisi jalan yang sempat hening sesaat.

Sekedar makan malam, bercerita tentang sesuatu yang ringan. Sesekali tertawa, terkadang begitu keras, sesekali hening, berkonsentrasi dengan makanan. Sudah lama memang suasana makan malam seperti ini tak ku rasakan. Sementara waktu terus berputar, membelah bilangan waktu dalam perjalanan satu hari ini. Sedikit masalah pekerjaan bisa terurai malam tadi, sedikit bisa kembali mengendurkan syaraf dan meluruskan harapan tentang seseorang, yang jika ku boleh berkata jujur, ku tunggu kabarnya malam tadi.

Hanya beberapa menit, tak sampai satu jam. Tapi memang tak butuh waktu lama untuk merasa bahagia bukan? Namun, sendiri dan sepi, itu lama baru bisa beranjak menghilang. Kembali setelah meresapi belaian angin yang menjadi dingin, aku kembali diingatkan akan kehadiran seseorang. Dan jika dia tahu dan bisa merasakannya, tentu seumur hidupnya enggan untuk merasakan hal seperti ini.


Terima kasih untukmu, si penunggu waktu (ini adalah nama terbanyak yang ku berikan kepada seseorang), dan untuk dia, sebaris catatan dalam anggunnya rintik hujan..
Read More




Rabu, 05 November 2014

Karakter Tanpa Nama

#Hening


Hening..
Aku segera terjaga, ketika malam masih memeluk sebagian orang dalam dekapan pekatnya yang romantis. Suasana, ya seperti ku katakan di beberapa bagian malam sebelumnya, suasana di waktu sepertiga malam memang selalu menangkan.

Sebagian orang merapal jutaan mantra kepada Sang Pencipta, memohon dan mengadu, terkadang berseandung syahdu, dalam balutan rintihan yang terkadang menohok jantung. Merangkai serpihan harapan, menjadi gumpalan berwujud tekad. Lihat, harapan itu terlihat semakin nyata!

Keraguan, hanya akan menjadikan semuanya tampak sirna seketika. Itulah yang dirasakannya, saat ini. Guratan wajahnya gambarkan kenangan yang perih, mengiris ingatannya setiap detik dari waktu yang berputar. Perlahan ia bangkit, menatap malam yang pekat, lalu bertanya kepada Sang Penguasa yang lama tak disapa. Adilkah?!

Hanya itu yang terucap dari bibirnya, lirih. Getir.

Lelaki itu berjalan pelan, menembus gelapnya malam. Melawan rasa dingin, berjalan di antara hening dan sepi. Pekatnya malam kota ini tentu masih akan ada cahaya di sana, ada beberapa titik terang yang akan terlihat, tapi tidak di hatinya. Masygul.

Tak banyak kenangan indah yang bisa diingatnya, tak banyak keindahan yang bisa dirasakannya. Hanya ada sejuta sesal dan kenangan pahit yang merongrong isi otaknya, perlahan menyebar dan masuk ke dalam hati, mengaburkan dan membunuh perasaan lembutnya, berpengaruh terhadap semuanya. Ia tak lagi ramah seperti dulu, tak lagi bijak seperti dulu, tak ada lagi tawa ceria mengembang di wajah yang menenangkan itu. Semuanya mati. Beku, hanya ada dingin yang tergurat di wajahnya.

Kota ini tak benar-benar sepi. Ketika jaket lusuh itu didekapnya, menahan terpaan angin yang kencang menghantam apapun yang dilaluinya, sebagian wanita yang melintas di depannya justeru mengenakan pakian minim, serba minim. Rok di atas lutut dengan balutan baju yang tak sempurna menutup tubuh mulus itu, terbuka di mana-mana. Sepertinya angin malam menghangatkannya.

Ia hanya mendengus, menatap sebentar dan kemudian mengalihkan pandangan. Menatap barisan tegel di jalanan itu, berjejer rapih. Tersusun indah. Ia sejenak berpikir, seandainya hidup ini seperti batu bata itu, tersusun tanpa perlawanan, diinjak sekalipun mereka tak akan berontak, dan ketika usia menggerogoti kekuatannya, ia akan hancur dan melebur, menjadi debu, terbang ke angkasa dan menghhilang bersama udara. Jika bisa memilih, dia akan menjadi seperti batu itu. Tanpa perlawanan dan tanpa logika, yang terpenting, tanpa perasaan.

Ia masih berjalan, mencoba mengais sisa-sia harapan. Ah, dia baru ingat. Tak akan ada harapan, tak akan ada lagi tawa riang dan gembira yang bisa di rasakannya, semuanya sudah sirna, pun kepercayaannya terhadap Penguasa Jagat Raya. Ia meleburkan dirinya dalam jurang penyesalan, dalam, pekat. Tanpa cahaya.
Suasana pagi ini terlihat indah, matahari pagi mengintip di antara tembok-tembok yang menjulang tinggi. Tentu tidak seindah jika melihat lukisan matahari terbit dari puncak-puncak tertinggi di pulau ini. Menatap sejajar, dengan awan seputih kapas mengambang di bawah sana, terbentang seperti gelomban di samudera luas.

Aku bisa menikmati lembut jemari pagi mengelus harapanku, menjamah hati, sejuk. Ada nada manja yang kembali menyapa di ujung sana, bisikan kata-kata seperti sedia kala. Ada setitik kehangatan menjalar pelan, menembus sekat-sekat yang ku buat, mulai menumbuhkan tunas-tunas dari benih harapan yang terbunuh.

Ketika sapa si mata biru kembali hadir di antara malam yang pekat, menjelajah hingga padang gersang dengan peradaban ribuan tahun silam, gemercik air mengalir pelan, syahdu terdengar menembus keheningan hutan, kicau burung yang bertengger di ranting-ranting pepohonan, hijau, lebat. Aku kembali menyapa harapan itu, kembali menumbuhkan asa tentang impian yang sempat sirna, ingin menjelajah separuh waktu yang tersisa dari genggaman sang waktu.

Kemarin, ku dapati kabar dari si pembawa pesan, tentang wanita pujaan. Ya, tentu aku bisa menangkap aroma itu kembali hadir menyapaku, membelai hati yang mulai membeku. Si pembawa pesan berikan pelajaran ketika pagi mulai menyapa, begitu juga ketika petang menjelang, menggambarkan keindahan dari jutaan rasa yang tercipta, untuknya, Rintik Senja.

Sepagi ini, ketika matahari mulai meninggi, sekarang ia lebih tinggi dari gedung-gedung itu. Meninggi seperti angan dan harapanku, tentang negeri-negeri yang jauh. Kembali, kata jauh menyapaku, kembali ia mengingatkanku, perjalanan ini masih akan berlanjut, masih akan menuliskan tentang langkah-langkah yang mulai lelah.

Menyambangi negeri impian, di mana saat ini, bentangan alam dan keindahan Nusantara telah mengingatkanku, bahwa negeri ini lebih elok dibandingkan arti kata jauh itu sendiri. Tapi, tentu aku tak ingin keindahan ini membenamkanku. Ada berjuta keindahan di luar sana, dengan balutan rasa sakit dan derita, itu jauh lebih indah dibandingan dengan eloknya negeri ini. Aku, di sini, membawa harapan dan impian yang sempat terkubur, akan ku bawa semua ini, melangkah, menjauh.

Ketika si pembawa pesan menjelma menjadi ‘Si Pengingat Kehidupan’ aku akan kembali menyapa pagi dengan memeluk harapan tentang indahnya pelangi di antara pesona Rintik Senja..

Inilah awal dari awal yang tak akan pernah berakhir..




Pagi yang cerah
Bandung, 05 November 2014
06.53 WIB


Read More




Jumat, 24 Oktober 2014

Karakter Tanpa Nama

#Ilusi



Biarkan semuanya berjalan sesuai alurnya, biarkan semuanya menjadi seimbang. Bukankah air selalu mengalir dari tempat yang lebih tinggi, menuju tempat yang lebih rendah? – Kecuali dipompa dengan mesin – Jika, sebuah kata yang kemudian terlontar ketika kita tidak yakin terhadap apa yang dijalani. Ini akan berbicara tentang siapa? Kemarin, aku mungkin bercerita tentang para wanita itu. Tapi, malam ini, sepertinya tak terbayang jika aku harus kembali menuliskan tentang mereka.

Ada kalanya kita akan berbicara mengenai hal lain, bukankah jika kita bercerita tentang sesuatu yang sama, kita akan mudah sekali merasa bosan? Mungkin aku akan menuliskan tentang seseorang, entah siapa, ini hanya terbesit saja, selintas. Tapi, bisa saja tentang diriku, atau – lagi – tentang mereka. Para tokoh yang selalu ku hidupkan dalam rangkaian kata, ku sentuh dengan jemari lemah, menari di batas cakrawala, bersandar di antara gelap dan terang.

Aku akan berkisah tentang lembah-lembah yang membentang indah. Yang selalu tertutup kabut dan sulit tertusuk jamahan mentari, lembab. Misteri, seperti seorang wanita yang memakai cadar. Tertutup rapat, menyisakan mata dan sedikit alis yang menggurat wajah. Tapi, dari guratan itu bisa terlihat keindahan di balik cadar itu, ada sejuta pesona yang tersimpan, rahasia.

Hanya sebentar, sejenak saat mentari mulai berdiri, beranjak dari tempat tak terlihat. Sebelah timur bumi ini. Hanya senejak bisa terasa hangatnya, belum hilang rasa dingin itu, kabut kembali menyapa, seperti enggan memperlihatkan kecantikan lembah-lembah yang terperosok ke dalam, tertutup oleh tebing curam dan pepohonan yang menjulang menjemput angkasa. Kembali terasa lembab, dingin.

Cadar itu hanya terbuka sesaat, sepersekian menit. Bahkan, sesekali putaran jarum jam tak memberi kesempatan kepada mentari untuk menyapa lembah-lembah itu. Aku kembali terpekur, menahan dingin yang tak kunjung enyah. Kembali menyerang, dingin.

….

Aku tak benar-benar dalam kondisi yang baik, tapi percayalah. Otakku masih berfungsi seperti biasa. Masih bisa membedakan rasa dingin dan hangat, masih bisa melihat ketika mata terbuka, masih bisa menghitung dengan rentangan jari dari kedua bilah lengan yan hanya berbungkus tulang, tanpa daging. Masih bisa mengenali suara tangis dan tawa, masih bisa merasakan indah dan kecewa. Aku tidak benar-benar buruk. – Aku baik-baik saja –


Pagi-pagi sekali, dia terjaga dari tidurnya. Terlalu pagi, mungkin baru beberapa saat seluruh organisasi yang dikomandoi oleh otak berhenti melakukan tugasnya. Sesaat, dia tersadar bahwa saat kumandang subuh pun belum berkumandang, ini terlalu pagi. Sial, sedikitpun tak bisa dia kembali pejamkan mata, tak bisa terlelap. Tidur.

Belum berakhir penderitaan itu, otak kembali merespon setiap kejadian. Ia mulai berontak, menimbulkan nyeri, yang berujung dengan pemberontakan dari bagian tervital organ itu. Kepalanya berdenyut. Awalnya perlahan, mencoba bertahan dari rasa yang dikeluarkan, tapi kembali berontak, menimbulkan rasa lebih nyeri, dua kali lipat dari sebelumnya.

Mengumpat. Tak berguna, karena neyeri itu tak jua reda. Mendengus kesal. Hanya itu yang bisa dilakukan. Setidaknya dia tidak berteriak, membangunkan orang-orang yang tertidur lelap, dengan selimut dan pelukan hangat dari isteri dan suaminya masing-masing, atau pelukan dari seorang pelacur malam yang mencari atap perlindungan malam ini. Hangat, penuh hasrat.

Dongeng itu, terdengar perlahan. Tentang perjalanan panjang, petualangan membelah lautan, menantang gelombang, bertahan dari hantaman badai, lalu bisa kembali mengarungi samudera yang lebih buas, tanpa batas. Atau tentang perjalanan mendaki, berjalan setapak demi setapak, menuju puncak. Ada ketegangan ketika berjalan di batas kehidupan, meniti tangga kematian, berjarak haya beberapa centimeter. Tak gentar. Ia tetap tegar, melangkah pelan.

Dongeng itu, seperti kaset yang kembali diputar, diulang kembali, habis, diputar kembali, habis, diputar lagi, berulang-ulang, berulang-ulang, hingga usang. Hingga rusak, tapi masih terdengar, tersendat. Dan itu lebih memekakan telinga. Itu lebih menyakitkan, dongeng dan harapan yang mulai rusak, tak ada cara untuk memperbaikinya, pilihannya hanya dua, menyimpannya dalam kotak dan menguncinya atau dibuang jauh-jauh. Miris.

Kepalanya masih sakit, bertambah pening kepala ketika terdengar desahan manja seseorang, bukan. Itu suara desahan sepasang kekasih, lelaki perempuan. Merintih pelan, mendayu-dayu seperti bisikan angin yang menerobos lubang-lubang jendela tak tertutup rapat. Rusak, berkarat.

Tapi lagi-lagi itu salah, itu hanya imajinasi, - atau fantasi, bisa saja halusinasi -  yang entah muncul dari mana. Sial, malam ini semakin dingin. Perlahan-lahan menggigit, seperti birahi sepasang kekasih, semakin lama semakin menjadi bergairah, angin bertiup dingin, semakin tak terkendali, kencang dan bertambah dingin.

Angin seperti bisikan birahi kepada siapa saja, tapi bukan padanya. Ia semakin tersiksa, tak ada selimut yang bisa menghangatkan, kecuali pelukan seorang wanita. Terperanjat, seperti tersengat ribuan voltase listrik yang mengalir sekali kejut. Ia sepenuhnya tersadar. Pulih seketika. Dan itu tidak baik, tidak benar-benar baik. Buruk!

Ia kembali mengumpat, berkelebat cepat. Sebuah wajah teduh, sayu. Dengan guratan alis yang menggambar wajah jelita itu, ditambah dengan senyum manis, bibir merah merekah, tatapan tajam, seperti mentari pagi yang menghujam melalui bilahan rentangan ranting-ranting di pekatnya hutan belantara.

Suaranya, merdu. Seperti gesekan dedauan yang dibelai manja angin ketika senja menyapa. Teduh, tanpa suara, senyap. Semua ingatan itu kembali menyapa dirinya, hanya sekilas, tapi jelas. Ia kembali mendengus kesal, tak ada gunanya mengingat itu. Tapi, otaknya seperti hanya bisa digunakan untuk memutar memori ini.

Masih dalam rentangan waktu yang sama, masih dalam satu waktu. Malam masih bersolek dengan pekat warna yang menggantung di sana. Menghitam, belum ada tanda-tanda mentari akan kembali merentangkan cahaya berwarna keemasan itu. Belum ada kehangatan di sela-sela malam yang semakin bergairah. Dengan siksaan kenangan. Dengan kesendirian, beku. Menyedihkan.


Sementara aku, kembali memikirkan. Siapa tokoh itu akan ku beri nama. Entah seperti apa akan ku lukiskan wajahnya. Keras, berwajah tegas, dengan guratan-guratan yang terlihat jelas di setiap sudut wajahnya. Atau dia aka ku gambarkan dengan polesan indah yang tergores di setiap jengkal wajah itu, berparas lembut, bermata teduh, dengan guratan halus yang tak terlihat penderitaan di sana. Entahlah. Aku masih belum memikirkan itu, tapi secepat itu melintas di pikiran, aku sudah menentukan akhirnya seperti apa. Akulah sang pencipta, akulah dalangnya, akulah sutradaranya dan akulah penguasa dari setiap cerita ini.





Bandung, 24 Oktober 2014
21.26 WIB
- Menanti seseorang -
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML