Tampilkan postingan dengan label Roman. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Roman. Tampilkan semua postingan

Jumat, 02 Januari 2015

Gurat Tawa Dikala Senja Menyapa

#Kemarin



“Buatkan aku sebuah kata-kata. Aku ingin mendengarkannya.” ia meminta, matanya menatap ke depan, mengunci pandanganku. Sayu, ada kerinduan di sana, tapi jelas tak ada keberanian untuk mengatakannya. Aku cukup jelas bisa melihatnya, bertahun-tahun aku mempelajari tatapan mata itu. Ini tidak mungkin salah.

Aku tersenyum, kemudian menatapnya. Halus.

Ada sebuah relung jiwa yang menganga, teriris pelan, menyayat, tapi tak ada rasa sakit di sana. Hanya ada sebuah rasa yang kemudian memudar, tak jelas. Aku tak tahu ini pertanda apa, apakah ini adalah permintaan terakhirnya? Entahlah, aku enggan memikirkannya terlalu dalam. Toh ini akan terjadi juga. Cepat atau lambat, kata-kata itu akan terucap.

“Apa yang ingin kau dengarkan dariku? Bukankah terlalu sering aku bercerita kepadamu? Tidak bosankah kau selalu dengar apa yang ku katakan, bahkan aku terlalu banyak bicara akhir-akhir ini, bukankah begitu?” tanyaku.

Ia menggeleng. Sejurus matanya kembali mengunci pandanganku. Aku tertegun, bening matanya gambarkan wajahku di sana. Mata itu seolah memohon kepadaku.

Aku tersenyum, menatapnya, mencoba memberikan tatapan terbaik yang ku miliki, ini mungkin akan menjadi tatapan terakhirku untuknya, tatapan paling romantis yang pernah ku berikan untuknya. Mungkin.

“Baiklah jika kau memaksa, aku bisa apa? Kau selalu bisa memaksaku, dengan cara apapun. Bahkan, tanpa kau berkata, kau bisa mengintimidasiku begitu kuat,” aku menghela napas. Masih belum terpikirkan apa yang harus ku ucapkan.

Ia menunggu dengan tatapan antusias. Sial, bahkan konsentrasiku telah buyar demi melihat itu semua. Ini sudah dua tahun berlalu, dan aku masih belum bisa melepaskan tatapan mata itu. Sekali lagi, dia mengintimidasiku dengan caranya sendiri.

Aku mengambil napas, berat. Mengumpulkan semua memoriku tentang waktu itu, mencoba merangkai mozaik yang telah terberai, mencoba mengumpulkan kepingan puzzle yang berserakan, pikiranku kembali merangkainya menjadi sebuah kisah, tentang kita.
….

Malam di kota ini semakin dingin, padahal baru saja ku tinggalkan sejenak. Beberapa hari lamanya kakiku beranjak menjauhi semua ini, mencoba merajut kisah di tempat yang berbeda, Jakarta. Untuk beberapa kalinya ku injakkan kakiku di kota itu, kacaunya pikiranku kembali menyatu dengan kondisi semrawutnya ibu kota. Nyaring klakson meraung panjang, memekakan telinga, teriakan kondektur metro mini, pedagang asongan, senandung penyanyi jalanan, tak kalah ingin berpentas, sesekali pengemis itu menunjukkan aksinya, menegadahkan kedua tangan dengan tatapan kosong, berharap. Ah, bahkan di mata mereka masih ada harapan, bahkan mereka masih berharap kepada seseorang yang tidak dikenalnya, sementara aku tidak.  Tak ada harapan di mataku, terlebih di dalam hati. Kosong. Ironis.

Dan di sinilah aku sekarang berada, bersama hawa dingin dan rasa rindu tentang sesuatu yang tak ku ketahui wujudnya. Kembali aku tenggelam di dalam samudera bahasa, kembali menuliskan kata-kata ini, memadukan berbagai kosa kata, ini hari yang sibuk. Aku benar-benar lelah, hingga tak terasa mataku terpejam sesaat, hingga kumandang adzan magrib bangunkanku dari mimpi indah sejenak. Aku kembali terjaga, dan ketika aku belum siap, hawa dingin itu kembali memelukku, memutar memori itu.
“Semilir angin membawa kita kepada suasana ini, suasana yang tidak kita mengerti. Bercengkrama dengan cara kita masing-masing. Mencoba memahami hati, kembali merasakan apa yang pernah hilang,” sengaja ku potong kalimatku, lamat-lamat ku tatap wajahnya. Ia masih menunggu kalimatku berikutnya.

Dia masih menunggu kalimat berikutnya. Aku melihatnya, sungguh. Pelan-pelan ku goreskan tinta itu di ingatanku, mengguratkan gambar terakhir dari wajahnya. Mungkin aku tidak akan melihatnya lagi, mungkin. Tidak ada yang tahu.

“Hujan, berapa kali ku tuliskan kisah tentang hujan? Tak terhingga bukan? Bukan, itu bukan cerita tentang hujan, itu cerita tentangmu, tentangku. Tentang kita. Kau pernah melihat indahnya sunset di tepi pantai, indah bukan? Ku beritahu kau satu hal, kehadiranmu selalu dinantikan meski hanya sesaat, seperti itulah kau di mataku, selalu dinanti meski hanya sesaat. Kau tahu, aku bisa melangkah ratusan kilo meter, menjalani setapak demi setapak perjalanan yang entah sampai kapan berujung, dan kemudian pada suatu waktu sebelum malam menjelang, aku akan berhenti sejenak. Menatap berjam-jam mentari yang merona itu, dan begitulah kau di mataku, selalu indah meski hanya sesaat ku menatap,” kataku. Wajahnya merona, merah. Ia suka, aku bahagia.

Matanya semakin antusias, tak sabar menunggu kalimat berikutnya. Aku ingin menatapnya lebih lama lagi, ketika binar mata itu seperti berbicara, “Aku masih akan menunggu itu,”

“Kau lihat, bahkan sejenak ketika gelap itu hendak menelan mentari yang merona itu, kau tetap indah dengan kisah itu. Malam datang, menyapa hari yang akan berganti, gelap. Ini kisah lain dari pesonamu, bahkan ketika malam tak ada cahaya di atas sana, kau tetap indah dengan kisahmu. Gelap itu menggurat kenangan ketika sepi mulai merasuki hati, tapi kau tahu? Itu adalah bagian dari kisahmu, kisah yang bahkan akan selalu bisa membuatku tertawa bahagia,” aku tersenyum. Kembali senyumnya simpul tersungging di wajah itu, merona, sekali lagi. Dia tertawa, aku menyukainya.

Angin kembali membelai mesra, kata-kataku tercekat, sesaat aku sadar, ini adalah guratan kata yang mungkin akan kembali berserakan, akan kembali terberai, pecah, bahkan aku tak yakin akan kembali menyatu, itu hanya bagian yang akan terlupakan bukan? Ya, itu hanya akan menjadi kisah klise, antiklimaks.
…..

Pada bagian lain kisah ini, aku kembali merangkai asa yang entah telah terburai ke mana, ini akan menjadi sebuah kontradiksi. Ini akan menjadi impulsif, dramatis, melankolis, romantis sesekali, getir di dalamnya, sedikit cerita yang menggurat hati akan menambah suasana semakin menarik bukan, bahkan kalian akan segera menyukai kabar duka, menurutku, kabar buruk adalah kabar baik, setidaknya itulah yang ku tangkap dari semua fenomena yang di angkat media.

Hujan memang tidak menyapa hari ini, tapi jelas kabut menutup sebagian kota yang entah telah menggeliat sejak pukul berapa. Hingga siang menjelang, bahkan matahari enggan menampakkan kegarangannya hari ini, semakin dingin. Karena mendung menggantung di cakrawala, menggulung sebagian kisah kelam dan derita sebagian orang, bencana semakin menggeliat, alam menunjukkan keparkasaannya, banjir, longsor, bahkan hingga kecelakaan salah satu maskapai penerbangan menjadi sebuah informasi yang sangat nikmat untuk disantap.

Miris, negeri ini semakin gembira menonton pertunjukan itu, media berbondong-bondong mengangkat berita duka, menjadikan itu sebagai komoditi untuk mengeruk rupiah. Headline news, di mana-mana menayangkan berita yang sama, tak terhingga dalam hitungan detik berita itu mendapat ribuan klik dari para pembaca yang mengakses melalui website, mendapat rating tertinggi dari pemirsa layar kaca. Ada apa dengan negeri ini, atau lebih tepatnya, ada apa dengan kita, denganku, denganmu? Aku masih tak mengerti, mungkin akan lebih baik jika kita tidak mengerti itu.
…..


Aku, kamu. Hujan, senja, malam, mentari pagi selalu menggambarkan suasana tentang waktu itu. Ini akan menjadi bagian yang tidak akan terlupakan. Sementara itu, penggenggam hujan kembali bersendung riang, di antara rintik hujan dikala senja menyapa, malam menjadi kisah yang terus bercerita tentang semuanya, semilir angin akan selalu membisikkan untaian kata berirama mendayu. Aku, kamu, dia, mereka, menjadi sebuah rentetan cerita yang tak akan terputus, hanya waktu, satu-satunya yang pasti, selebihnya tidak ada.
Read More




Senin, 22 Desember 2014

Ornamen Hujan Tengah Malam

#Kontradiksi




Braga, setelah petang datang.

Sedikit kaku, aku hanya melemparkan senyum kecut ke arahnya, ku buat semanis mungkin. Aku berusaha maksimal. Jika saja bisa ku serap energi bumi, mungkin sudah ku serap semua energi bumi ini, hanya untuk melukiskan senyum terbaik di wajahku yang terlanjur berantakan. Huft, aku hanya bisa menghela napas di dalam hati.

“Kamu aja yang makan, aku ga laper!” tidak ketus memang, tapi tegas pernyataannya.

“Kenapa?” tanyaku singkat. Menelan ludah yang sepertinya tercekat di tenggorokan.

“Aku udah ga laper.” jawabannya masih dingin. Ia berada di atas angin, mengendalikan semuanya. Mengintimidasi dengan cara yang menakutkan.

Ia terlihat kecewa, aku pun sama. Tapi aku sekuat tenaga untuk mencari solusi, sepersekian detik, mencoba untuk menetralisirnya. Menguasai kedaan. Berhasil, ku belokkan arah pembicaraan, negosiasi. Setidaknya aku telah belajar untuk menjadi seorang negosiator di beberapa kesempatan. Ini tak jauh berbeda.

“Sama, aku juga tiba-tiba kenyang. Serius,” jelasku, masih mencoba menggurat senyum.

Dia diam, aku juga.

“Kita makan es krim. Mau?” kataku mencoba bernegosiasi.

Sesaat dia berfikir. Aku diam, harap-harap cemas. Tak ada jawabnya. Tapi anggukannya cukup sudah untuk menjelaskan semua pertanyaan yang tadinya samar, menjadi terang benderang. Sama seperti jalanan Braga malam itu, yang semakin terang dengan sorot lampu kedai, café dan sorot lampu kendaraan yang berlalu lalang.

Hujan lagi, hanya ada hawa dingin di luar sana. Hanya ada sepi memeluk malam yang kian pekat. Aku masih berada di sini, mencoba menggoreskan ratusan kata yang kemudian menjadi beberapa kalimat dan paragraf. Aquarium di sebelahku tak tampak lagi cerianya, hanya ada seperempat air yang tersisa, berwarna sedikit merah. Bukan, cokelat. Dulu silinder itu tampak hidup, dengan berbagai warna dari beberapa ikan kecil dan hijaunya tanaman. Lampu yang menyerap air tampak seperti siraman mentari pagi, menyejukkan mata ketika memandangnya, tapi faktanya, kini semua itu tak lebih dari sebuah silinder tak bernyawa, mati.

Senandung itu masih terdengar pelan, ribuan mantra terbang ke angkasa, menembus cakrawala, menyibak angkasa, menembus berlapis-lapis langit, dan jika mantra itu kuat, maka ia akan sampai di singgasana-Nya, dan kemudian berharap Tuhan akan menjawab itu dengan rahmat-Nya. Dengan sentuhan yang jelas bisa dirasakan, meski dengan guratan rasa sakit, tapi rasa sakit itu hanya akan terasa jika kita terlalu bodoh, tolol dan bebal. Karena, jelas Tuhan tak akan menyakiti hambanya.

Di kaki gunung Manglayang.

Suasana ini benar-benar indah. Pukul 11.24 WIB, hanya terdengar suara tetasan hujan, bertalu-talu menghantam atap rumah ini, bersenandung dengan irama detak jantung, bersinergi dengan tatapan mata, mejalar pelan, menembus qalbu, membawa kedamaian yang mungkin masih bisa dirasakan. Aku terpaku, terkesima dengan rintihan malam yang panjang. Bukan, itu bukan rintihan malam -meski malu ku katakan- hatiku yang merintih pilu malam ini.

Ini adalah bagian terindah dari sisa hari ini, hanya beberapa menit lagi hari akan berganti, ini bagian terpenting dari sebuah proses. Ini akan menjadi makna yang tak terhingga, ketika bisa ku terima rahmat yang diberikan-Nya.

Jendela itu ku buka, membiarkan angin masuk perlahan. Membelai ruangan ini, mengusap tubuhku yang sepertinya tampak mulai lelah, aku tergugu, masih menari jemariku, menuliskan kata-kata ini. Ini adalah keinginan dan harapan seseorang, penyuka hujan, pengagum mentari pagi dan kabut dingin, penikmat senja, perindu orion, dan seseorang yang lebih suka menyendiri dalam malam.

Selarik kilat tergores di angkasa, membuat terang semuanya. Hanya sesaat, sebelum gelegar halilintar membahana di atas sana. Sejenak mataku yang merekam kejadian itu terkesima, aku bisa suka itu. Tapi, lalu otakku berkata lain, ia mengajak jemariku kembali menuliskan beberapa kata lagi.
….

Beberapa waktu lalu, aku masih merindukan gelak tawa dan rengekan manja itu. Sekarang, tidak. Aku bisa kembali meniti hari. Menjelaskan satu persatu jawaban dari pertanyaan masa lalu, mencoba meluruskan nurani dan naluriku. Mencoba berinteraksi dengan sesuatu yang baru. Hanya satu sesuatu yang coba ku yakini, sungguh kenyataan itu akan selalu berbicara benar. Semua yang diberikan kepadaku, itulah yang terbaik, aku selalu percaya Tuhan maha bijaksana.
….

Masih di Braga.

Dua es krim itu menyatukan keadaan, menetralisir semuanya. Satu dua obrolan ringan mulai muncul. Sesaat ku lihat tatapan matanya, ada rona kecewa di sana. Tapi itu tak terjadi begitu lama, es krim itu meluluhkan hatinya, sejenak. Aku mencoba mencairkan kedaan dengan rentetan pertanyaan, pekerjaannya, pekerjaanku, masalah kantornya, masalah kantorku, masalahku dengan ‘dia’, dan masalahnya dengan ‘dia-nya’.

Hanya beberapa saat memang, tapi sungguh itu berharga.
….

Kaki gunung Manglayang, hari baru pukul 00.08 WIB.

Ku beritahu kau tentang satu hal, dia buat beberapa peraturan yang tanpa persetujuanku langsung disepakati olehnya, egois. Peraturan yang sebenarnya konyol, dan sepertinya dia serius dengan itu, meski jelas aku tak terlalu peduli dengan perjanjian itu, tapi aku selalu mengingatnya, detail. Aturannya, aku tidak boleh kangen dia, terlebih jika suka, aku tak boleh terlalu sering gombalin, apa lagi panggil dia dengan sebutan yang paling dia suka (yang ini jelas tak akan ku tuliskan), dan masih ada beberapa aturan lainnya.


Aku hanya bisa tersenyum, meski jelas, aku akan berusaha untuk mengikuti aturan main itu. Ku beri tahu kau akan satu hal, bahkan aku tak berani melukainya, bahkan dengan cara terhalus dan terindah sekalipun. Ada banyak alasan kenapa dia bisa menjadi salah satu tokoh karakter yang selalu ku tulis, ini bukan cerita tentang cinta sepasang kekasih, ini cerita tentang harapan dan impian, ini kisah tentang sesuatu yang terbuang, ini tentang puzzle dari kepingan yang tersingkirkan, ini adalah rangkaian nada dalam sebuah irama.
Read More




Senin, 17 November 2014

Dia, Wanita yang Tak Ku Kenal

#Tafsir




Bahkan aku tak mengenalnya. Pertama kali ku sapa, tak ada maksud lain yang terlintas di dalam benak, hanya ingin menyapa dan mengucapkan terima kasih. Namun, akan selalu ada hal menarik, hingga aku menuliskan ini. Tengah malam, ketika udara di kota ini benar-benar menjadi sangat dingin.

Segera tuntas pekerjaanku, dengan pikiran yang bisa ku bilang ‘kacau’ aku harus bisa menunaikan kewajiban bukan? Tak ada kompromi untuk memberikan yang terbaik dalam menuntaskan tanggung jawab, karena pernah ku dengar bahwa ‘tanggung jawab adalah sebuah kehormatan’ dan itu akan selalu ku tunaikan, meski memang masih ada kesalahan, karena ku anggap itu adalah prosesnya. Dan begitulah aku menjalani hidup.

Pekat merayap pelan, menelan semua kecerahan di angkasa, di luar tak ada kehidupan, sepi. Ketika ku telisik tentang dia, seseorang yang tak ku kenal itu. Ada sebuah makna yang entah seperti apa wujudnya, yang ku tahu bahwa jelas masih ada orang yang melakukan apa pun untuk mendapatkan keinginannya, dan jika itu menyangkut rasa, aku akan selalu tertarik untuk menelisik, membuat lembaran demi lembaran kisah tentang itu.

Naluriku terlalu kuat untuk dicegah, namun ada sedikit kemampuan untukku selalu bisa menemukan sumber cerita, meski dengan versi yang berbeda, namun ku yakin alurnya akan tetap sama, satu persatu kisahnya terungkap, ada makna yang sedari awal ku terka, wanita ini mengalami kejadian yang tentu tidak ingin di alami. Wajar, ini hanya menjadi sebuah parodi pada akhirnya, lelucon sebelum kebenaran itu muncul. Tak habis fikirku tentang seseorang yang mengungkapkan rasanya dengan cara seperti itu.

Dia -lelaki- tidak hanya menyulut dahan kering dengan api, namun juga menambahkan angin dan bahan bakar, tentu saja dia hanya akan mendapatkan abu, abu yang bahkan hanya akan menghilang ketika musim kemarau datang, angin akan membawanya terbang, hilang.

Bagaimana mungkin dia akan menjelaskan bahwa itu adalah bentuk dari kasih sayang? Bukan, itu hanya ambisi, hasrat. Seperti birahi yang meninggi, dan kemudian menghilang jika sudah tersalurkan. Sesaat.

Lalu bagaimana dia akan menjelaskan, ketika bentuk perhatiannya justeru meneror sang pujaan? Itu juga bukan hal yang baik, tapi aku tak bisa berkata benar atau salah, karena tentu itu akan menjadi sebuah bahasa yang semakin tak jelas arahnya. Benar dan salah? Itu klise.

Aku belajar dari banyak hal, dari sebuah kemungkinan yang terbilang memiliki peluang mendekati mustahil, jika mengukur dengan presentase. Namun, ku tegaskan, tak akan ada hal yang mustahil, mengukir di atas air dan menggurat pena di angkasa itu bisa dilakukan, caranya? Tak perlu bertanya-tanya tentang itu, karena jika kau tak yakin dengan itu, mustahil kau mengerti tantang jawabanku, kau baru akan mengerti itu jika kau meyakini apa yang ku yakini.

Dan wanita ini, meski aku sudah tahu apa sebenarnya yang terjadi antara dia dan orang itu, aku belum cukup tahu tentang semuanya, tapi setidaknya dia -yang tidak ku kenal- bisa membuka mataku, bahwa ada cerita seperti ini, dan itu nyata.

Tentu akan ku buat ambigu, karena aku berharap bisa memperjelasnya, dalam balutan nada dan dentingan dawai kehidupan.
Terima kasih telah menemani dalam setiap detik di penghujung waktu, terima kasih untuk setiap detik waktu yang tersedia ketika di awal waktu ia kembali menyapa, terima kasih untuk secercah keyakinan tentang permukaan setiap kemungkinan yang mulai tenggelam, si penggenggam hujan akan bersenandung, dan dia akan menemukan ‘pelukis langit’ dengan versinya..


Read More




Minggu, 16 November 2014

Wanita Penggenggam Hujan

#Prosa


Harinya benar-benar kacau, semua rencana yang telah disusun tiba-tiba tak berbentuk, berantakan. Belum lagi mengenai hati, masalah pekerjaan sepertinya juga mulai mengintimidasi. Wajar, karena semuanya akan berproses bukan? Tidak akan mendapatkan apapun, kecuali dengan usaha dan kerja keras. Setelah itu bersyukur dan ikhlas, dan berharap mendapat ridho-Nya.
Apa yang bisa dinikmati sesiang ini, ketika langit tak lagi berseri? Secangkir kopi yang sudah menjadi dingin dan berbatang-batang tembakau terbaik dari negeri ini, mungkin itu menjadi sebuah racun, namun itu juga bisa menjadi penawarnya, mungkin saja.

Aku, masih berada di sini, berhadapan dengan kertas dan layar monitor, angan melayang, mencoba menggambarkan bentuk perasaan melalui goresan tulisan. Mencoba meluapkan amarah, menyalurkannya dengan cara yang berbeda. Ketika orang-orang menyampaikan amarahnya dengan bara api, aku akan melakukannya dengan menggunakan air, bisakah? Tak ada yang tidak bisa bukan?

Berkali-kali aku mencoba untuk bisa kembali berdiri, berdamai dengan rasa sesal dan sedikit keraguan, mencoba menentukan pilihan, masalahnya hanya satu. Layakkah aku memilih? Bahkan sedari dulu aku diajarkan untuk selalu menerima setiap pemberian dari yang maha kuasa, dan sekarang aku harus memilih? Alangkah bodohnya hidup, jika kita terus menerus memilih tanpa mengukur diri.

Mengukur diri, itu yang harus dilakukan, seberapa layak kita mendapatkan sesuatu yang diharapkan, jika tidak terlalu baik, maka jangan berharap yang terlalu baik, semua hasil telah ditentukan berdasarkan kadarnya masing-masing bukan?

Dan di sinilah aku berada, mencoba menerjemahkan semua prosa yang bermakna ambigu, samar.
Dia benar-benar kacau, tak ada tawa yang mengiasi wajah yang biasa sumringah. Terpekur dengan keadaan, masih memiliki harapan sederhana, yang diyakini sebagai cita-cita terbesar dalam hidupnya. Menjadi PNS.

Mungkin ia tidak cantik seperti para wanita di luar sana, begaya modis dengan berbagai aksesoris yang menempel di tubuhnya, mungkin juga dia tidak semenarik para model iklan di televise dengan rambut panjang dan rok super mini, atau mungkin juga ia akan kalah anggun jika dibandingnkan dengan pemeran film dalam romansa cinta yang selalu diputar setiap minggu, di bioskop-bioskop kota ini.

Tapi tidak bagiku, dia lebih dari sekedar bentuk fisik yang cantik dan anggun, lebih dari sekedar menarik. Atau pernah suatu ketika dia berujar, bahwa suaranya paling cempreng di antara keluarganya, tapi bagiku suaranya cukup halus, bisa menenangkanku, sesekali. Tidak, sering kali bahkan.

Pagi itu, suasana masih berkabut, dingin. Musim hujan. Rentetan pertanyaanku tak juga dijawab, dia masih enggan menyampaikan apa yang diketahuinya, aku lebih dari mengerti mengenai posisinya, aku lebih paham, mungkin.

Mungkin kesalahan terbesarku adalah menyeretnya ke dalam permasalahan ini, masalahku, mungkin kini akan menjadi masalah untuknya, dan hanya beribu maaf dan sesal yang bisa kutawarkan untuknya, tak ada yang bisa dilakukan kecuali itu.

Cukup, mungkin aku tidak akan melibatkannya lagi dalam setiap masalahku, terlebih jika mengenai hati, walaupun jujur ku akui, saat ini bahkan si pengagum senja dan orion sekali pun tak mengerti tentang kondisi ini, terlebih satu nama yang aku enggan menyebutnya, meski dengan sebutan yang biasa ku sematkan kepadanya, satu nama yang tidak pernah berubah, dari dua hal yang paling ku sukai di dunia ini, hujan dan senja.

Wanita penggenggam hujan, si pembawa pesan, si pengingat kehidupan, si penunggu waktu apa lagi nama yang akan ku sematkan kepadanya, entahlah. Itu hanya sebuah sebutan untuknya, itu adalah bentuk ucapan terima kasih yang mungkin tak pernah bisa kusampaikan dengan arti yang tinggi.
….
Aku pernah berbicara tentang janji. Dulu kalimat itu menjadi sebuah kalimat yang paling manis, lalu gampang ku muntahkan jika terasa hambar, dan ku beritahu kau tentang sesuatu, kalimat itu kini selalu menghantuiku. Aku tahu akibat dari semua janji yang tak pernah ku tepati, ada banyak orang terluka, hingga mereka sulit untuk sekedar berdiri dengan kaki sendiri. Dan hari ini, aku kembali berjanji, dan itu akan ku tepati, aku akan berusaha melunasi setiap hutang sebelum benar-benar si pencabut maut menjemput.

Dari sini, dari tempat yang enggan ku tinggalkan, karena ada banyak keindahan di dalam ruang dan waktu, silam. Aku mulai menuliskan tentangnya, menuliskan tentang dia, tentang diriku, tentang semuanya, ada banyak sekali hal yang terlewatkan, selagi kaki masih ingin menapak di tempat ini, aku akan terus menatap hamparan ilalang yang terus selalu tumbuh, aku akan terus menikmati rinai hujan yang kini terasa sangat menyakitkan, dan aku akan tetap menikmati itu, sekali pun itu menjadi sangat menyakitkan, hujan, selalu menimbulkan ketenangan bagiku.

Dan ketika ku genggam hujan ini untuknya, maka aku akan menceritakan segala ungkapan dari hati melalui tetesan yang menenangkan, genggaman ini tak akan ku lepaskan, sampai ada seseorang yang bisa memeluknya, nanti.


Ini kisah yang terus akan ku tuliskan, tentang wanita penggenggam hujan..
Read More




Kamis, 23 Oktober 2014

Ini Bagian yang Terlupakan, Tentang Senja

#Rekonstruksi



Ini akan berbeda dari sebelumnya. Kembali, aku harus memutar otak. Merekonstruksi bagian-bagian yang tak lagi kokoh, seperti mendayung perahu di arus yang tenang, tanpa angin. Benar-benar tenang, tak beriak.

Beberapa catatan usang kembali terbuka, jurnal itu kembali terbuka dengan sendirinya. Dan entah kenapa, ketika corong-corong surau itu mengumandangkan adzan maghrib – Tepat setelah matahari menghujam ke bagian barat – aku mulai menuliskan tentang ini.

Lampu-lampu mulai menyala, menghiasi pekat yang semakin tak terlihat. Namun, selarik cahaya itu semakin banyak, bertebaran. Seperti jutaan kunang-kunang yang membelah malam. Sejenak mataku terkoneksi dengan otak, lalu masuk ke dalam hati, kembali memutar memori. Tentangnya.

Angin berdesau kencang, fisikku mulai ambruk. Sepertinya berhari-hari tak tidur dan cuaca mempengaruhi semuanya. Kepala mulai sedikit pusing, bersin-bersin dan seperti biasa, lambungku berontak. Masalah klasik.

Aku ingin kembali bercerita tentang senja yang merona, ingin kembali sejenak mengenangnya. Di antara hawa dingin malam, tanpa rembulan. Hanya ada awan kelabu, berserabut warna yang akan bertambah pekat. Hitam.

Pikirku kembali beranjak, dari satu putaran waktu, ke putaran waktu berikutnya. Berunut, beralur mundur. Beberapa waktu lalu, entah kapan tepatnya, aku tak begitu mengingatnya. Ada percakapan yang – bisa jadi – hanya menjadi sebuah permulaan, basa-basi. Namun, di sepertiga malam, aku begitu menginginkan dia menemaniku, dalam dekapan untaian kata dan sedikit tutur sapa.

Ada bentangan warna yang ku tawarkan kepadanya, aku pernah berujar: "Kau tahu? Ketika halilintar menggurat malam yang pekat dengan cahaya putih menyilaukan itu, di sanalah terlihat keindahannya (meskipun kau bilang itu menyeramkan), bukankah keindahan itu bisa berwarna apa saja? Merah, hijau, biru, oranye, terang, menyala, redup, gelap. Pekat.

Bahkan dengan dentingan suara jutaan air yang tumpah dari cakrawala itu, bisa tenangkan kita, dalam dingin dan pekatnya malam yang hening. Kita akan terlelap. Tidur..

"Selamat malam, kita tahu, indah tak melulu bercerita tentang warna cerah, kita akan segera sepakat, bahwa di antara warna kelabu akan ada keindahan yang tertera di dalamnya. Percayalah, Tuhan selalu A-D-I-L!"

Ini tetang senja, bisa saja tentang pekatnya malam, dan berharap ada purnama menghiasi angkasa. Atau aku juga berharap tentang hujan, bisa saja. Ada dalam setiap kenangan yang kemudia tertera di dalam secarik kertas usang. Tapi itu tidak benar-benar usang. Aku masih belum tahu arah tulisan ini. Ini hanya ada di dalam benakku saja, tentang kenangan senja yang terluka. Tentang hujan yang tak kunjung menyapa, tentang semuanya.

Waktu itu, pernah ku katakan kepadanya. Bahwa dalam satu kisah akan ada banyak lakon di dalamnya, akan ada banyak nada dalam satu simphoni. Tentang dia yang memelukmu ketika malam menjelang, sehabis acara makan malam. Atau lebih tepatnya, kencan. Kau berujar itu hanya sebatas teman, itu hanya sekilas tentang cerita yang tak pernah kau ucapkan, tapi aku sungguh tahu alurnya. Meski tak benar-benar akurat, setidaknya tebakanku masih benar adanya. Meski kau sedikit mengelak, masa bodoh. Aku tak perduli.

Mungkin aku akan kembali bercerita, ada banyak kisah yang akan ku tuliskan tentang senja. Tapi sepertinya aku harus menunda, ada urusan yang lebih penting, dari apapun di dunia ini. Tak bisa di tunda lagi. Dan ku putuskan, akan ku sudahi sampai di sini, tentang ini. Entah kapan akan ku tuliskan lagi tentang cerita yang sama, karena ada bagian dari cerita lain yang belum ku selesaikan, hanya untuk mengingatkan, aku masih bisa merasakan hangatnya semburat warna jingga yang perlahan menghujam ke jantung bumi, tenggelam di arah barat. Dan pekat, pekat menghiasi sisa cerita selanjutnya. Tanpa cahaya, hanya ada gelap. Tanpa warna.

Hanya beberapa menit sejak ku putuskan untuk mengakhiri kisah ini, tapi sejenak kemudian jemari dan hati enggann berhenti. Dan aku masih belum tahu, apa yang akan dituliskan. Setidaknya, ada bagian percakapan yang masih bisa ku rekam, beberapa malam lalu.

Ini semua tentang semburat jingga yang tak ku jumpai beberapa waktu, karena aku lebih memilih bercengkrama dengan pekatnya malam tanpa warna, hanya ada dingin dan sepi. Sendiri. Beberapa kali hujan turun, namun secepat itu pula mentari menghilangkan bekas-bekasnya, secepat angin berhembus, tak terlihat.

Di penghujung hari, ketika malam merangkak pelan. Menelan cahaya menyala sore tadi. Tak ada gemintang, terlebih cahaya bulan. Kosong. Tapi, setidaknya aku bisa bercerita meski tanpa warna. Bukankah beberapa waktu lalu aku mengajakmu untuk menyepakati satu warna yang akan berujung indah, dengan makna melebihi warna-warna terang benderang? Kita akan segera mengerti bahwa semuanya akan berakhir indah, ini berbicara tentang kuasa-Nya, tentang kehendak-Nya, bukan tentang keinginan kita. Apa yang akan kita ingkari tentang kuasa dan kehendak-Nya? Bukakah terlalu lancang jika kita terus bertanya, tentang sesuatu yang pasti terbaik menurut-Nya untuk kita? Terlalu bodohkah kita? Terlalu bebalkah kita? Bodoh, jika kita terus merutuki keadaan yang ada. Tolol jika kita terus menginginkan semuanya, sesuai dengan kehendak kita.

Tentang senja, tentang hujan, tentang rembulan, tentang si pembawa pesan, tentang bintang bernama orion atau tentang sang pujaan yang tak juga datang beranama rintik senja, dan itu semua ada di dalam satu rangkaian cerita dari sang pencipta, akulah si pembuat cerita, dan aku akan membubuhkan semua cerita itu dengan apa yang ku inginkan. Tidak ada satupun yang bisa melawan, karena semua itu hanya fiksi. Sebatas cerita tanpa makna, tapi setidaknya akan ada satu paragraf pesan tentang semua tulisan ini. Dan aku akan kembali membawa cerita tentang senja yang merona, senja yang memeluk mesra, tentang semburat warna jingga yang menikam malam.
Read More




Senin, 13 Oktober 2014

Selarik Kisah Tentang Hujan (Aku dan Wanitaku, Rintik Senja)

#Berai Terangkai
ilustrasi: keritingkecil.files.wordpress.com


Entah, berapa banyak sajak yang tercipta atas namanya. Mungkin ada ratusan, mungkin juga ribuan. Aku tak pernah menghitungnya. Sejak waktu itu, pernah beberapa kali aku berkisah tentang itu. Memberikan sentuhan dengan melodi terindah, sentuhan terlembut, berhembus pelan. Berjajar rapih, sesekali berserakan, sesekali berguguran, sesekali basah, sesekali luluh, sesekali berai, sesekali terkulai, sesekali berteriak, lantang, panjang, keras, membahana. Menggema.

Tapi, aku harus kembali mengunyah rasa pahit itu. Aku harus menelan semuanya, pada saat itu juga. Harus tandas, tak berbekas.

Tapi, apa dayaku? Aku sama seperti kalian, terkadang bisa begitu kuat, terkadang begitu superior, terkadang begitu ambisius, terkadang marah, terkadang terpesona, pernah jatuh cinta, pernah merasakan cinta, pernah merasa bahagia. Tapi apakah aku pernah terluka? Apa aku pernah kecewa? Apa aku pernah merasa nestapa? Apa aku pernah putus asa? Apa aku pernah… Entahlah, semua itu pernah ku rasakan juga, seperti yang ku katakan. Aku menelan semua itu, dalam satu waktu. Hingga rasa pahitnya enggan menghilang.

Ada selarik kata, tertulis dalam aksara seirama dengan lembayung senja. Ada kata-kata tanpa makna menghiasi diantara lirik dan barisan kata itu. Tadi, bulan itu tertutup bumi. Gerhana. Lamat-lamat terdengar takbir dari corong-corong masjid dan mushola, dan baru ku sadari setelah bertanya ada apa gerangan.

Aku seperti tak pernah bosan untuk kembali bercerita dalam balutan romansa, menari-nari bersama indahnya kenangan, kembali merangkak dalam rasa kepedihan, tersungkur dalam kesenjangan antara keinginan dan kenyataan, merobek kisah kelam, lalu menuliskannya kembali, lalu merobeknya lagi, kemudian ku lakukan berulang-ulang. Klise.
“Apa kabarmu?” tanyaku malam itu, ketika ku jemput kau di pinggir jalan. Dengan ransel dan balutan jilbab, aku lupa warnanya. Tapi masih ku ingat, itu tampak serasi.

Tersenyum, kemudian kau jawab:”Baik.” aku balas senyumanmu, ku buat lebih manis, berusaha mati-matian. Menahan rindu yang selalu menggebu.

Ini adalah pertama kalinya untukku, kembali bertatap muka setelah kau torehkan luka. Luka yang masih menganga, terasa sakit jika terbuka. Tapi, ku coba untuk tidak merasakannya. Rela.

“Sudah lama?” tanyaku memecah keheningan. Suasana masih ramai, suasana khas terminal. Terminal terbesar kedua di kota ini, baru saja terdengar suara adzan isya, jadi ku perkirakan waktu menunjukkan pukul tujuh malam, lebih beberapa menit.

“Lumayan.” jawabnya singkat, terlihat malu-malu menatapku.

Aku tak kalah gemetar, mencoba bersikap biasa. Mencoba berdamai dengan hati, mencoba menenangkan diri. Tapi tetap saja, jantungku berdebar lima kali lebih cepat dari biasanya. Ku berikan isyarat kepadanya, agar membonceng besi tua tungganganku. Vespa tahun 1965, lebih tua dari usiaku. Ekstotik, menawan. Semox namanya.

“Kita ke mana? Langsung pulang, atau mau makan?” tanyaku, berusaha mencairkan kebekuan.

“Terserah kakak.” jawabnya singkat. Ia masih sama, tak suka ditanya, tak suka diberikan pilihan.

“Kita makan dulu kalau begitu. Mau makan apa?” tanyaku. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan. Karena, lagi-lagi aku yang akan menentukan.

“Hmm,, makan daging sepertinya enak.” jawabnya dengan tawa itu, tawa yang sekian lama menghantuiku. Sudah ku tebak, makanan jenis itu akan menjadi jenis makanan pertama yang dipilihnya.

Bandung terasa sangat dingin, terminal Cicaheum. Pukul tujuh lebih, genangan air masih terlihat di beberapa sudut jalan. Baru saja hujan reda. Aku suka suasananya.

Vespa tua, berjalan pelan. Menembus hawa dingin, memecah keramaian, menyibak lalu lalang kendaraan, sesekali klakson terdengar dari pengguna jalan. Aku tak peduli. Masih ku nikmati malam ini, masih ku nikmati dingin ini. Aku terlalu senang untuk merasakan dingin yang menggigit.

Jelas, ini bukanlah kali pertama kami berjumpa. Dia, dulu wanitaku. Kini, entahlah. Setidaknya aku masih bisa berharap tentangnya. Ya, aku masih begitu menyayanginya. Tak peduli seberapa perih luka yang digoreskannya, tak peduli seberapa pahit kenyataan yang dituangkan ke dalam perasaan. Hatiku terlalu jujur jika harus membencinya.

Masih ramai, tak ada keheningan. Bahkan hatiku juga terdengar gaduh. Tak jelas apa iramanya. Tapi, terlalu berisik untuk bisa dijamah dengan perasaan. Ada selintas bahagia dan luka yang bercampur menjadi satu. Tapi, ku putuskan, aku bisa kembali merasakan dingin dan dari ujung kaki, melalui pori-pori jari, merambat pelan ke antara kaki, pelan menjalar ke tubuh, kemudian menyebar ke kepala, dicerna, kemudian hati bisa merasakan itu, perlahan.

Sekilas ku tatap matanya, aku masih belum bisa menilainya, karena aku tak tahan berlama-lama menatap bagian itu. Terlalu dahsyat, menghujam. Pelan-pelan, mampu hilangkan kosa kata dalam rangkaian prosa yang telah ku kumpulkan dari tumpukan novel yang ku baca. Aksaranya menjadi kabur, abstrak.

Malam beranjak pelan, sengaja ku buat pelan laju si besi tua ini. Ingin lebih lama menghabiskan waktu dengannya, meski pertemuan ini mungkin terlihat canggung. Tapi, aku bisa kembali merasakan, tak akan lama ini mencair, mungkin lima menit, satu jam, satu hari, satu bulan, satu tahun, entah. Satu hal yang selalu ku yakini, ini akan membaik.
Beberapa bulan lalu, kejadiannya terjadi begitu saja. Ketika malam beranjak pelan, langit menghitam pekat, lebih gelap dari apapun. Untuk kesekian kali, aku harus merasakan keheningan menjadi lebih dari sekedar sepi. Ketika malam tercabik melalui kenangan terperih, rintihan dari sebuah hati yang terlihat begitu kuat itu akhirnya luluh.

Sunyi ini begitu mencekam, semangatku berantakan, porak-poranda. Berserakan, tercabik menjadi bagian-bagian kecil tak terlihat. Luruh, hancur.

Aku tak terlalu kuat ketika berhadapan dengan hal yang berhubungan dengan rasa. Ini bukan tentang berjalan diantara tebing curam, lebih dari sekedar mendaki gunung. Lebih dari sekedar mengarungi jeram dan memanjat tebing, ini lebih pekat daripada berjalan menyusuri goa, ini lebih panjang daripada berjalan menyusuri garis pantai di bagian selatan bumi nusantara. Ini lebih panas dari sekedar siang musim kemarau, ini lebih kering daripada suhu di gurun gersang, ini lebih dingin daripada suhu di bagian kutub bumi.

Aku takluk di hadapan sebuah rasa, aku tak begitu menyukainya. Percayalah, bertahun-tahun belakangan ini, aku ditempa dengan situasi yang tak begitu indah. Serangkaian kehilangan silih berganti menyambangiku. Rasa kehilangan yang menyebabkan kepada sebuah penyesalah, dan kali ini, ketika ku katakan dalam hati tenang janji itu, aku enggan untuk kesekian kalinya kehilangan.

Tapi apa daya, Jemari Tuhan terlalu kuat untuk di lawan. Tak berdaya, hanya bisa mencoba belajar menerima. Rela.

Pernah ku dengar sebuah ungkapan dari salah seorang sahabat nabiku. “Jika aku berdoa dan Allah mengabulkannya, maka aku akan bahagia. Tapi jika aku berdoa dan Allah tak mengabulkannya, maka aku lebih gembira. Karena yang pertama adalah keinginanku, sedangkan yang kedua adalah keinginan-Nya” sepertinya ungkapan sahabat nabiku itu terlalu berat untuk segera ku maknai, batasku belum mencapai ke arah itu. Keinginanku lebih kuat daripada memaknai kehendak-nya. Aku kembali terkulai, lemas. Nelangsa.

Butuh lebih dari satu pekan untuk mengembalikan semuanya, lebih dari sebulan untukku memahami situasinya, dan beranjak satu semester untukku bisa benar-benar mengerti apa yang terjadi, sampai akhirnya kata rela itu tercipta, tapi masih ada rasa yang tersisa. Masih ada harapan yang menyala, hingga akhirnya kini aku menjadi si pembuat cerita. Menjadi pengkhayal yang selalu dipenuhi dengan fiksi, aku adalah pelaku, aku adalah penulis dan aku adalah sutradaranya. Aku si pengendali kisah.
….


Jemariku, perlahan bergerak mengikuti bisikan hati. Perlahan, mencari jemarinya yang memegang erat kemeja andalanku. Planel kotak-kotak warna biru. Masih terasa dingin, tapi terasa bisa menghangatkan suasana. Kembali, romansa itu mengalir pelan. Memasuki setiap celah dari hati yang sempat terluka, menyembuhkan kegetiran yang berujung duka. Malam hari, di penghujung bulan Juni, hujan turun sejak sore, Rintik Senja kembali bercerita. Dan inilah awalnya..
Read More




Kamis, 09 Oktober 2014

Selarik Kisah Tentang Hujan (Aku dan Wanitaku, Rintik Senja)

#Berai Terangkai





Entah, berapa banyak sajak yang tercipta atas namanya. Mungkin ada ratusan, mungkin juga ribuan. Aku tak pernah menghitungnya. Sejak waktu itu, pernah beberapa kali aku berkisah tentang itu. Memberikan sentuhan dengan melodi terindah, sentuhan terlembut, berhembus pelan. Berjajar rapih, sesekali berserakan, sesekali berguguran, sesekali basah, sesekali luluh, sesekali berai, sesekali terkulai, sesekali berteriak, lantang, panjang, keras, membahana. Menggema.

Tapi, aku harus kembali mengunyah rasa pahit itu. Aku harus menelan semuanya, pada saat itu juga. Harus tandas, tak berbekas.

Tapi, apa dayaku? Aku sama seperti kalian, terkadang bisa begitu kuat, terkadang begitu superior, terkadang begitu ambisius, terkadang marah, terkadang terpesona, pernah jatuh cinta, pernah merasakan cinta, pernah merasa bahagia. Tapi apakah aku pernah terluka? Apa aku pernah kecewa? Apa aku pernah merasa nestapa? Apa aku pernah putus asa? Apa aku pernah… Entahlah, semua itu pernah ku rasakan juga, seperti yang ku katakan. Aku menelan semua itu, dalam satu waktu. Hingga rasa pahitnya enggan menghilang.

Ada selarik kata, tertulis dalam aksara seirama dengan lembayung senja. Ada kata-kata tanpa makna menghiasi diantara lirik dan barisan kata itu. Tadi, bulan itu tertutup bumi. Gerhana. Lamat-lamat terdengar takbir dari corong-corong masjid dan mushola, dan baru ku sadari setelah bertanya ada apa gerangan.

Aku seperti tak pernah bosan untuk kembali bercerita dalam balutan romansa, menari-nari bersama indahnya kenangan, kembali merangkak dalam rasa kepedihan, tersungkur dalam kesenjangan antara keinginan dan kenyataan, merobek kisah kelam, lalu menuliskannya kembali, lalu merobeknya lagi, kemudian ku lakukan berulang-ulang. Klise.
“Apa kabarmu?” tanyaku malam itu, ketika ku jemput kau di pinggir jalan. Dengan ransel dan balutan jilbab, aku lupa warnanya. Tapi masih ku ingat, itu tampak serasi.

Tersenyum, kemudian kau jawab:”Baik.” aku balas senyumanmu, ku buat lebih manis, berusaha mati-matian. Menahan rindu yang selalu menggebu.

Ini adalah pertama kalinya untukku, kembali bertatap muka setelah kau torehkan luka. Luka yang masih menganga, terasa sakit jika terbuka. Tapi, ku coba untuk tidak merasakannya. Rela.

“Sudah lama?” tanyaku memecah keheningan. Suasana masih ramai, suasana khas terminal. Terminal terbesar kedua di kota ini, baru saja terdengar suara adzan isya, jadi ku perkirakan waktu menunjukkan pukul tujuh malam, lebih beberapa menit.

“Lumayan.” jawabnya singkat, terlihat malu-malu menatapku.

Aku tak kalah gemetar, mencoba bersikap biasa. Mencoba berdamai dengan hati, mencoba menenangkan diri. Tapi tetap saja, jantungku berdebar lima kali lebih cepat dari biasanya. Ku berikan isyarat kepadanya, agar membonceng besi tua tungganganku. Vespa tahun 1965, lebih tua dari usiaku. Ekstotik, menawan. Semox namanya.

“Kita ke mana? Langsung pulang, atau mau makan?” tanyaku, berusaha mencairkan kebekuan.

“Terserah kakak.” jawabnya singkat. Ia masih sama, tak suka ditanya, tak suka diberikan pilihan.

“Kita makan dulu kalau begitu. Mau makan apa?” tanyaku. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan. Karena, lagi-lagi aku yang akan menentukan.

“Hmm,, makan daging sepertinya enak.” jawabnya dengan tawa itu, tawa yang sekian lama menghantuiku. Sudah ku tebak, makanan jenis itu akan menjadi jenis makanan pertama yang dipilihnya.

Segera ku pilih tempat makan favoritku. Ku hentikan laju scooter tua ini di depan sebuah kedai yang menyediakan berbagai makanan khas jawa. Dari daftar menu tertera berbagai jenis olahan daging.

“ Di sini aja, mau?” tanyaku

“Boleh. tapi sepertinya penuh.” ia menunjuk ke dalam, sementara aku masih berusaha memarkirkan kendaraan yang susah menyelinap di sela-sela kendaraan roda dua yang lebih ramping. Aku melihat ke dalam, penuh ternyata.

“Hmm, apa kita cari tempat makan yang lain?” jawabku menawarkan. Ia melirik ke arloji di tangan kanannya.

“Sepertinya kita pulang, sudah malam. Lagipula aku tadi janji sama mama, langsung pulang.” jawabnya, berusaha menolak ajakanku sehalus mungkin agar tak membuatku kecewa.

“Oke, kita pulang.” jawabku dengan senyum.

“Yuk, naik.” ia bergegas membonceng di belakang. Tak berapa lama, kembali kami berjalan diantara lalu lintas malam yang masih ramai.

Bandung terasa sangat dingin, terminal Cicaheum. Pukul tujuh lebih, genangan air masih terlihat di beberapa sudut jalan. Baru saja hujan reda. Aku suka suasananya.

Vespa tua, berjalan pelan. Menembus hawa dingin, memecah keramaian, menyibak lalu lalang kendaraan, sesekali klakson terdengar dari pengguna jalan. Aku tak peduli. Masih ku nikmati malam ini, masih ku nikmati dingin ini. Aku terlalu senang untuk merasakan dingin yang menggigit.

Jelas, ini bukanlah kali pertama kami berjumpa. Dia, dulu wanitaku. Kini, entahlah. Setidaknya aku masih bisa berharap tentangnya. Ya, aku masih begitu menyayanginya. Tak peduli seberapa perih luka yang digoreskannya, tak peduli seberapa pahit kenyataan yang dituangkan ke dalam perasaan. Hatiku terlalu jujur jika harus membencinya.

Masih ramai, tak ada keheningan. Bahkan hatiku juga terdengar gaduh. Tak jelas apa iramanya. Tapi, terlalu berisik untuk bisa dijamah dengan perasaan. Ada selintas bahagia dan luka yang bercampur menjadi satu. Tapi, ku putuskan, aku bisa kembali merasakan dingin dan dari ujung kaki, melalui pori-pori jari, merambat pelan ke antara kaki, pelan menjalar ke tubuh, kemudian menyebar ke kepala, dicerna, kemudian hati bisa merasakan itu, perlahan.

Sekilas ku tatap matanya, aku masih belum bisa menilainya, karena aku tak tahan berlama-lama menatap bagian itu. Terlalu dahsyat, menghujam. Pelan-pelan, mampu hilangkan kosa kata dalam rangkaian prosa yang telah ku kumpulkan dari tumpukan novel yang ku baca. Aksaranya menjadi kabur, abstrak.

Malam beranjak pelan, sengaja ku buat pelan laju si besi tua ini. Ingin lebih lama menghabiskan waktu dengannya, meski pertemuan ini mungkin terlihat canggung. Tapi, aku bisa kembali merasakan, tak akan lama ini mencair, mungkin lima menit, satu jam, satu hari, satu bulan, satu tahun, entah. Satu hal yang selalu ku yakini, ini akan membaik.
Beberapa bulan lalu, kejadiannya terjadi begitu saja. Ketika malam beranjak pelan, langit menghitam pekat, lebih gelap dari apapun. Untuk kesekian kali, aku harus merasakan keheningan menjadi lebih dari sekedar sepi. Ketika malam tercabik melalui kenangan terperih, rintihan dari sebuah hati yang terlihat begitu kuat itu akhirnya luluh.

Sunyi ini begitu mencekam, semangatku berantakan, porak-poranda. Berserakan, tercabik menjadi bagian-bagian kecil tak terlihat. Luruh, hancur.

Aku tak terlalu kuat ketika berhadapan dengan hal yang berhubungan dengan rasa. Ini bukan tentang berjalan diantara tebing curam, lebih dari sekedar mendaki gunung. Lebih dari sekedar mengarungi jeram dan memanjat tebing, ini lebih pekat daripada berjalan menyusuri goa, ini lebih panjang daripada berjalan menyusuri garis pantai di bagian selatan bumi nusantara. Ini lebih panas dari sekedar siang musim kemarau, ini lebih kering daripada suhu di gurun gersang, ini lebih dingin daripada suhu di bagian kutub bumi.

Aku takluk di hadapan sebuah rasa, aku tak begitu menyukainya. Percayalah, bertahun-tahun belakangan ini, aku ditempa dengan situasi yang tak begitu indah. Serangkaian kehilangan silih berganti menyambangiku. Rasa kehilangan yang menyebabkan kepada sebuah penyesalah, dan kali ini, ketika ku katakan dalam hati tenang janji itu, aku enggan untuk kesekian kalinya kehilangan.

Tapi apa daya, Jemari Tuhan terlalu kuat untuk di lawan. Tak berdaya, hanya bisa mencoba belajar menerima. Rela.

Pernah ku dengar sebuah ungkapan dari salah seorang sahabat nabiku. “Jika aku berdoa dan Allah mengabulkannya, maka aku akan bahagia. Tapi jika aku berdoa dan Allah tak mengabulkannya, maka aku lebih gembira. Karena yang pertama adalah keinginanku, sedangkan yang kedua adalah keinginan-Nya” sepertinya ungkapan sahabat nabiku itu terlalu berat untuk segera ku maknai, batasku belum mencapai ke arah itu. Keinginanku lebih kuat daripada memaknai kehendak-nya. Aku kembali terkulai, lemas. Nelangsa.

Butuh lebih dari satu pekan untuk mengembalikan semuanya, lebih dari sebulan untukku memahami situasinya, dan beranjak satu semester untukku bisa benar-benar mengerti apa yang terjadi, sampai akhirnya kata rela itu tercipta, tapi masih ada rasa yang tersisa. Masih ada harapan yang menyala, hingga akhirnya kini aku menjadi si pembuat cerita. Menjadi pengkhayal yang selalu dipenuhi dengan fiksi, aku adalah pelaku, aku adalah penulis dan aku adalah sutradaranya. Aku si pengendali kisah.
….

Jemariku, perlahan bergerak mengikuti bisikan hati. Perlahan, mencari jemarinya yang memegang erat kemeja andalanku. Planel kotak-kotak warna biru. Masih terasa dingin, tapi terasa bisa menghangatkan suasana. Kembali, romansa itu mengalir pelan. Memasuki setiap celah dari hati yang sempat terluka, menyembuhkan kegetiran yang berujung duka. Malam hari, di penghujung bulan Juni, hujan turun sejak sore, Rintik Senja kembali bercerita. Dan inilah awalnya..
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML