Jumat, 24 Oktober 2014

Karakter Tanpa Nama

#Ilusi



Biarkan semuanya berjalan sesuai alurnya, biarkan semuanya menjadi seimbang. Bukankah air selalu mengalir dari tempat yang lebih tinggi, menuju tempat yang lebih rendah? – Kecuali dipompa dengan mesin – Jika, sebuah kata yang kemudian terlontar ketika kita tidak yakin terhadap apa yang dijalani. Ini akan berbicara tentang siapa? Kemarin, aku mungkin bercerita tentang para wanita itu. Tapi, malam ini, sepertinya tak terbayang jika aku harus kembali menuliskan tentang mereka.

Ada kalanya kita akan berbicara mengenai hal lain, bukankah jika kita bercerita tentang sesuatu yang sama, kita akan mudah sekali merasa bosan? Mungkin aku akan menuliskan tentang seseorang, entah siapa, ini hanya terbesit saja, selintas. Tapi, bisa saja tentang diriku, atau – lagi – tentang mereka. Para tokoh yang selalu ku hidupkan dalam rangkaian kata, ku sentuh dengan jemari lemah, menari di batas cakrawala, bersandar di antara gelap dan terang.

Aku akan berkisah tentang lembah-lembah yang membentang indah. Yang selalu tertutup kabut dan sulit tertusuk jamahan mentari, lembab. Misteri, seperti seorang wanita yang memakai cadar. Tertutup rapat, menyisakan mata dan sedikit alis yang menggurat wajah. Tapi, dari guratan itu bisa terlihat keindahan di balik cadar itu, ada sejuta pesona yang tersimpan, rahasia.

Hanya sebentar, sejenak saat mentari mulai berdiri, beranjak dari tempat tak terlihat. Sebelah timur bumi ini. Hanya senejak bisa terasa hangatnya, belum hilang rasa dingin itu, kabut kembali menyapa, seperti enggan memperlihatkan kecantikan lembah-lembah yang terperosok ke dalam, tertutup oleh tebing curam dan pepohonan yang menjulang menjemput angkasa. Kembali terasa lembab, dingin.

Cadar itu hanya terbuka sesaat, sepersekian menit. Bahkan, sesekali putaran jarum jam tak memberi kesempatan kepada mentari untuk menyapa lembah-lembah itu. Aku kembali terpekur, menahan dingin yang tak kunjung enyah. Kembali menyerang, dingin.

….

Aku tak benar-benar dalam kondisi yang baik, tapi percayalah. Otakku masih berfungsi seperti biasa. Masih bisa membedakan rasa dingin dan hangat, masih bisa melihat ketika mata terbuka, masih bisa menghitung dengan rentangan jari dari kedua bilah lengan yan hanya berbungkus tulang, tanpa daging. Masih bisa mengenali suara tangis dan tawa, masih bisa merasakan indah dan kecewa. Aku tidak benar-benar buruk. – Aku baik-baik saja –


Pagi-pagi sekali, dia terjaga dari tidurnya. Terlalu pagi, mungkin baru beberapa saat seluruh organisasi yang dikomandoi oleh otak berhenti melakukan tugasnya. Sesaat, dia tersadar bahwa saat kumandang subuh pun belum berkumandang, ini terlalu pagi. Sial, sedikitpun tak bisa dia kembali pejamkan mata, tak bisa terlelap. Tidur.

Belum berakhir penderitaan itu, otak kembali merespon setiap kejadian. Ia mulai berontak, menimbulkan nyeri, yang berujung dengan pemberontakan dari bagian tervital organ itu. Kepalanya berdenyut. Awalnya perlahan, mencoba bertahan dari rasa yang dikeluarkan, tapi kembali berontak, menimbulkan rasa lebih nyeri, dua kali lipat dari sebelumnya.

Mengumpat. Tak berguna, karena neyeri itu tak jua reda. Mendengus kesal. Hanya itu yang bisa dilakukan. Setidaknya dia tidak berteriak, membangunkan orang-orang yang tertidur lelap, dengan selimut dan pelukan hangat dari isteri dan suaminya masing-masing, atau pelukan dari seorang pelacur malam yang mencari atap perlindungan malam ini. Hangat, penuh hasrat.

Dongeng itu, terdengar perlahan. Tentang perjalanan panjang, petualangan membelah lautan, menantang gelombang, bertahan dari hantaman badai, lalu bisa kembali mengarungi samudera yang lebih buas, tanpa batas. Atau tentang perjalanan mendaki, berjalan setapak demi setapak, menuju puncak. Ada ketegangan ketika berjalan di batas kehidupan, meniti tangga kematian, berjarak haya beberapa centimeter. Tak gentar. Ia tetap tegar, melangkah pelan.

Dongeng itu, seperti kaset yang kembali diputar, diulang kembali, habis, diputar kembali, habis, diputar lagi, berulang-ulang, berulang-ulang, hingga usang. Hingga rusak, tapi masih terdengar, tersendat. Dan itu lebih memekakan telinga. Itu lebih menyakitkan, dongeng dan harapan yang mulai rusak, tak ada cara untuk memperbaikinya, pilihannya hanya dua, menyimpannya dalam kotak dan menguncinya atau dibuang jauh-jauh. Miris.

Kepalanya masih sakit, bertambah pening kepala ketika terdengar desahan manja seseorang, bukan. Itu suara desahan sepasang kekasih, lelaki perempuan. Merintih pelan, mendayu-dayu seperti bisikan angin yang menerobos lubang-lubang jendela tak tertutup rapat. Rusak, berkarat.

Tapi lagi-lagi itu salah, itu hanya imajinasi, - atau fantasi, bisa saja halusinasi -  yang entah muncul dari mana. Sial, malam ini semakin dingin. Perlahan-lahan menggigit, seperti birahi sepasang kekasih, semakin lama semakin menjadi bergairah, angin bertiup dingin, semakin tak terkendali, kencang dan bertambah dingin.

Angin seperti bisikan birahi kepada siapa saja, tapi bukan padanya. Ia semakin tersiksa, tak ada selimut yang bisa menghangatkan, kecuali pelukan seorang wanita. Terperanjat, seperti tersengat ribuan voltase listrik yang mengalir sekali kejut. Ia sepenuhnya tersadar. Pulih seketika. Dan itu tidak baik, tidak benar-benar baik. Buruk!

Ia kembali mengumpat, berkelebat cepat. Sebuah wajah teduh, sayu. Dengan guratan alis yang menggambar wajah jelita itu, ditambah dengan senyum manis, bibir merah merekah, tatapan tajam, seperti mentari pagi yang menghujam melalui bilahan rentangan ranting-ranting di pekatnya hutan belantara.

Suaranya, merdu. Seperti gesekan dedauan yang dibelai manja angin ketika senja menyapa. Teduh, tanpa suara, senyap. Semua ingatan itu kembali menyapa dirinya, hanya sekilas, tapi jelas. Ia kembali mendengus kesal, tak ada gunanya mengingat itu. Tapi, otaknya seperti hanya bisa digunakan untuk memutar memori ini.

Masih dalam rentangan waktu yang sama, masih dalam satu waktu. Malam masih bersolek dengan pekat warna yang menggantung di sana. Menghitam, belum ada tanda-tanda mentari akan kembali merentangkan cahaya berwarna keemasan itu. Belum ada kehangatan di sela-sela malam yang semakin bergairah. Dengan siksaan kenangan. Dengan kesendirian, beku. Menyedihkan.


Sementara aku, kembali memikirkan. Siapa tokoh itu akan ku beri nama. Entah seperti apa akan ku lukiskan wajahnya. Keras, berwajah tegas, dengan guratan-guratan yang terlihat jelas di setiap sudut wajahnya. Atau dia aka ku gambarkan dengan polesan indah yang tergores di setiap jengkal wajah itu, berparas lembut, bermata teduh, dengan guratan halus yang tak terlihat penderitaan di sana. Entahlah. Aku masih belum memikirkan itu, tapi secepat itu melintas di pikiran, aku sudah menentukan akhirnya seperti apa. Akulah sang pencipta, akulah dalangnya, akulah sutradaranya dan akulah penguasa dari setiap cerita ini.





Bandung, 24 Oktober 2014
21.26 WIB
- Menanti seseorang -
Read More




Kamis, 23 Oktober 2014

Ini Bagian yang Terlupakan, Tentang Senja

#Rekonstruksi



Ini akan berbeda dari sebelumnya. Kembali, aku harus memutar otak. Merekonstruksi bagian-bagian yang tak lagi kokoh, seperti mendayung perahu di arus yang tenang, tanpa angin. Benar-benar tenang, tak beriak.

Beberapa catatan usang kembali terbuka, jurnal itu kembali terbuka dengan sendirinya. Dan entah kenapa, ketika corong-corong surau itu mengumandangkan adzan maghrib – Tepat setelah matahari menghujam ke bagian barat – aku mulai menuliskan tentang ini.

Lampu-lampu mulai menyala, menghiasi pekat yang semakin tak terlihat. Namun, selarik cahaya itu semakin banyak, bertebaran. Seperti jutaan kunang-kunang yang membelah malam. Sejenak mataku terkoneksi dengan otak, lalu masuk ke dalam hati, kembali memutar memori. Tentangnya.

Angin berdesau kencang, fisikku mulai ambruk. Sepertinya berhari-hari tak tidur dan cuaca mempengaruhi semuanya. Kepala mulai sedikit pusing, bersin-bersin dan seperti biasa, lambungku berontak. Masalah klasik.

Aku ingin kembali bercerita tentang senja yang merona, ingin kembali sejenak mengenangnya. Di antara hawa dingin malam, tanpa rembulan. Hanya ada awan kelabu, berserabut warna yang akan bertambah pekat. Hitam.

Pikirku kembali beranjak, dari satu putaran waktu, ke putaran waktu berikutnya. Berunut, beralur mundur. Beberapa waktu lalu, entah kapan tepatnya, aku tak begitu mengingatnya. Ada percakapan yang – bisa jadi – hanya menjadi sebuah permulaan, basa-basi. Namun, di sepertiga malam, aku begitu menginginkan dia menemaniku, dalam dekapan untaian kata dan sedikit tutur sapa.

Ada bentangan warna yang ku tawarkan kepadanya, aku pernah berujar: "Kau tahu? Ketika halilintar menggurat malam yang pekat dengan cahaya putih menyilaukan itu, di sanalah terlihat keindahannya (meskipun kau bilang itu menyeramkan), bukankah keindahan itu bisa berwarna apa saja? Merah, hijau, biru, oranye, terang, menyala, redup, gelap. Pekat.

Bahkan dengan dentingan suara jutaan air yang tumpah dari cakrawala itu, bisa tenangkan kita, dalam dingin dan pekatnya malam yang hening. Kita akan terlelap. Tidur..

"Selamat malam, kita tahu, indah tak melulu bercerita tentang warna cerah, kita akan segera sepakat, bahwa di antara warna kelabu akan ada keindahan yang tertera di dalamnya. Percayalah, Tuhan selalu A-D-I-L!"

Ini tetang senja, bisa saja tentang pekatnya malam, dan berharap ada purnama menghiasi angkasa. Atau aku juga berharap tentang hujan, bisa saja. Ada dalam setiap kenangan yang kemudia tertera di dalam secarik kertas usang. Tapi itu tidak benar-benar usang. Aku masih belum tahu arah tulisan ini. Ini hanya ada di dalam benakku saja, tentang kenangan senja yang terluka. Tentang hujan yang tak kunjung menyapa, tentang semuanya.

Waktu itu, pernah ku katakan kepadanya. Bahwa dalam satu kisah akan ada banyak lakon di dalamnya, akan ada banyak nada dalam satu simphoni. Tentang dia yang memelukmu ketika malam menjelang, sehabis acara makan malam. Atau lebih tepatnya, kencan. Kau berujar itu hanya sebatas teman, itu hanya sekilas tentang cerita yang tak pernah kau ucapkan, tapi aku sungguh tahu alurnya. Meski tak benar-benar akurat, setidaknya tebakanku masih benar adanya. Meski kau sedikit mengelak, masa bodoh. Aku tak perduli.

Mungkin aku akan kembali bercerita, ada banyak kisah yang akan ku tuliskan tentang senja. Tapi sepertinya aku harus menunda, ada urusan yang lebih penting, dari apapun di dunia ini. Tak bisa di tunda lagi. Dan ku putuskan, akan ku sudahi sampai di sini, tentang ini. Entah kapan akan ku tuliskan lagi tentang cerita yang sama, karena ada bagian dari cerita lain yang belum ku selesaikan, hanya untuk mengingatkan, aku masih bisa merasakan hangatnya semburat warna jingga yang perlahan menghujam ke jantung bumi, tenggelam di arah barat. Dan pekat, pekat menghiasi sisa cerita selanjutnya. Tanpa cahaya, hanya ada gelap. Tanpa warna.

Hanya beberapa menit sejak ku putuskan untuk mengakhiri kisah ini, tapi sejenak kemudian jemari dan hati enggann berhenti. Dan aku masih belum tahu, apa yang akan dituliskan. Setidaknya, ada bagian percakapan yang masih bisa ku rekam, beberapa malam lalu.

Ini semua tentang semburat jingga yang tak ku jumpai beberapa waktu, karena aku lebih memilih bercengkrama dengan pekatnya malam tanpa warna, hanya ada dingin dan sepi. Sendiri. Beberapa kali hujan turun, namun secepat itu pula mentari menghilangkan bekas-bekasnya, secepat angin berhembus, tak terlihat.

Di penghujung hari, ketika malam merangkak pelan. Menelan cahaya menyala sore tadi. Tak ada gemintang, terlebih cahaya bulan. Kosong. Tapi, setidaknya aku bisa bercerita meski tanpa warna. Bukankah beberapa waktu lalu aku mengajakmu untuk menyepakati satu warna yang akan berujung indah, dengan makna melebihi warna-warna terang benderang? Kita akan segera mengerti bahwa semuanya akan berakhir indah, ini berbicara tentang kuasa-Nya, tentang kehendak-Nya, bukan tentang keinginan kita. Apa yang akan kita ingkari tentang kuasa dan kehendak-Nya? Bukakah terlalu lancang jika kita terus bertanya, tentang sesuatu yang pasti terbaik menurut-Nya untuk kita? Terlalu bodohkah kita? Terlalu bebalkah kita? Bodoh, jika kita terus merutuki keadaan yang ada. Tolol jika kita terus menginginkan semuanya, sesuai dengan kehendak kita.

Tentang senja, tentang hujan, tentang rembulan, tentang si pembawa pesan, tentang bintang bernama orion atau tentang sang pujaan yang tak juga datang beranama rintik senja, dan itu semua ada di dalam satu rangkaian cerita dari sang pencipta, akulah si pembuat cerita, dan aku akan membubuhkan semua cerita itu dengan apa yang ku inginkan. Tidak ada satupun yang bisa melawan, karena semua itu hanya fiksi. Sebatas cerita tanpa makna, tapi setidaknya akan ada satu paragraf pesan tentang semua tulisan ini. Dan aku akan kembali membawa cerita tentang senja yang merona, senja yang memeluk mesra, tentang semburat warna jingga yang menikam malam.
Read More




Senin, 13 Oktober 2014

Selarik Kisah Tentang Hujan (Aku dan Wanitaku, Rintik Senja)

#Berai Terangkai
ilustrasi: keritingkecil.files.wordpress.com


Entah, berapa banyak sajak yang tercipta atas namanya. Mungkin ada ratusan, mungkin juga ribuan. Aku tak pernah menghitungnya. Sejak waktu itu, pernah beberapa kali aku berkisah tentang itu. Memberikan sentuhan dengan melodi terindah, sentuhan terlembut, berhembus pelan. Berjajar rapih, sesekali berserakan, sesekali berguguran, sesekali basah, sesekali luluh, sesekali berai, sesekali terkulai, sesekali berteriak, lantang, panjang, keras, membahana. Menggema.

Tapi, aku harus kembali mengunyah rasa pahit itu. Aku harus menelan semuanya, pada saat itu juga. Harus tandas, tak berbekas.

Tapi, apa dayaku? Aku sama seperti kalian, terkadang bisa begitu kuat, terkadang begitu superior, terkadang begitu ambisius, terkadang marah, terkadang terpesona, pernah jatuh cinta, pernah merasakan cinta, pernah merasa bahagia. Tapi apakah aku pernah terluka? Apa aku pernah kecewa? Apa aku pernah merasa nestapa? Apa aku pernah putus asa? Apa aku pernah… Entahlah, semua itu pernah ku rasakan juga, seperti yang ku katakan. Aku menelan semua itu, dalam satu waktu. Hingga rasa pahitnya enggan menghilang.

Ada selarik kata, tertulis dalam aksara seirama dengan lembayung senja. Ada kata-kata tanpa makna menghiasi diantara lirik dan barisan kata itu. Tadi, bulan itu tertutup bumi. Gerhana. Lamat-lamat terdengar takbir dari corong-corong masjid dan mushola, dan baru ku sadari setelah bertanya ada apa gerangan.

Aku seperti tak pernah bosan untuk kembali bercerita dalam balutan romansa, menari-nari bersama indahnya kenangan, kembali merangkak dalam rasa kepedihan, tersungkur dalam kesenjangan antara keinginan dan kenyataan, merobek kisah kelam, lalu menuliskannya kembali, lalu merobeknya lagi, kemudian ku lakukan berulang-ulang. Klise.
“Apa kabarmu?” tanyaku malam itu, ketika ku jemput kau di pinggir jalan. Dengan ransel dan balutan jilbab, aku lupa warnanya. Tapi masih ku ingat, itu tampak serasi.

Tersenyum, kemudian kau jawab:”Baik.” aku balas senyumanmu, ku buat lebih manis, berusaha mati-matian. Menahan rindu yang selalu menggebu.

Ini adalah pertama kalinya untukku, kembali bertatap muka setelah kau torehkan luka. Luka yang masih menganga, terasa sakit jika terbuka. Tapi, ku coba untuk tidak merasakannya. Rela.

“Sudah lama?” tanyaku memecah keheningan. Suasana masih ramai, suasana khas terminal. Terminal terbesar kedua di kota ini, baru saja terdengar suara adzan isya, jadi ku perkirakan waktu menunjukkan pukul tujuh malam, lebih beberapa menit.

“Lumayan.” jawabnya singkat, terlihat malu-malu menatapku.

Aku tak kalah gemetar, mencoba bersikap biasa. Mencoba berdamai dengan hati, mencoba menenangkan diri. Tapi tetap saja, jantungku berdebar lima kali lebih cepat dari biasanya. Ku berikan isyarat kepadanya, agar membonceng besi tua tungganganku. Vespa tahun 1965, lebih tua dari usiaku. Ekstotik, menawan. Semox namanya.

“Kita ke mana? Langsung pulang, atau mau makan?” tanyaku, berusaha mencairkan kebekuan.

“Terserah kakak.” jawabnya singkat. Ia masih sama, tak suka ditanya, tak suka diberikan pilihan.

“Kita makan dulu kalau begitu. Mau makan apa?” tanyaku. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan. Karena, lagi-lagi aku yang akan menentukan.

“Hmm,, makan daging sepertinya enak.” jawabnya dengan tawa itu, tawa yang sekian lama menghantuiku. Sudah ku tebak, makanan jenis itu akan menjadi jenis makanan pertama yang dipilihnya.

Bandung terasa sangat dingin, terminal Cicaheum. Pukul tujuh lebih, genangan air masih terlihat di beberapa sudut jalan. Baru saja hujan reda. Aku suka suasananya.

Vespa tua, berjalan pelan. Menembus hawa dingin, memecah keramaian, menyibak lalu lalang kendaraan, sesekali klakson terdengar dari pengguna jalan. Aku tak peduli. Masih ku nikmati malam ini, masih ku nikmati dingin ini. Aku terlalu senang untuk merasakan dingin yang menggigit.

Jelas, ini bukanlah kali pertama kami berjumpa. Dia, dulu wanitaku. Kini, entahlah. Setidaknya aku masih bisa berharap tentangnya. Ya, aku masih begitu menyayanginya. Tak peduli seberapa perih luka yang digoreskannya, tak peduli seberapa pahit kenyataan yang dituangkan ke dalam perasaan. Hatiku terlalu jujur jika harus membencinya.

Masih ramai, tak ada keheningan. Bahkan hatiku juga terdengar gaduh. Tak jelas apa iramanya. Tapi, terlalu berisik untuk bisa dijamah dengan perasaan. Ada selintas bahagia dan luka yang bercampur menjadi satu. Tapi, ku putuskan, aku bisa kembali merasakan dingin dan dari ujung kaki, melalui pori-pori jari, merambat pelan ke antara kaki, pelan menjalar ke tubuh, kemudian menyebar ke kepala, dicerna, kemudian hati bisa merasakan itu, perlahan.

Sekilas ku tatap matanya, aku masih belum bisa menilainya, karena aku tak tahan berlama-lama menatap bagian itu. Terlalu dahsyat, menghujam. Pelan-pelan, mampu hilangkan kosa kata dalam rangkaian prosa yang telah ku kumpulkan dari tumpukan novel yang ku baca. Aksaranya menjadi kabur, abstrak.

Malam beranjak pelan, sengaja ku buat pelan laju si besi tua ini. Ingin lebih lama menghabiskan waktu dengannya, meski pertemuan ini mungkin terlihat canggung. Tapi, aku bisa kembali merasakan, tak akan lama ini mencair, mungkin lima menit, satu jam, satu hari, satu bulan, satu tahun, entah. Satu hal yang selalu ku yakini, ini akan membaik.
Beberapa bulan lalu, kejadiannya terjadi begitu saja. Ketika malam beranjak pelan, langit menghitam pekat, lebih gelap dari apapun. Untuk kesekian kali, aku harus merasakan keheningan menjadi lebih dari sekedar sepi. Ketika malam tercabik melalui kenangan terperih, rintihan dari sebuah hati yang terlihat begitu kuat itu akhirnya luluh.

Sunyi ini begitu mencekam, semangatku berantakan, porak-poranda. Berserakan, tercabik menjadi bagian-bagian kecil tak terlihat. Luruh, hancur.

Aku tak terlalu kuat ketika berhadapan dengan hal yang berhubungan dengan rasa. Ini bukan tentang berjalan diantara tebing curam, lebih dari sekedar mendaki gunung. Lebih dari sekedar mengarungi jeram dan memanjat tebing, ini lebih pekat daripada berjalan menyusuri goa, ini lebih panjang daripada berjalan menyusuri garis pantai di bagian selatan bumi nusantara. Ini lebih panas dari sekedar siang musim kemarau, ini lebih kering daripada suhu di gurun gersang, ini lebih dingin daripada suhu di bagian kutub bumi.

Aku takluk di hadapan sebuah rasa, aku tak begitu menyukainya. Percayalah, bertahun-tahun belakangan ini, aku ditempa dengan situasi yang tak begitu indah. Serangkaian kehilangan silih berganti menyambangiku. Rasa kehilangan yang menyebabkan kepada sebuah penyesalah, dan kali ini, ketika ku katakan dalam hati tenang janji itu, aku enggan untuk kesekian kalinya kehilangan.

Tapi apa daya, Jemari Tuhan terlalu kuat untuk di lawan. Tak berdaya, hanya bisa mencoba belajar menerima. Rela.

Pernah ku dengar sebuah ungkapan dari salah seorang sahabat nabiku. “Jika aku berdoa dan Allah mengabulkannya, maka aku akan bahagia. Tapi jika aku berdoa dan Allah tak mengabulkannya, maka aku lebih gembira. Karena yang pertama adalah keinginanku, sedangkan yang kedua adalah keinginan-Nya” sepertinya ungkapan sahabat nabiku itu terlalu berat untuk segera ku maknai, batasku belum mencapai ke arah itu. Keinginanku lebih kuat daripada memaknai kehendak-nya. Aku kembali terkulai, lemas. Nelangsa.

Butuh lebih dari satu pekan untuk mengembalikan semuanya, lebih dari sebulan untukku memahami situasinya, dan beranjak satu semester untukku bisa benar-benar mengerti apa yang terjadi, sampai akhirnya kata rela itu tercipta, tapi masih ada rasa yang tersisa. Masih ada harapan yang menyala, hingga akhirnya kini aku menjadi si pembuat cerita. Menjadi pengkhayal yang selalu dipenuhi dengan fiksi, aku adalah pelaku, aku adalah penulis dan aku adalah sutradaranya. Aku si pengendali kisah.
….


Jemariku, perlahan bergerak mengikuti bisikan hati. Perlahan, mencari jemarinya yang memegang erat kemeja andalanku. Planel kotak-kotak warna biru. Masih terasa dingin, tapi terasa bisa menghangatkan suasana. Kembali, romansa itu mengalir pelan. Memasuki setiap celah dari hati yang sempat terluka, menyembuhkan kegetiran yang berujung duka. Malam hari, di penghujung bulan Juni, hujan turun sejak sore, Rintik Senja kembali bercerita. Dan inilah awalnya..
Read More




Kamis, 09 Oktober 2014

Selarik Kisah Tentang Hujan (Aku dan Wanitaku, Rintik Senja)

#Berai Terangkai





Entah, berapa banyak sajak yang tercipta atas namanya. Mungkin ada ratusan, mungkin juga ribuan. Aku tak pernah menghitungnya. Sejak waktu itu, pernah beberapa kali aku berkisah tentang itu. Memberikan sentuhan dengan melodi terindah, sentuhan terlembut, berhembus pelan. Berjajar rapih, sesekali berserakan, sesekali berguguran, sesekali basah, sesekali luluh, sesekali berai, sesekali terkulai, sesekali berteriak, lantang, panjang, keras, membahana. Menggema.

Tapi, aku harus kembali mengunyah rasa pahit itu. Aku harus menelan semuanya, pada saat itu juga. Harus tandas, tak berbekas.

Tapi, apa dayaku? Aku sama seperti kalian, terkadang bisa begitu kuat, terkadang begitu superior, terkadang begitu ambisius, terkadang marah, terkadang terpesona, pernah jatuh cinta, pernah merasakan cinta, pernah merasa bahagia. Tapi apakah aku pernah terluka? Apa aku pernah kecewa? Apa aku pernah merasa nestapa? Apa aku pernah putus asa? Apa aku pernah… Entahlah, semua itu pernah ku rasakan juga, seperti yang ku katakan. Aku menelan semua itu, dalam satu waktu. Hingga rasa pahitnya enggan menghilang.

Ada selarik kata, tertulis dalam aksara seirama dengan lembayung senja. Ada kata-kata tanpa makna menghiasi diantara lirik dan barisan kata itu. Tadi, bulan itu tertutup bumi. Gerhana. Lamat-lamat terdengar takbir dari corong-corong masjid dan mushola, dan baru ku sadari setelah bertanya ada apa gerangan.

Aku seperti tak pernah bosan untuk kembali bercerita dalam balutan romansa, menari-nari bersama indahnya kenangan, kembali merangkak dalam rasa kepedihan, tersungkur dalam kesenjangan antara keinginan dan kenyataan, merobek kisah kelam, lalu menuliskannya kembali, lalu merobeknya lagi, kemudian ku lakukan berulang-ulang. Klise.
“Apa kabarmu?” tanyaku malam itu, ketika ku jemput kau di pinggir jalan. Dengan ransel dan balutan jilbab, aku lupa warnanya. Tapi masih ku ingat, itu tampak serasi.

Tersenyum, kemudian kau jawab:”Baik.” aku balas senyumanmu, ku buat lebih manis, berusaha mati-matian. Menahan rindu yang selalu menggebu.

Ini adalah pertama kalinya untukku, kembali bertatap muka setelah kau torehkan luka. Luka yang masih menganga, terasa sakit jika terbuka. Tapi, ku coba untuk tidak merasakannya. Rela.

“Sudah lama?” tanyaku memecah keheningan. Suasana masih ramai, suasana khas terminal. Terminal terbesar kedua di kota ini, baru saja terdengar suara adzan isya, jadi ku perkirakan waktu menunjukkan pukul tujuh malam, lebih beberapa menit.

“Lumayan.” jawabnya singkat, terlihat malu-malu menatapku.

Aku tak kalah gemetar, mencoba bersikap biasa. Mencoba berdamai dengan hati, mencoba menenangkan diri. Tapi tetap saja, jantungku berdebar lima kali lebih cepat dari biasanya. Ku berikan isyarat kepadanya, agar membonceng besi tua tungganganku. Vespa tahun 1965, lebih tua dari usiaku. Ekstotik, menawan. Semox namanya.

“Kita ke mana? Langsung pulang, atau mau makan?” tanyaku, berusaha mencairkan kebekuan.

“Terserah kakak.” jawabnya singkat. Ia masih sama, tak suka ditanya, tak suka diberikan pilihan.

“Kita makan dulu kalau begitu. Mau makan apa?” tanyaku. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan. Karena, lagi-lagi aku yang akan menentukan.

“Hmm,, makan daging sepertinya enak.” jawabnya dengan tawa itu, tawa yang sekian lama menghantuiku. Sudah ku tebak, makanan jenis itu akan menjadi jenis makanan pertama yang dipilihnya.

Segera ku pilih tempat makan favoritku. Ku hentikan laju scooter tua ini di depan sebuah kedai yang menyediakan berbagai makanan khas jawa. Dari daftar menu tertera berbagai jenis olahan daging.

“ Di sini aja, mau?” tanyaku

“Boleh. tapi sepertinya penuh.” ia menunjuk ke dalam, sementara aku masih berusaha memarkirkan kendaraan yang susah menyelinap di sela-sela kendaraan roda dua yang lebih ramping. Aku melihat ke dalam, penuh ternyata.

“Hmm, apa kita cari tempat makan yang lain?” jawabku menawarkan. Ia melirik ke arloji di tangan kanannya.

“Sepertinya kita pulang, sudah malam. Lagipula aku tadi janji sama mama, langsung pulang.” jawabnya, berusaha menolak ajakanku sehalus mungkin agar tak membuatku kecewa.

“Oke, kita pulang.” jawabku dengan senyum.

“Yuk, naik.” ia bergegas membonceng di belakang. Tak berapa lama, kembali kami berjalan diantara lalu lintas malam yang masih ramai.

Bandung terasa sangat dingin, terminal Cicaheum. Pukul tujuh lebih, genangan air masih terlihat di beberapa sudut jalan. Baru saja hujan reda. Aku suka suasananya.

Vespa tua, berjalan pelan. Menembus hawa dingin, memecah keramaian, menyibak lalu lalang kendaraan, sesekali klakson terdengar dari pengguna jalan. Aku tak peduli. Masih ku nikmati malam ini, masih ku nikmati dingin ini. Aku terlalu senang untuk merasakan dingin yang menggigit.

Jelas, ini bukanlah kali pertama kami berjumpa. Dia, dulu wanitaku. Kini, entahlah. Setidaknya aku masih bisa berharap tentangnya. Ya, aku masih begitu menyayanginya. Tak peduli seberapa perih luka yang digoreskannya, tak peduli seberapa pahit kenyataan yang dituangkan ke dalam perasaan. Hatiku terlalu jujur jika harus membencinya.

Masih ramai, tak ada keheningan. Bahkan hatiku juga terdengar gaduh. Tak jelas apa iramanya. Tapi, terlalu berisik untuk bisa dijamah dengan perasaan. Ada selintas bahagia dan luka yang bercampur menjadi satu. Tapi, ku putuskan, aku bisa kembali merasakan dingin dan dari ujung kaki, melalui pori-pori jari, merambat pelan ke antara kaki, pelan menjalar ke tubuh, kemudian menyebar ke kepala, dicerna, kemudian hati bisa merasakan itu, perlahan.

Sekilas ku tatap matanya, aku masih belum bisa menilainya, karena aku tak tahan berlama-lama menatap bagian itu. Terlalu dahsyat, menghujam. Pelan-pelan, mampu hilangkan kosa kata dalam rangkaian prosa yang telah ku kumpulkan dari tumpukan novel yang ku baca. Aksaranya menjadi kabur, abstrak.

Malam beranjak pelan, sengaja ku buat pelan laju si besi tua ini. Ingin lebih lama menghabiskan waktu dengannya, meski pertemuan ini mungkin terlihat canggung. Tapi, aku bisa kembali merasakan, tak akan lama ini mencair, mungkin lima menit, satu jam, satu hari, satu bulan, satu tahun, entah. Satu hal yang selalu ku yakini, ini akan membaik.
Beberapa bulan lalu, kejadiannya terjadi begitu saja. Ketika malam beranjak pelan, langit menghitam pekat, lebih gelap dari apapun. Untuk kesekian kali, aku harus merasakan keheningan menjadi lebih dari sekedar sepi. Ketika malam tercabik melalui kenangan terperih, rintihan dari sebuah hati yang terlihat begitu kuat itu akhirnya luluh.

Sunyi ini begitu mencekam, semangatku berantakan, porak-poranda. Berserakan, tercabik menjadi bagian-bagian kecil tak terlihat. Luruh, hancur.

Aku tak terlalu kuat ketika berhadapan dengan hal yang berhubungan dengan rasa. Ini bukan tentang berjalan diantara tebing curam, lebih dari sekedar mendaki gunung. Lebih dari sekedar mengarungi jeram dan memanjat tebing, ini lebih pekat daripada berjalan menyusuri goa, ini lebih panjang daripada berjalan menyusuri garis pantai di bagian selatan bumi nusantara. Ini lebih panas dari sekedar siang musim kemarau, ini lebih kering daripada suhu di gurun gersang, ini lebih dingin daripada suhu di bagian kutub bumi.

Aku takluk di hadapan sebuah rasa, aku tak begitu menyukainya. Percayalah, bertahun-tahun belakangan ini, aku ditempa dengan situasi yang tak begitu indah. Serangkaian kehilangan silih berganti menyambangiku. Rasa kehilangan yang menyebabkan kepada sebuah penyesalah, dan kali ini, ketika ku katakan dalam hati tenang janji itu, aku enggan untuk kesekian kalinya kehilangan.

Tapi apa daya, Jemari Tuhan terlalu kuat untuk di lawan. Tak berdaya, hanya bisa mencoba belajar menerima. Rela.

Pernah ku dengar sebuah ungkapan dari salah seorang sahabat nabiku. “Jika aku berdoa dan Allah mengabulkannya, maka aku akan bahagia. Tapi jika aku berdoa dan Allah tak mengabulkannya, maka aku lebih gembira. Karena yang pertama adalah keinginanku, sedangkan yang kedua adalah keinginan-Nya” sepertinya ungkapan sahabat nabiku itu terlalu berat untuk segera ku maknai, batasku belum mencapai ke arah itu. Keinginanku lebih kuat daripada memaknai kehendak-nya. Aku kembali terkulai, lemas. Nelangsa.

Butuh lebih dari satu pekan untuk mengembalikan semuanya, lebih dari sebulan untukku memahami situasinya, dan beranjak satu semester untukku bisa benar-benar mengerti apa yang terjadi, sampai akhirnya kata rela itu tercipta, tapi masih ada rasa yang tersisa. Masih ada harapan yang menyala, hingga akhirnya kini aku menjadi si pembuat cerita. Menjadi pengkhayal yang selalu dipenuhi dengan fiksi, aku adalah pelaku, aku adalah penulis dan aku adalah sutradaranya. Aku si pengendali kisah.
….

Jemariku, perlahan bergerak mengikuti bisikan hati. Perlahan, mencari jemarinya yang memegang erat kemeja andalanku. Planel kotak-kotak warna biru. Masih terasa dingin, tapi terasa bisa menghangatkan suasana. Kembali, romansa itu mengalir pelan. Memasuki setiap celah dari hati yang sempat terluka, menyembuhkan kegetiran yang berujung duka. Malam hari, di penghujung bulan Juni, hujan turun sejak sore, Rintik Senja kembali bercerita. Dan inilah awalnya..
Read More




Rabu, 01 Oktober 2014

Resonansi (Cerita Tentang Wanitaku, Rintik Senja)

#Bagian 1


Mentari kembali menyapa.
Kesadaranku masih belum benar-benar pulih ketika mentari mulai meninggi, sinar hangatnya mulai memeluk semesta. Keheningan yang sedari subuh terjaga, kini mulai terlihat ramai seketika.

Terdengar kicau burung kacamata mencicit perlahan, bercengkrama berpasang-pasangan, hinggap dari satu dahan ke dahan berikutnya, menggoyang-goyangkan dedaunan yang terlihat hijau. Bulir sisa embun yang mencair perlahan menetes, kilauannya terlihat seperti berlian ketika tertampar sinar mentari pagi. Udaranya masih terasa begitu segar, suasananya masih begitu asri, jika dilihat dari sini.

Sementara di tempat yang tidak begitu jauh, ada beberapa kupu-kupu berwarna dominan hitam dengan corak kuning dan biru muda hinggap dari satu tangkai bunga rumput ke bunga lainnya, begitu juga dengan kumbang yang masih asyik hinggap dari satu tangkai bunga ke tangkai bunga lainnya, dan jika mendekat, kita akan mendengar suara dengung dari sayapnya. Mereka sedang mengerjakan proses pembenihan alami, yang agak sulit ku mengerti, tetepi itulah harmoni. Mengalir perlahan, mengalun tenang, memberikan makna tentang keserasian dan keseimbangan.

Sepetak tanah halaman belakang tempat ini, menjadi satu-satunya pemandangan alami. Menjadi satu-satunya pemandangan yang berbeda. Masih ada ilalang, rumput liar, binatang melata dan berbagai serangga yang menggantungkan hidupnya dari sepetak tanah yang tak terpakai. Terkepung oleh tingginya gedung dan rapatnya perumahan warga kampung. Sepetak tanah ini juga menjadi lahan bermain bagi sebagian orang, dan aku adalah salah satu orang yang menggunakan sepetak tanah kosong tak terpakai ini menjadi tempat bermain.

Baru satu jam lalu aku memejamkan mata, mencoba berdamai dengan warna gelap malam. Mencoba merasakan pelukan dingin yang menenangkan di antara warna pekatnya. Tapi, seperti hari-hari yang lalu di tempat ini, atau lebih tepatnya rutinitas yang ku lakukan beberapa tahun lalu bersama rekan dan sahabat. Sebuah ritual yang wajib dilakukan untuk menyambut mentari dan mahasiswi. 

Dan kami pun mulai beraksi, tebar pesona ala anak Mapala yang punya segunung pesona, saatnya melebarkan sayap!. Tapi sayang, kebanyakan dari kami masih saja tetap sendiri, jomblo dari bayi, dan itu takdir yang harus disyukuri. Alhamdulillah ya Rabb, setidaknya hamba-hambamu ini masih bisa menyaksikan keindahan ciptaanmu dari seberang sini, meski harus dibatasi jendela dan gedung tinggi. Mengenaskan!

Lalu, kami akan berjejer rapih, membuka baju dan membelakangi jendela kelas, dengan rambut yang menjuntai panjang sepinggang. Sekilas dari kejauhan, kami terlihat cantik, terlebih rambut ikalku yang jika panjang tampak menggemaskan (kata sebagian orang).

Dan kini aku merasa rindu saat-saat itu. Maka ku putuskan sejenak untuk menikmati belaian lembut angin gunung dan pelukan hangat mentari pagi, hanya saja kini rambutku tak sepanjang waktu itu.

Sementara hangatnya mentari pagi mulai pulihkan kesadaranku, aku mencoba menghubungkan kisah menjadi sebuah cerita yang bisa dibaca. Mencoba meracik dengan berbagai gaya bahasa, alur yang berbeda, mencoba membuatnya menjadi indah. Ku tarik kejadian dari kemarin menjadi satu garis yang akan ku tuangkan ke dalam sebuah cerita. Mungkin akan ku buat fiksi, atau mungkin juga akan ku rangkai dengan realitanya. Bagiku, baik fiksi atau nyata tak jauh berbeda, keduanya tetap indah, setidaknya aku masih bisa menggunakan keduanya di dalam setiap kisah yang ku tulis.

Beberapa hari yang lalu, penantianku terjawab dengan begitu indah. Tak ada yang lebih indah selain mendapatkan apa yang diinginkan bukan? Meski terkadang apa yang diinginkan belum tentu baik, tapi setidaknya itu bisa menjadi pelipur rasa rindu yang menggebu, dan dengan itu aku bisa menghibur diri, melalui coretan-coreatan di layar monitor ini dengan menggunakan berbagai kosa kata dan gaya bahasa.

Aku hampir lupa dengan rengekan manja itu, aku hampir lupa dengan cerita indah yang sempat tersambung menjadi sebuah alur nyata dalam bagian hidup di dunia. Tapi, aku tak pernah lupa untuk selalu menuliskan kata-kata yang ku anggap indah itu, pada setiap pesan yang ku tinggalkan melalui email atau pesan di jejaring sosial. Masa bodoh tentang jawaban, tapi ku tahu, dia membacanya. Dan aku begitu yakin dia akan menyukainya.

Sesaat anganku kembali mencoba menggali sisa-sisa memori yang sempat teralihkan oleh rutinitas, sejengkal demi sejengkal aku memasuki kenangan itu, mengais dari sisa-sisa puing yang sempat berserakan beberapa waktu lalu, mencoba kembali mencari-cari bagian yang hilang, dan berusaha menyusun kembali rangkaian rantai kenangan itu, mencoba membangun jembatan dari masa sekarang ke masa lalu melalui ingatan.

Masih ada senyum itu menyapa, masih ada rengekan manja itu menggoda, masih ada rasa hangat peluknya ketika senja menyapa, masih terasa kuat jemarinya mencengkram ketika hujan mulai turun. Dan semua itu kembali ku temukan dalam tumpukan kenangan masa silam, yang perlahan mulai kembali jelas terlihat, kembali jelas teringat.

Aku akan bercerita tentangnya, dia akan selalu menjadi wanitaku, setidaknya untuk saat ini, karena aku tak tahu di kemudian hari apakah kisah dan rasanya masih sama, lalu harapanku menyeruak ke luar, menembus sisa-sisa kabut yang masih memeluk pegunungan di depanku, tipis, syahdu, mempesona, indah. Dan aku berharap akan selalu seperti itu untuk kisah-kisah selanjutnya, tentang kekagumanku dengan pesona jingga warna senja yang menggoda, serta damainya rintik hujan yang menyapa diantara hawa dingin. Ku ceritakan tentang dia, Rintik Senja.

Sekilas ku gambarkan tentang rupanya. Ia memiliki alis yang begitu menawan, aku selalu suka menyentuhnya, membelainya, itu hanya ku lakukan ketika ia tidur. Sebab, ia akan langsung memajukan bibirnya sampai lima centimeter jika ku lakukan ketika ia sedang sadar, pertanda protes karena ia tidak suka itu. Dan ia akan berteriak:"Kakakkk!! Udah!." dan seperti kataku, bibirnya bisa dikepang jika sudah seperti itu.

Bibirnya agak sedikit tebal, jika kau pernah lihat aktris Hollywood yang memerankan peran penting dalam setiap filmnya, dan menjadi idola bagi kaum pria. Nah ku katakan kepadamu, ya aktris itu Angelia Jolie. Ku katakan dia miliki bibir sepertinya, sexy kataku, tapi dia selalu menganggap itu hal yang aneh. Tapi benar, aku suka itu, terlebih hidungnya yang mungil dan mancung, aku lebih suka lagi. 

Tatapan matanya, aku agak sedikit bergidik jika melihatnya. Tak pernah mampu menatapnya lebih dari lima detik, ia memiliki tatapan mata yang tajam, menggoda bahkan, ia bisa membutakan mata setiap lelaki, oleh karena itu aku enggan menatapnya berlama-lama. 

Namun, terkadang dari tatapannya, ada seberkas semburat kepedihan di antara sorotan mata bahagia dan cerianya. Ada kelembutan seorang wanita di balik semua itu, tatapan tajam itu hanyalah sebuah kamuflase untuk menutupi sesuatu yang tidak ingin terlihat, tetapi aku selalu bisa melihat dari sisi yang berbeda mengenai itu. 

Ini semua bukan tentang fisik. Cantik, semua wanita ku rasa cantik, dan itu benar adanya, dan dia adalah salah satu wanita yang bisa memikatku, tidak hanya dengan parasnya. Ada banyak hal yang bisa membuatku tertarik dengannya, dan kebanyakan adalah semua perbedaan itu.

Jika berbicara usia, mungkin usia kita hanya terpaut satu tahun, tingginya mungkin 155cm, aku selalu suka ketika ia kenakan kerudung itu, ia terlihat lebih anggun dari siapapun (kecuali ibu dan kakak perempuanku). Dia aneh, terkadang melakukan hal-hal konyol, tanpa sebab ia akan teriak-teriak seperti orang kesurupan, atau dia akan melakukan salto, jungkir balik tanpa sebab. Dan aku hanya bisa menatapnya tak mengerti, bengong.

Ia selalu energik, gaya berjalannya seperti lelaki, mungkin itu menjadi kebiasaan yang sulit dihilangkan, dia dulu begitu terobsesi ingin menjadi seorang tentara seperti mendiang ayahnya, dan akhirnya dia melakukan aktivitas selayaknya tentara, jogging, push up, pull up, de-el-el, dan sepertinya dia gagal setelah melakukan serangkaian tes yang melelahkan. Ku tebak, ia gagal karena kurang tinggi!. Atau karena giginya kurang rapih? Ah, entahlah, dan aku bersyukur dia tidak menjadi tentara, karena jika ia tentara tentu aku tak akan pernah bertemu dengannya.

Rutinitas yang dulu dilakukannya ketika ingin menjadi tentara tidak berbekas, dia jarang melakukan aktivitas fisik, dan itulah yang terjadi. Kalian bisa tebak, ketika seorang wanita yang punya hobi tidur setelah makan dan ngemil. Yap, kalian tepat! Benar sekali, dan jangan diperbuas (dibesar-besarkan).

Dan terkadang aku hanya bisa tertawa melihat tingkah polahnya, dia terkadang ikut bernyanyi dan menari mengikuti iklan di televisi, atau dia mungkin sesekali dan (mungkin) sering nyanyi lagu dangdut koplo yang terkadang tidak jelas lirik dan maksud yang ingin di sampaikan oleh si penyanyi dan pengarang lagu itu,  dan untuk kesekian kalinya, aku masih menggeleng tak mengerti.

Selera musiknya begitu berbeda denganku, aku tergolong jenis manusia yang menyukai semua jenis musik, mulai dari rock, classic, blues, jazz, pop, reagge, musik instrument, dan dangdut sekalipun ku lahap. Tapi, kita masih belum menemukan frekuensi yang sama mengenai itu, meski ku akui, terkadang dia menjadi suka dan ingin memutar lagu-lagu yang ku pilih itu, tapi tetap saja, dominasi dia terlalu kuat mengenai hal tersebut.

Dan ku beritahu seseuatu, dia akan langsung mengernyitkan dahi ketika ku putar lagu-lagu itu, dia bilang: "Kakk, aku gak ngerti, ganti yah?" pintanya dengan nada manja, tapi sepertinya dia lebih sering menggunakan gaya bahasa mengancam. Terlebih jika yang ku putar adalah lagu barat, dia kemudian akan protes dan langsung mengganti dengan musik kesukaannya, dulu dia sering memutar lagi grup band lokal, yang entah nama band-nya, aku tak terlalu paham.

Membaca, dia kurang tertarik akan hal itu. Dia hanya akan membaca dan menjadi suka ketika ku tuliskan cerita tentangnya, hanya itu yang ia sukai mengenai membaca, dan aku akan selalu melakukan untuknya. Ada banyak hal yang berbeda dari aku dan wanitaku ini, tapi aku menyukainya, perbedaan itu yang membuatku begitu membutuhkannya, setidaknya hingga saat ini aku masih membutuhkan kehadirannya, menginspirasi dari setiap tulisan yang ku buat.

Dan ku rasa akhir-akhir ini ia merasa cemburu (mungkin), karena aku menuliskan kisah yang bukan tentangnya, dan ia menuntut untuk dibuatkan cerita saingan si pembawa pesan yang sempat ku tuliskan dari inspirasi dari seorang sahabat baru, begitu konyol. Bahkan, beberapa waktu lalu aku menyusun naskah sekitar 150 halaman, di mana 90 persen cerita itu menceritakannya, dan ia tidak sadar akan hal itu. Ya Rabb, berilah ketegaran untuk hambamu yang lemah ini.



Dan sekarang, aku akan memulai menuliskan tentangnya, ia yang selalu menjadi bahan tulisanku, kembali menjadi tokoh utama dalam setiap lembar jurnal baru ini, dan inilah kisah untuknya, ini cerita tentang wanitaku..
....
Read More




Selasa, 23 September 2014

Bukan Kisahku, Tapi Kisahnya (Si Pembawa Pesan, Bagian 2)

#Bingkai Kenangan  



Aku masih tak ingat jelas kapan persis waktunya, karena waktu itu aku hanya seorang bocah, bocah yang terlalu polos untuk mengerti ini semua.

Namun, ku putuskan juga kapan tepatnya waktu itu, meskipun tidak terlalu tepat. Tapi, setidaknya aku sudah mencoba untuk mengingat sedetail mungkin peristiwa itu, kau tahu, aku bukanlah seseorang yang yang di  anugerahi ingatan kuat, tapi aku tak akan pernah melupakan kejadian itu. Kira-kira Sembilan tahun lalu, ada seseorang yang memberikan ucapan di hari ulang tahunku, waktu itu salah seorang temanku memberikan sebuah hadiah, sebuah hadiah dari kayu, mainan atau sejenis liontin. Dan aku begitu bahagia, lebih tepatnya aku sangat gembira.

Kau tahu, kejadian itu begitu cepat berlalu, bertahun-tahun seseorang itu bak ditelan bumi, hilang. Tapi kau paham kan? Hingga sekarang aku masih mengingat kejadian itu, terangkai dalam satu frame kenangan masa silam.

Ku tuliskan ini untuk seseorang, atau lebih tepatnya kepadamu, ku perjelas agar kau memahami dan mengerti, bahwa yang ku tulis ini adalah untukmu.

Beberapa waktu lalu, sempat ku tuliskan naskah berbeda tentang hal ini, di mana aku bercerita tentang ruangan yang di huni oleh beberapa orang yang silih berganti datang dan menghilang. 

Kau tahu, ada satu tempat yang tidak pernah terisi orang lain, dan hingga ku putusakan untuk mengusirmu, aku terkadang masih merindukan saat-saat di mana fantasiku selalu bersamamu, di mana aku bisa bercengkrama dalam diam, melintasi ribuan kilometer jarak yang membentang dari barat hingga timur, atau dalam putaran waktu dalam satu hari.

Kau tahu? Aku merubah naskah ini hanya satu malam, tapi apakah kau tahu? Aku perlu Sembilan tahun untuk menentukan memulai kisah ini, di lembaran kertas kosong pada jurnal baru ini? Tapi, ku harap. Kau tak tahu itu. Karena aku tak ingin membuatmu terusik, itu saja.

Pagi ini, masih seperti beberapa hari yang lalu. Masih di bulan September, hawa pagi semakin dingin, angin berhembus kencang, semetara ia berbisik dalam keramaian, aku merasa benar-benar hidup. Bukan karena ku putuskan untuk melupakanmu, atau mengusirmu dari ingatan dan hatiku, tapi aku merasa hidup karena aku memiliki harapan. Harapan tentang hari-hari yang indah, ku yakin semua orang menginginkan itu, dan aku menajadi salah seorang yang selalu menantikan hari-hari indah itu.

Tak peduli berapa lama penantianku ini, yang ku tahu. Aku begitu tenang menjalani hari-hari setelah ini. Aku masih seperti yang kau kenal, hanya saja mungkin fisikku berubah kini. Dulu kau hanya mengenal gadis kecil, yang mungkin kau sudah lupa tampangku waktu itu. Kau mungkin lupa, dengan tawa riangku, dengan binar mataku, dengan renyah celotehku. Aku tak berubah sama sekali, aku masih menjadi wanita yang sama, hanya saja usia membuatku sedikit lebih matang.


Tak apa, kau tak mengenangku menjadi salah satu bagian dalam fase hidupmu. Aku tak menuntut lebih. Karena aku sadar posisi dan situasi, aku cukup tahu diri. Tak usah kau perjelas kondisinya, aku sudah cukup untuk berpikir dewasa. Dan aku akan selalu berusaha. Percayalah, aku lebih kuat dari yang terlihat.

Aku memang selalu bertindak konyol, beberapa tahun lalu kutemukan dia, melalui jejaring sosial, dan ku tahu ia menjadi salah satu mahasiswa di salah satu Universitas ternama di kota ini. ku beri tahu kau salah satu kekonyolanku, aku selalu melintasi jalan yang sama, jalan di mana kampusnya berada, dan berharap bertemu dengannya.

Padahal, aku bisa pastikan bahwa tidak akan ada obrolan yang bisa keluar dari mulutku, pasti aku akan meredam hati dan mendamaikan perasaan ini. Tapi itulah aku, selalu berandai-andai. Dan semua orang pasti pernah melakukannya, termasuk juga dengan kalian.

Tapi, aku seperti diingatkan akan sesuatu, mataku dibuka oleh kenyataan. bahwa sebenarnya aku tak akan pernah menjadi bagian dari hidupnya, hidupmu. Dan aku tak perlu menjelaskan itu, karena aku cukup senang ketika menjaga itu bersama rahasia kita, atau lebih tepatnya rahasiaku.
…..
Pukul 06.04 WIB, baru saja selesai ku tuntaskan pekerjaan ini. Berpacu dengan deadline berita dari belahan dunia bagian barat, ku rangkai kata-kata, penuh penekanan dan intonasi nada dalam naskahnya, ku perjelas dengan gambar-gambar yang menunjang beritaku. Aku cukup jernih berpikir hingga sepagi ini, hingga mentari menyapa diantara pohon daun jambu air yang tumbuh di pekarangan belakang, atau lebih tepatnya pohon itu tumbuh di antara tembok pembatas halaman tak bertuan.

Cahaya kuning keemasan muncul perlahan, dari sebelah timur, selaksa sapa punjangga melalui bait-bait kata dalam sebuah prosa, menerobos melalui celah-celah jendela, bersamaan dengan semillir angin yang mendesak masuk, membawa hawa sejuk.

Ketika ku tuliskan cerita tentang seorang sahabat, yang beberapa waktu  lalu mencoba berdamai dengan hatinya, mencoba memberanikan diri hanya untuk sekedar mengucapkan selamat ulang tahun, melalui barisan kata yang dibuatnya. Tidak terlalu indah memang, tapi untuk apa indah, jika itu tidak pernah menjadi sesuatu yang benar-benar indah.

Aku hanya bisa tertawa membacanya, bukan karena itu tidak bermutu atau tidak penting. Tapi lebih kepada maksud yang di sampaikannya, aku tertawa karena di dunia ini masih ada seorang wanita yang begitu mengingat setiap detail kejadian di masa kecilnya. Aku tertawa karena takjub dengan perasaannya, dengan kisahnya.

Beberapa waktu lalu, ia mengirimkan surat itu kepadaku, surat yang telah ia kirimkan melalui pesan di jejaring sosial, dan baru pagi ini aku sempat membacanya. Dan kau tahu, wanita yang ku panggil ‘Si Pembawa Pesan’ itu memang benar-benar luar biasa. Aku tidak melebih-lebihkannya, aku hanya berpendapat, kau tidak akan tahu sebelum bertemu dengannya, tapi saranku, jangan bertemu dengannya, karena dia hanya akan diam ketika berhadapan dengan seseorang yang belum di kenalnya dan bisa ku pastikan, bahwa kalian akan merasa bosan dengan hal itu.

Tapi, aku cukup mengerti. Ada sebuah pesan yang ingin ku sampaikan, belajar dari dia ‘Si Pembawa Pesan’ jika kita tidak perlu tergesa-gesa untuk menentukan sesuatu, karena pada akhirnya penantian itu akan menunjukkan tentang kebenaran, meski itu terkadang menyakitkan. Tapi, penantian itu akan selalu berbuah manis, jika kita selalu bisa menerimanya dengan lapang dada.

Akan ada secarik kertas kosong untuk kita memulai cerita kembali, akan selalu ada nada baru yang bisa dinyanyikan, akan selalu ada tarian kemenangan untuk kita, aku, kamu, dia dan mereka. Tarian itu, lagu itu, akan selalu menanti dan menunggu, hingga waktu yang akan menjelaskan, bahwa kita diberi sesuatu bukan karena keinginan kita, kita hanya akan diberi sesuatu yang menjadi kebutuhan kita, dan percayalah itu baik untuk kita.

Dan kisah ini, bukanlah kisah terakhir dari ‘Si Pembawa Pesan’



Bandung, 23-09-14
Pukul 06.23 WIB
-Si Pembawa Pesan-
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML