Rabu, 04 Juni 2014

Menyelam di Antara Kisah Seseorang

                      

Waktu itu, malam sudah cukup larut. Seorang sahabat, kakak dan saudara kembali mendatangi kami. Sesaat bersalam-salaman, kemudian secangkir kopi hangat dan berbatang-batang tembakau menghantarkan pada obrolan ringan yang menyenangkan. Berbagi pengalaman, bertukar cerita, kembali bergosip, kembali menceritakan tentang kisah masa silam. Malam yang dingin itu dihangatkan dengan cerita-cerita yang membuatku kembali terpana akan berbagai perjalanan yang sudah dilakukannya. Ya, sejauh ini aku hanya bisa mendengarkan berbagai cerita yang selalu mengalir, tidak pernah kering.

           Ia datang dengan membawa oleh-oleh yang selalu ku nantikan, bukan sebungkus nasi padang atau sate Madura, tetapi oleh-olehnya dalam bentuk cerita. Sebuah pengalaman tentang perjalanan yan tidak pernah kering, selalu mengalir seperti air di sungai-sungai jernih diantara rimbunnya hutan, selalu menyambung dari satu alur ke alur berikutnya, tidak mengenyangkan secara harfiah mungkin, namun bisa mengurangi dahagaku akan luasnya dunia luar, mampu kembali membakar gairahku untuk kembali merangkai impian dan meraihnya berada di genggaman.

            Bagaimana ia bercerita tentang hebatnya wanita-wanita di bumi rencong, melawan ketidakadilan, menegakkan keadilan, mengangkat parang dan senapan. Menumpahkan darah lawan, menggetarkan kesombongan, meruntuhkan kecongkakkan, demi satu kata, kebebasan, kesetaraan dan ketenangan untuk kembali melanjutkan hidup di negeri yang kaya raya ini. Lalu ia kembali bercerita, bagaimana warung kopi bisa menjadi tempat sakral, segala gagasan dan semua pergerakan dimulai dari warung kopi, menyusun siasat, berbincang mengenai politik, gossip-gosip terhangat, hingga membahas tetek bengek yang tidak penting awalnya, namun pada akhirnya bisa menggerakkan roda perekonomian dan lain-lain.

kaum ibu menjadi benteng pertama yang akan membela keluarga, ketika para suami, kakak, ayah dan adik laki-lakinya tidak bisa melangkah keluar rumah. Bukan karena malas atau senang berpangku tangan. Tidak ada pilihan lain, mereka tidak bisa memilih, menjadi tidak berarti lagi jika orang-orang yang di sayanginya kembali ke rumah hanya tinggal jasad tanpa nyawa, atau minimal pulang dengan luka lebam di sekujur badan. Maka, wanita akan mengambil kendali. Bukan berarti menentang kodrat, namun kenyataan yang mengharuskan mereka untuk seperti itu.

            Ada banyak kisah yang tersampaikan diantara hawa dingin yang mulai menggigit, diantara kisah yang panjang, terkadang menegangkan, ada banyak kisah konyol, ketakutan dengan terror yang akan menimpa. Semuanya terangkum dalam sebuah malam yang kelam, gelap.

            Aku mencoba untuk masuk kedalam alurnya, mencoba berjalan diantara kalimat dan kata yang terucap. Hanya membayangkan saja bisa kurasakan betapa sebuah perjalanan akan sangat bermakna jika bisa di pahami, semua pandangan tentang sesuatu yang mustahil bisa dilakukan, tidak ada jalan buntu, karena akan selalu ada jalan keluar untuk kembali menatap harapan di masa yang akan datang.

            Menyelami setiap kejadian, meneguk berbagai pengalaman, menelan setiap kejadian, sepahit apapun rasanya, akan terasa manis juga ketika artinya bisa di dapatkan. Atau beberapa saat yang lalu, seorang kawan baru menceritakan kisahnya, dengan uraian air mata yang tidak pernah henti keluar dari kelopak mata beningnya. Kisah yang sebenarnya akan selalu sama, kisah yang pasti serupa, dan sekali lagi aku membuktikan semua teori yang sempat ku tuliskan pada catatan harian, bahwasannya setiap permasalahan akan ada banyak kesamaan, alurnya akan sejalan seirama dengan putaran waktu. Kejadian yang kita alami sekarang, suatu saat akan di jalani seseorang, dan pada bagian ketika kita mendengarkan, kita akan bisa meyimpulkan, bukan berarti kita paranormal, namun sebenarnya kisah itu juga pernah menyambangi kita beberapa saat yang lalu.

            Tidak pernah terfikirkan sebelumnya, kita akan kembali diingatkan oleh  cerita masa lalu yang di ceritakan ulang oleh mereka, kita akan selalu diingatkan oleh cerita-cerita yang sama, bahkan akan sangat detail setiap kata dari kalimat-kalimatnya. Akan terdengar senada dengan kisah itu, akan seirama dengan putaran jarum jam, membuka kembali tentang rasa sakit dan kecewa, kembali lagi merasakan kekecewaan yang pernah kita pendam di dalam palung samudera terdalam dibelahan dunia.

            Dan tanpa bermaksud meremehkan, kita akan tertawa pelan. Dan berujar dalam hati, kisahmu sama dengan kisahku. Tidak perlu berlarut-larut dalam sebuah penyesalan, karena aku pernah merasakannya, dan aku tahu akibatnya jika terlalu lama berada diantara rasa duka. Namun, semua itu harus dirasakan, karena pada bagian itu, semuanya akan menjadi terbalik, pilihannya hanya ada dua, kita akan mampu menatap dan memandang sesuatu itu dari berbagai hal, dan semakin kita dihantam dengan keadaan yang mencekam, maka pijakan kita akan semakin mencengkram. Dan pilihan kedua adalah, jika kita tidak bisa terlepas dari kisah kelam itu, kita akan semakin jauh dan dalam terhempas kedalam lubang yang semakin gelap. Dan tidak akan pernah bisa keluar dari lubang yang kita gali sendiri, semakin dalam dan semakin dalam, hingga kita benar-benar tenggelam diantara penyesalan yang tidak pernah berujung.

            Waktu beranjak dari terang benderang menjadi gelap yang pekat, rasa hangat akan berganti dengan dingin. Obrolan ini semakin menarik pada setiap bagian episodenya. Semakin dalam aku menyelam diantara kisah-kisah itu, sembari berharap, suatu saat aku yang akan bercerita di tempat ini. Harapanku akan selalu ada, keinginan itu akan ku pelihara, meskipun ku tahu, bahwa keinginan adalah sumber penderitaan (seperti kata Iwan Fals).

            Seperti sapa seorang teman, ia akan selalu dinanti kedatangannya. akan selalu dirindukan, seperti menanti seorang kekasih yang lama telah pergi, senyaman pelukan ibu, sebijak seorang ayah berkata. Impian itu akan selalu membangunkan, ia akan menyadarkan ketika kita terlalu terlena diantara buaian indahnya, kenyataan akan mengajarkan itu kepada kita. 
Read More




Senin, 26 Mei 2014

Romansa Balada Rintik Hujan Tengah Malam



Tengah malam, hujan. Tepat setelah beberapa menit tiba di tempat ini, kesunyian ini merdu seketika tatkala balada instrument rintik hujan kembali bersenandung di tengah malam. Alam seperti menjawab semua pertanyaan dan kegundahanku akan beberapa hal yang masih membuatku ragu untuk terus berjalan tegak. Sepertinya ia mendengarkan setiap keluhan yang tidak pernah terucap. Dan ia menjawab pertanyaanku dalam bahasanya, ia menenangkanku dengan caranya.

Entah sudah sejauh apa aku melangkah. Sepertinya sudah lelah terus melangkah, terus berjalan. Namun seperti yang kurasakan sekarang, aku tidak beranjak kemana-mana. Bergeser beberapa centimeter pun tidak sama sekali. Namun kenapa aku bisa begitu lelah, kenapa aku merasa sudah berjalan cukup lama, bukankah aku sudah melangkah ribuan kali. Namun seperti yang ku sadari, aku masih tegak berdiri di tempat ini. Tidak bergeser selangkahpun.

Aku masih terbawa suasana romantic tengah malam, senandung kerinduan kepada sebuah pencapaian, kerinduan akan sesuatu yang begitu di dambakan. Aku begitu ingin berjalan sangat jauh, aku ingin berada di tempat yang tidak pernah ku duga bisa mencapainya. Aku ingin langkah membawaku ke tempat-tempat itu. Aku ingin berjalan menyusuri kesunyian yang merdu ini.

Bukankah selalu ku ceritakan tentang petualangan yang sangat menarik. Petualangan yang begitu menarik itu terjadi karena beberapa masalah, beberapa kesulitan dan beberapa rasa sakit. Dan itu akan menjadikannya menarik, setiap kisah petualangan harus di bumbui dengan romansa cinta, balada kegetiran, rintihan pelan sesaat, dan kisah petualangan akan menjadi benar-benar hidup, ia akan menjadi sebuah cerita yang selalu melegenda, tidak akan pernah bosan untuk menceritakan ulang.

Aroma hujan di tengah malam membawa sebuah kenangan masa silam. Aroma yang selalu sama, aroma yang selalu berkisah tentang kesejukan, aroma yang selalu bercerita tentang kedamaian, aroma yang selalu kurindukan, sesaat hujan membawa setetes kerinduan akan penantian panjang sebuah perjalanan yang belum di mulai.

Aku selalu ingin berjalan lebih jauh dari orang-orang di sekitarku, aku ingin selalu bercerita tentang indahnya sebuah perjalanan panjang ini. Jika seseorang bisa mendapatkan keberhasilan dalam satu langkah, maka aku akan memilih melangkah lebih jauh untuk mendapatkan keberhasilan itu. Ketika orang-orang bisa mendapatkan apa yang di inginkan dalam satu kali hentakan kaki berpijak di bumi, maka tidak begitu denganku. Tuhan sepertinya mengajarkanku bagaimana berdiri tegak setelah terjatuh, bagaimana menerima rasa sakit sebagai rasa terindah yang pernah diberikan untukku.

Semua orang bisa mendapatkan apa yang di inginkan, dengan proses yang begitu cepat. Tetapi tidak denganku, aku selalu menjadi orang yang telat untuk menyelesaikan prosesnya. Aku selalu menjadi orang terakhir yang menyelesaikan fase tertentu. Dan jika kalian mengira aku mendapatkan hasil yang memuaskan, itu adalah salah besar, karena hasil yang ku dapatkan ternyata tidak lebih baik dengan orang-orang di sekitarku.

Seperti rangkaian cerita fiksi, ia memiliki kisah yang begitu bergairah. Terkadang menyala merah darah, namun terkadang redup seperti kelamnya malam yang di selimuti kabut, sesekali menyala jingga penuh romansa.

Tetapi sayangnya, hidup bukanlah fiksi. Tidak selalu bergairah, tidak selalu menyala penuh romansa. Perjalanannya pun tidak seperti fiksi yang bisa di baca dalam waktu beberapa jam. Membaca peta kehidupan, membiarkan langkah menyusuri tempat-tempat yang entah terletak dimana, berjalan menembus batas, berjalan goyah, terjatuh, bangkit, terjatuh lagi, bangkit lagi, jatuh. Begitulah alurnya, panjang, terkadang tidak bisa di pahami, terkadang begitu rumit.

Hujan masih memainkan perannya malam ini, masih memainkan instrument berbalut nada yang mengalun sendu, memerdukan kesunyian yang berjalan begitu tenang.

Sesekali ku lihat ke gumpalan awan berwarna pekat, sewarna dengan malam yang gelap. Sesekali lentera yang di pijarkan halilintar membuka tirai yang menutupi wajah indanya. Memberikan senyum termanis diantara kegelapan dan hawa dingin.  Aku membalas senyuman indahnya, dengan senyum seadanya. Sangat sederhana, karena tentu aku tidak memiliki senyuman indah sepertinya.

Dalam benakku, dalam usahaku menyadarkan apa yang sudah ku lakukan selama ini, benarkah aku berjalan di tempat yang sama, benarkan aku tidak bergeser selangkah pun.  Perjalanan sepertinya belum yakin dengan langkahku yang belum benar-benar tegap. Sepertinya dia masih akan memberikan sedikit bahan yang akan dijadikan ujian untukku. Masih ada beberapa ujian yang akan diberikannya sebelum memberikanku sebuah perjalanan yang ku idam-idamkan.

Atau mungkinkah sekarang perjalanan sudah ku dapatkan, apakah ini yang harus dilalui, berjalan seirama. Monoton. Menjalani hidup yang datar,  tanpa ada kebanggaan untuk di ceritakan kepada rekan sejawat, tidak ada nilai lebih yang bisa di nilai secara kasat mata. Bahkan, sepertinya orang tua para wanita itu enggan memberikan tanggung jawab menjaga putri kecilnya kepada orang-orang seperti aku. Ada yang mencibir, “masa lalu kelam, masa depan suram” ungkapan sindiran yang menjadi sebuah lelucon, lelucon yang tidak lucu sama sekali. Namun anehnya, aku tetap tertawa terbahak-bahak, hingga batuk-batuk. Sampai nyeri perutku karena semua otot mencengkram lambung yang tidak terbalut oleh daging.

Jika benar ini adalah jalannya, ini merupakan petualangan yang ku idam-idamkan tentu tidak seperti yang ku kira. Perjalanannya begitu monoton, terlalu banyak intrik dan cerita putus asa, terlalu banyak romansa yang di alihkan oleh pandangan kebencian. Terlalu banyak rasa curiga dan derai air mata, terlalu banyak kisah yang di dramatisir.  Terlalu banyak kekecewaan yang di dasari oleh pengkhianatan, terlalu banyak kebohongan yang melahirkan kebencian. Terlalu banyak.

Namun memang tidak ada pilihan untukku, tidak bisa langsung menolak begitu saja. Karena inilah yang ku minta, dalam setiap sujud ku, dalam setiap helaan nafasku ketika mengingat-Nya, aku menginginkan sebuah petualangan yang bisa mengajarkanku untuk berdiri tegak, dan inilah perjalanannya, perjalanan yang sangat monoton, perjalanan yang ku idam-idamkan ternyata tidak membawa langkahku bergeser begitu jauh. Hanya saja aku memang benar-benar sudah terseret begitu jauh, meninggalkan rekan dan kawan yang ketika berjumpa selalu berbicara tawa.


Read More




Kamis, 22 Mei 2014

Senyum Tercantik


Semakin hari, hanya ada penantian yang entah kapan akan berujung. Sejauh tangan meraih, sekuat tenaga tangan mengepal, sekeras teriakan yang terdengar begitu lantang, sejauh kaki melangkah, selayang pandang mata memandang ujung dari permulaan itu belum tampak sama sekali. Awal dari sebuah perjalanan yang entah di mana akan di mulai.

Bukankah seharusnya tidak ada lagi yang harus di takutkan? Bukankah rasa lelah dan sakit seperti ini sering kita alami? Lalu apa lagi yang membuat ini menjadi begitu menakutkan untuk di lalui? Sering kali sedih menyambangi hati kita, perasaan kita sering di cabik olehnya, tidak jarang juga terkadang menangisinya.
Keadaan seperti ini, membuat kita terbiasa.

Bukankah kita harus benar-benar melawannya, bukankah kita harus benar-benar melaluinya? Walaupun memang terkadang kemungkinan untuk kita bisa tertawa sangatlah kecil, tapi bukan mustahil kita akan bisa merasakannya. Berusaha dan terus mencoba, melakukan sebisanya, bertahan sekuatnya, dan akan terus berusaha hingga kesedihan ini enggan untuk kembali lagi.

Berbicara mengenai kesempatan. Akan selalu ada kesempatan yang sama meski dalam bentuk yang berbeda. Akan ada banyak cara untuk mengulangi dan mendapatkan kesempatan yang sama, mencoba meraih sesuatu yang sudah terlepas, mungkin hanya akan menjadi angan-angan belaka. Namun bukankah angan-angan itu yang membuat kita selalu berusaha? Bukankah angan-angan yang membuat kita masih bisa berdiri tegak? Impian ini, akan terus selalu ada.

Sesuatu yang terlepas pasti akan kembali lagi, tidak perlu berharap dengan wujud yang sama, karena sesuatu itu akan tetap memiliki rasa yang sama meski dalam wujud yang berbeda.  Akan ada banyak rasa yang bisa dinikmati, akan ada banyak warna yang bisa di lihat, ada banyak suasana yang akan bisa dirasa. Jangan pernah menyesali sesuatu yang sudah terlepas.

Masih ada waktu yang tersisa, masih ada sesuatu yang tersisa. Masih ada masa sulit di awal ceritanya, masih ada kata-kata romantic yang bisa mengawalinya. Masih ada harapan dan impian yang terbang tinggi, dan biarkan mimpi membawa kita, jauh.

Keajaiban akan selalu datang, tidak hanya dengan bentuk yang kita kenal. Bahkan sekarang merupakan keajaiban yang bisa dirasakan. Bukankah sesulit apapun hidup ini, kita masih bisa tertawa karena hal-hal sepele? Dan seberapa sering kita bisa bahagia karena hal-hal yang tidak begitu penting, sesuatu yang sepele itu bisa membuat kita tertawa bahagia, ketika kesulitan itu benar-benar menekan.

Mendapatkan kebahagian tidaklah serumit yang di banyangkan, tidaklah sesulit yang di jalani. Bahagia itu sederhana, bahagia itu bersahaja, bahagia itu indah, dan bahagia itu ketika kita bisa mensyukuri sesuatu yang sangat sederhana, sepele. Sesederhana itulah kebahagiaan menyentuh nurani kita, mengelus dengan penuh kasih sayang. Begitulah caranya bahagia membuat kita tertawa, begitu sederhana.

Bukahkah sudah terbiasa mengalami kesulitan? Lalu untuk apa mengeluh sekarang? Yang di perlukan hanya tetap berjalan. Seribu kali kesulitan sudah dirasakan, seribu kesulitan sudah menikam begitu dalam, hingga rasa yang di akibatkannya sudah tidak begitu mengusik. Jika harus merasakan seribu kali kesulitan lagi sekalipun bukan menjadi masalah, justru yang menjadi masalah adalah, apakah benar-benar siap kita mendapatkan manisnya sebuah keberhasilan?

Jika terlena karenanya bukankah itu lebih menyakitkan daripada seribu kali rasa yang di akibatkan oleh sebuah kesulitan? Terlena karenanya dan menjadi orang yang berbeda, apakah benar-benar siap kita dengan semua itu? Mungkin semua itu hanya kekhawatiran kita saja, dan itu merupakan hal yang wajar.

Biarkan saja orang-orang menatap kasihan ke arah kita sekarang, biarkan mereka bercerita dibelakang kita, biarkan mereka berbisik-bisik di antara telinga kita yang tidak tuli. Karena kitapun mempunyai cara pandang yang berbeda tentang masa depan, kita punya cerita yang berbeda di depan mereka, dan kita akan selalu punya cara untuk mendengarkan semua cerita, tentang apapun dan tentang siapapun. Menjadi pendengar yang baik, maka kau akan menjadi pembicara yang handal.

Kesedihan ini benar-benar harus di akhiri, kesulitan ini benar-benar harus di lalui. Berhenti menjadi takut, berhenti meratapi keadaan. Menggenapi serangkaian cerita manis haruslah di bumbui dengan secuil cerita getir. Agar tidak bosan orang membacanya, agar tidak monoton alurnya, agar menarik kisahnya.


Tersenyumlah untuk getirnya hidup hari ini, karena ini adalah sesuatu yang biasa terjadi dan biasa kita alami. Tersenyumlah karena kita merasakan bahagia tidaklah harus bermewah-mewah, karena selama ini ternyata yang membuat kita tertawa bahagia justeru hal-hal yang sangat sepele. 
Read More




Selasa, 20 Mei 2014

Ornamen Kabut dan Hawa Dingin



Kemarin, Semburat kuning keemasan terlihat menyembul di arah timur diantara bingkai pegunungan yang mengelilingi kota ini. Kabut tipis masih terlihat diantara pepohonan yang menghijau. Fajar menyapa diantara hawa dingin yang masih menusuk, perlahan menjadi sejuk.

Menjadi jernih, seketika pandanganku begitu jelas memandang sekitar. Seteguk air menghilangkan dahaga diantara rasa lelah. Bahkan, sudah setinggi ini matahari muncul, aku masih terjaga di antara rasa gelisah.

Hanya sesaat pagi itu terasa hangat, karena entah mengapa gerombolan awan kelabu menyergap diantara kehangatan matahari. Kembali cakrawala pagi di hiasi warna kelabu, semilir angin perjelas pertanda akan turun hujan. Aromanya tercium begitu kuat, aroma hujan di pagi hari.

Rintik hujan mulai turun, menembus kabut tipis. Seperti tidak mau kalah dengan awan kelabu, kabut kembali menggulung, menebal di segela sisi. Sebentuk ornament bergambar kesejukan tersaji diantara rintik hujan dan kabut.

Hujan semakin deras membasahi bumi, aku menikmati semua itu bersama sang pesona yang datang sedari pagi, bahkan ketika aku mulai terlelap, ia mulai berceloteh ria sembari bertutur kata manja.

Ahh,, begitu rindu aku akan suasana seperti ini. Hanya saja, mungkin terasa berbeda. Karena waktu berjalan maju, mengubah semua pola dan memperjelas sketsa. Menjadi guratan-guratan kasar yang mulai terlihat diantara dua mata. Begitu lelahkah aku? Tentu saja terlalu singkat jika ku simpulkan seperti itu, masih akan ada banyak rasa lelah dan gelisah yang akan menghadang langkahku, yang bisa dilakukan hanya tetap melangkah, dan berusaha, sembari berdoa.

Pagi dengan ornament kabut dan hawa sejuk akan selalu ku nanti dengan hidangan segelas teh hangat, untuk cerita di pagi-pagi yang akan datang.
………
Hari ini,  pagi yang cerah menghangatkan suasana yang lelah. Pagi masih setia menyapaku, masih dengan ornament kabut dan hawa dingin. Masih menyapaku dengan cara yang sama.

Masih bermalas-malasan untuk melanjutkan cerita yang sempat terpotong pada malam yang panjang, setidaknya cukup panjang hingga aku terjaga di pagi yang cerah ini. Tentu ada yang berbeda dari biasanya, tidak ada sapaan manja yang menggoda. Hanya ada kicauan burung yang menyapa diantara hangatnya matahari pagi.

Semalam, setelah pulang dari tempat seorang sahabat. Seperti biasa, aku mengendarai besi tua berumur lebih dari setengah abad ini. Berjalan pelan, berharap mendapatkan sedikit inspirasi untuk kembali menuliskan sesuatu. Berharap menjadi menarik. Tapi yang kudapat hanya sepi, lewat tengah malam ketika lajuku melambat diantara persimpangan jalan, lampunya berwarna merah. Tidak ada niat untuk menerobos meski tidak tampak kendaraan di seberang sana yang hendak melintas.

Pandanganku segera tertuju ke atas, berharap seperti kemarin rembulan menyapa walaupun hanya separuh saja. Meski hanya semburat warna kuning yang memudar karena awan gelap menghalangi cahayanya. Malam ini, mutlak tidak ada cahaya rembulan, bintang pun seperti enggan menampakkan wujudnya.

Malam ini semakin diam, dengan wujud kegelapan.

Ada apa dengan rindu, kenapa ia begitu gemar menyiksaku? Ya, lima huruf itu begitu menyiksaku, selalu mengusik ketenangan malam. Bahkan ia menyapa tanpa berdosa, ia melenggang menggoda di depan mata, menjerumuskan perasaan yang sudah tergelincir kedalam sebuah jurang yang begitu dalam. Hingga hanya bisa menggeleng pelan, tanpa harus berkata, aku tertawa diantara gundah. Mentertawakan diri sendiri yang di perbudak oleh rasa sesaat yang menjanjikan keindahan.

Tahukah, menjadi sadar itu membutukan serangkaian proses yang melelahkan. Sadar atau tidak, kita baru akan tersadar ketika sudah melakukannya. Akan merasa berdosa ketika sudah melakukannya, akan merasa bersalah ketika sudah melakukannya. Bukankah awalnya kita melakukan sesuatu itu karena berfikir bahwa itu benar? Lalu kenapa menjadi salah pada akhirnya?

Mungkin saja itu merupakan hal yang benar, namun sesuatu yang benar tidak akan menjadi benar jika prosesnya tidak dijalankan dengan benar. Maka tidak heran jika pada akhirnya kita akan kembali terpekur dan tersungkur, karena penyesalan dan merasa bersalah.

Salah dan benar, hanya menjadi ukuran untuk kita berbuat menjadi lebih baik. Saranku, jangan memilih orang yang terbaik, tapi pilihlah sesorang yang bisa menjadikan kita lebih baik, menjadi yang terbaik.

Pilihan akan selalu ada, meskipun terkadang itu membingungkan. Bukankah kebingungan merupakan pertanda bahwa kita memikirkannya? Bukankah tersesat juga merupakan hal yang wajar dilalui oleh penjelajah? Tidak ada yang salah jika dilakukan dengan benar, tidak ada yang benar jika dilakukan dengan salah.
……..


Pagi dengan ornament kabut dan hawa dingin, berbagi waktu dengan sepucuk kehangatan mentari pagi. Akan ada cerita yang sama di pagi-pagi berikutnya. Cerita yang sama dengan cara yang berbeda. Akan sama rasanya, akan seperti itu bentuknya. 
Read More




Senin, 19 Mei 2014

Mengalir



Melelahkan, kembali menari diantara jeram-jeram itu, menikmati setiap liukan arusnya yang begitu liar, gemuruh airnya menelan kesunyian. Sesaat aku kembali terpana, sesekali jantung berpacu begitu cepat, secepat aliran air yang menghantam bebatuan di bawahnya, ciptakan gelombang dengan arus yang tidak bisa di remehkan. Lengah sesaat, bukan mustahil akan terbenam dan terkurung di gulungan arus yang begitu deras. Lalu berakhir sudah.

Sekali hentakan keras dayung memecah arus, melawan jeram, menerjang bebatuan. Meskipun bukan pertama kali bermain dan menari diantara jeram-jeram itu, aku tetap terpesona. Bermain dengan adrenalin, bekerja secara tim, menjadi sebuah kemutlakan yang harus dilakukan. Menekan ego, membunuh rasa takut, berjabat tangan dengan resiko, berpacu dengan waktu.

Hanya sepersekian detik keputusan yang harus di buat, hanya punya beberapa menit untuk bisa bertahan ketika berada di dalam pusaran air yang begitu liar. Berfikir dan bertindak dengan sangat cepat, bahkan tidak ada waktu lagi untuk sekedar mengulur waktu, sebuah keputusan terbaik dalam waktu beberapa detik akan menentukan semuanya.

Seperti hidup. Waktu akan terus berpacu, tanpa toleransi, tanpa ada belas kasihan. Jika terlalu lama mengambil keputusan, maka kita akan terbenam di dalamnya, akan terus berputar-putar tanpa bisa keluar. Maka yang terjadi adalah, kita akan terperangkap dan tidak sadar dengan kondisinya. Maka, waktu akan benar-benar menikam dengan sangat menyakitkan.

 Begitu cepat aliran waktu bergulir, begitu cepat setiap kejadian berlalu, beitu cepat tanpa kita sadari semuanya sudah berlalu.

Menaklukkan jeram dalam setiap pengarungan bukanlah tujuannya, bukan untuk menaklukkannya. Tujuan sebenarnya adalah untuk melaluinya dengan selamat. Jika dianalogikan dengan kehidupan, jeram itu seperti rintangan dan tantangan, masalah yang harus di lalui dan di selesaikan dengan cepat. Menyelesaikan masalah tanpa harus membuat masalah baru. Karena tanpa harus di buat, masalah akan dengan senang hati hanya untuk sekedar menyapa.

Tantangan itu bukan untuk di taklukkan, melainkan untuk di jadikan pembelajaran. Bukankah hidup juga adalah pengarungan. Terkadang maju dengan sangat cepat, namun sesekali karam. Sesekali mendayung sekuat tenaga meski sudah tidak ada tenaga yang tersisa. Jika tidak mendayung, maka perahu itu akan kandas di antara gelombang yang begitu liar.

Dihadapkan dengan sebuah persoalan hidup, arus masalah yang mengalir dengan sangat cepat, bertubui-tubi menghantam, menggoyahkan laju perahu, berjalan tersendat. Mengikuti arus utama mungkin akan sangat berbahaya, namun arus utama itu harus di lalui. Karena laju perahu hanya akan benar-benar cepat jika berada di arus utama, walaupun dengan resiko yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Dan kita akan bermain dengan resiko, namun resiko itu akan mengajarkan kita dengan sangat cepat, mengajarkan bagaimana mengendalikan laju perahu.

Begitu juga ketika kita menjalani hidup, kita harus mengikuti arus utamanya, bermain dengan resiko, tanpa harus menghindari masalah. Karena masalah itu adalah arus utamanya, dan kita harus masuk kedalamnya, mencoba mengarunginya, belajar menghadapi masalah, bukan belajar untuk menghidari masalah.

Semakin banyak masalah yang di hadapi maka akan semakin banyak pula pembelajaran yang di dapatkan, dan itu menjadi bekal untuk kita bisa melaju dengan cepat, mengikuti arus utama, melewati terjangan jeram permasalahan dengan cepat, melaluinya tanpa meninggalkan sisa masalah.

Dan bahkan, semua orang akan memilih hidup dengan petualangan, karena dengan petualangan hidup menjadi lebih bermakna, ada banyak warna didalamnya, akan ada banyak kisah yang bisa di ceritakan.

Namun, terkadang kita cepat sekali berubah pikiran. Awalnya kita begitu menyukai sesuatu atau hal itu, namun akan dengan sangat cepat kita akan segera mengambil sikap drastis, berputar 180 derajat, kita begitu cepat menyukai, maka suatu saat kita akan membenci.

Awalnya kita tertantang dengan petualangan yang begitu berisiko, katanya hidup tidak akan ada makna jika hanya lurus, maka diperlukan liku-likunya. namun, pada saat petualangan penuh resiko itu datang dalam wujud masalah tidak sedikit dari kita yang akan berbalik belakang, bahkan menghindarinya. Merasa tidak mampu untuk melaluinya, tidak jarang akan berkeluh kesah.

Merasa tertekan ketika menghadapi masalah, lalu menjadi putus asa. Kemudian menyalahkan diri sendiri, dan masalah seperti jeram-jeram itu, ia tidak mengenal apapun, tidak mengenal kata ampun. Jika tidak bisa keluar darinya, maka bersiaplah berakhir di dalamnya.

“bukankah kami telah melapangkan dadamu?, Dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu yang memberatkan punggungmu? Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,  sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (asy-syarh:1-8)
…….


Menari bersama gelombang, menerjang jeram, sekali dayung, sekuat tenaga. Melaju mengikuti arus utama. Hidup harus dijalani seperti itu, bersikap bijak seperti derasnya arus liar..
Read More




Sabtu, 17 Mei 2014

Seperti Langkah yang Ikhlas


Sering kali aku harus kembali terjatuh dan tersungkur, kembali harus merasakan nyeri diantara ujung-ujung kaki yang menekan ujung sepatu ketika berjalan turun. Telapak kaki seperti ingin terkelupas, menahan panas karena gesekan kaus kaki yang mengeras, karena di paksa terus berjalan. Senyaman apapun alas kaki yang di gunakan, kaki akan tetap terkelupas ketika digunakan untuk berjalan menempuh perjalanan jauh dan panjang. Tentu melelahkan, karena tujuannya pun belum tampak, dan rasa nyeri itu akan datang, cepat atau lambat. Hanya masalah waktu.

Pernah suatu kali aku berjalan di indahnya pantai, berjalan ratusan kilometer, menyeberang derasnya arus muara dan menahan terjangan gelombang yang tiba-tiba pasang. Berjalan diantara cadasnya karang yang terhampar seperti savanna, berenang diantara gelombang yang sepertinya enggan diajak untuk berjabat tangan. Belum lagi bagaimana mata harus berjuang menahan silaunya pantulan cahaya matahari yang tidak sengaja di pantulkan oleh pasir yang seperti berkilau berlian, begitu menyilaukan.

Perjalanan panjang yang harus di lalui untuk mendapatkan tujuan, untuk mendapatkan dan meraih impian. Telapak kaki ini belum pernah melakukan perjalanan panjang seperti saat ini sebelumnya, wajar jika harus mengeras dan kemudian mengelupas. Menyisakan nyeri yang belum pernah terbayangkan rasanya sebelumnya, belum lagi bagaimana jika luka itu terkena asinnya air laut. Maka, bisa dipastikan perih dan nyerinya bisa berlipat ganda.

Memang itu adalah awal yang sulit, dan memang itu adalah awal yang sakit. harus di awali dengan sebuah rasa, maka yang akan mengakhiri juga adalah sebuah rasa.

Perjalanan berikutnya pun, tidak kalah beratnya. Tidak kalah sulitnya. Namun sepertinya kaki ini sudah mampu belajar dan beraklimatisasi dengan baik. Segera mampu menyesuaikan diri dengan sangat cepat, dan apapun bentuk medannya, kemampuan untuk beraklimatisasi akan sangat menentukan langkah selanjutnya.

Kini, perjalanan sejauh apapun bisa ku tempuh. Meski terkadang sakit, tapi telapak kakiku ini sudah begitu keras, mampu meredam panasnya jalanan. Dan aku bisa menikmati setiap langkah dalam perjalanan ini, menikmati setiap rasa yang tercipta, menikmati pesona yang terasa, menikmati semua yang tampak di depan mata, menikmati semua yang bisa di rasakan oleh getaran nurani.


Setiap langkah kaki yang berjalan menyusuri jalan ini akan mengajarkan kita tentang arti sebuah ketabahan, ketenangan, ketangguhan, kesabaran, keikhlasan. Seperti langkah yang ikhlas, perlahan menyusuri setapak demi setapak kenyataan, menerima setiap keadaan, dan belajar untuk tetap tegak berdiri diantara rasa nyeri, melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Perjalanan ini akan menjadi indah.
Read More




Kamis, 15 Mei 2014

Diantara Hembusan Angin dan Hawa Dingin





Gumpalan awan itu menghitam, sebentar lagi mungkin akan turun hujan. Aromanya mulai tercium ketika angin perlahan menghembus, membawa kabar gembira. Kesejukan sebuah kehidupan di turunkan dari langit.

Jalanan begitu hening ketika aku melintas, seperti biasa. Mencari sebuah ketenangan dari lelahnya perjalanan yang entah kapan akan berakhir. Roda ini harus di putar kembali, tidak boleh terhenti di satu titik. Keseimbangan ini harus berputar kembali, melalui porosnya.

Udara di kaki gunung memang begitu segar, sesekali menghembuskan udara yang menjadi dingin. Kabut turun pelan-pelan, memenuhi lembahan, menemani pepohonan yang membisu.
Setengah lingkaran, membentang di cakrawala.

Pelangi selalu indah, darimanapun sudut pandangnya. Ia akan tetap terlihat berwarna. Meskipun ia hanya pantulan cahaya, hanya tampak oleh mata, tidak bisa di rasakan. Tetapi ia bisa menenangkan. Begitulah warna bercerita, begitulah warna menyentuh, begitulah warna berbagi kisah. Begitulah warna mempesona.

Namun adakah makna lain dari sebentuk lingkaran penuh warna itu? Pelangi, selalu setia menunggu hujan reda. Ia hanya akan terlihat ketika suasana begitu berbeda, diantara hujan dan bentangan sinar mentari. Diantara cakrawala dan mega-mega, diantara hembusan angin dan hawa dingin.

Ya, warna itu tidak muncul secara tiba-tiba. Akan ada sebuah awal mula dari sebuah kejadian yang begitu indah. Ada sebuah proses yang terangkai dalam sebuah bingkai, potret yang terekam oleh alam.

Awalilah semuanya dengan makna, maka akhirnyapun akan bermakna. Tidak perlu menjadi sempurna, karena sesuatu yang sempurna itu hanya akan terjadi ketika kita bisa memaknainya. Semuanya akan menjadi sempurna ketika kita bisa menjadikannya seperti itu.

Diantara hembusan angin dan hawa dingin, semuanya berawal. Diantara hembusan angin dan hawa dingin, semuanya akan berakhir.


Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML