Jumat, 27 Juni 2014

Isyarat Itu Berbicara Melalui Firasat



Masih bisa ku dengar suara yang sama meski dengan nada yang berbeda. Perlahan suasananya mencair, perlahan mengalir tenang. Seperti sapa yang dulu begitu akrab terdengar ketika pagi menjelang, aku seperti terjaga di tengah malam. Seperti lantunan lagu melayu yang mendayu-dayu, bergelombang, aliran cerita itu berjalan sesuai dengan yang ku perkirakan, meski lambat bergerak, namun semuanya seperti apa yang sudah di isyaratkan di awal kisah.
            Ada isyarat yang begitu jelas dan bisa ku tebak arahnya, masih bisa ku terka laju ceritanya. Masih saja kau minta aku menuliskan cerita tentangmu, kau selalu ingin menjadi bagian dari alur kisahnya. meski kau menatap rembulan dengan arah yang berlawanan denganku, namun sering kali ku katakana, rembulan yang kau lihat itu, masih saja sama dengan rembulan yang ku lihat. Dari sudut pandang manapun ia akan terlihat sama.
            Tanpa diminta, sebenarnya semua bagian dalam ceritaku adalah ceritamu, ada kisah yang ku samarkan, tidak harus mencolok terlihat karena aku ingin kau memahami terlebih dahulu. Segala sesuatu itu tidak bisa di mengerti secepat kilat menyambar, tidak selalu cepat bisa bergerak. karena dengan mengerti perlahan, maka akan banyak pelajaran yang bisa kau dapatkan.
            Ada bagian-bagian tertentu yang tidak harus di mengerti, namun bagian-bagian itu harus di pahami. Ada sesuatu yang tidak kau mengerti, padahal jelas bisa kau pahami. Semuanya mengarah pada sebuah tujuan, jika kau bercerita tidak tahu alur berikutnya, maka kau bisa membuat alur itu menjadi seperti yang kau inginkan. Kau bilang bimbang, tapi kau tetap menuju ke arahnya. Kau bilang takut, tapi justru kau mendekatinya, kau bilang tidak mampu, tapi kau tetap berusaha.
            Pernah ku torehkan banyak warna pada satu lukisan, pernah juga ku koyakkan buku catatan pada bagian yang ku suka, aku juga sesekali memberikan garis tebal pada sebuah tulisan. Ku tahu, kau pun pernah melakukan itu, karena tidak selamanya tulisan itu selalu indah untuk di baca.
            Sudah beberapa hari ini aku berada di tempat ini, perlahan semuanya menjadi begitu membosankan, namun pada saat-saat tertentu ada sesuatu yang kurindukan. Aku masih bisa terpesona dengan hal yang sama, dan aku masih menyukainya. Jika kau Tarik garis lurus pada kisahmu, maka akan kau temui aku berada tepat di sampingmu, tidak mendahului atau di belakangmu, karena aku ingin berjalan beriringan, sejajar. Agar sama kaki melangkah, agar bersama kita sampai di tujuan.
            Entah, sepertinya sulit sekali menghapus tinta yang tercoret di buku catatanku, sepertinya akan selalu terlihat ketika ku buka lembaran-lembaran berikutnya. Sajak-sajak yang kutulis tentang kedamaian itu seperti mengarah kepada satu titik, dimana aku bisa berdiri bersama menatap pesona, mereguk keindahan senja dan rembulan yang bersinar terang.

            
Read More




Selasa, 24 Juni 2014

Senja, Aku Membencimu


Waktu tanpa terasa berjalan begitu cepat, meniti langkah dalam setiap alur tangga yang tersusun turun. Menuju kedalam relung terdalam dari hati yang sepi, menyusuri setiap kelokan dan persimpangan yang terus selalu ada di depan. Aku hanya akan selalu menatap ke depan, bukan menatapmu. Begitu kau katakana kepadaku, seperti yang kau katakana, kepekaanku mulai hilang seiring mentari yang tenggelam.

Aku perlahan kembali menjauh, meninggalkan sejuta kesan tentang semburat jingga yang merona. Aku kembali di tikam oleh sebuah tindakan konyol yang selalu menuntunku kedalam sebuah prahara yang entah sepertinya tercipta tanpa sengaja, atau mungkin sengaja tidak kusadari keberadaannya, mengindahkan setiap isyarat yang jelas kau tuliskan kedalam kertas. Isyarat yang jelas kau tunjukkan kepadaku, kepada kita.

 Sesekali ku usap peluh yang menetes dari tubuh, kembali terpaku menatap jalan yang berliku. Sesekali ku lihat ke arahmu, sesekali ku lihat ke arahnya. Ada banyak cabang cerita yang ku tuliskan, ada berjuta kisah tentang pesona yang berbeda. Sesekali ku tebar benih, dan tidak kusadari bahwa benih itu tumbuh dengan harapan-harapan kosong tentang janji yang tidak pernah ku tepati. Aku semakin jauh melangkah meninggalkan harapan yang pernah kutanam. Meninggalkannya dengan luka yang menganga.

Dalam kisah masa silam, kita pernah melewatkan malam. Mengisi setiap kekosongan hati, bercanda diantara mega-mega yang menggulung seperti samudera di angkasa. Kerap kali ku berimajinasi dengan dirimu, berenang dan berdansa di dalam sebuah khayalan, kembali merasakan romansa tentang harapan di masa depan, lalu perlahan kau masuk begitu dalam tanpa bisa ku tahan, kau kembali terjebak diantara lubang yang kutinggalkan. Kosong.

Sering kali ku tuliskan kisah tentangmu, memberikan sejuta kata-kata penuh makna, meracuni pikiranmu dengan kata-kata kosong yang kurangkai, sesaat kau seperti ikan-ikan yang terjerat perangkap nelayan. Menggelepar tak berdaya, pasrah dengan nasib yang belum tentu baik pada akhirnya. Namun, disaat kau terjerat dalam sebuah perangkap, kuberikan air yang menghilangkan dahagamu tentang sebuah rasa, ku belai kau dengan pesona yang membuatmu terpana, lalu sekali lagi kau terperdaya oleh pesona semburat jingga yang merona.

Terik matahari membasahi bumi, hujan kembali membakar hati, angin yang pelan berhembus bercabang memporak-porandakan kepingan harapan, sementara ketika ku bercerita tentang rembulan kepada pesona yang berbeda. Sementara aku kembali meratapi kebodohanku, menyalahkan diri sendiri kau justru berkata sebaliknya, kau kembali mengingatkan tentang harapan-harapanku, impian-impianku, kau kembali mengatakan dengan sangat lugas, tanpa ada penekanan tentang sebuah kebencian yang seharusnya kau tanamkan pada pesona matahari yang akan menepi.

Bersahabatlah dengan senja, dia yang akan menuntun langkahmu pada seseorang yang akan menerimamu tanpa syarat, maafkan aku. Aku hanyalah mentari yang akan menghilang seiring gelap yang datang, lalu keindahanku sesasat akan digantikan dengan pesona rembulan yang bersinar terang, jika saja kau peka, tidak akan ada kata bermakna selamat tinggal pada semburat jingga senja yang mempesona. Seperti itu ujarmu dalam rasa sakit yang ku berikan.

Sering ku katakan, aku hanya pengagum senja, aku hanya mengagumi tanpa bisa memiliki, aku hanya bisa menikmati dari ratusan juta kilometer rentang jarak Antara matahari dan bumi, aku hanyalah seorang penghkhayal yang sedikitpun tak pantas untuk menyentuh keagungan sang rasa, pergilah sayangku, pergilah bersama mentari yang akan menepi, bergilah bersama malam yang kelam, disana akan kau temukan keindahan rembulan yang bersinar terang, rembulan yang bisa menenangkan, rembulan yang akan menjaga rahasia malam.

Usah kau hiraukan senja itu,  karena ia hanya pesona tanpa makna, pergilah. Tentu tidak ada yang bisa diharapkan dari sepotong kenangan yang akan segera membusuk, yang akan meracuni setiap detak dalam degup jantungmu.

Lalu sesaat kemudian kau menuliskan cerita tanpa sepatah kata, hanya sedikit kata yang tertulis diantara kenangan yang kemudian menghilang bersama pekatnya malam. Begitu tegas kau mengatakan, begitu jelas kau gambarkan, dan aku kembali hanya terdiam tanpa kata. Menatapmu dari kejauhan, menyaksikan kenangan yang akan segera menghilang. Lalu tanpa bisa ku tahan, perlahan kau katakan “Aku membencimu, senja”.
Read More




Prolog (Nada asmara)


Burung gereja itu, melayang-layang rendah, berpasangan. Berdansa dihari yang begitu terik, bersama dengan kicauan yang selalu keluar dari paruh mungilnya. Berdendang tanpa memperdulikan sekitar, diantara rerumputan yang mulai mengering, diantara pepohonan tanpa buah, diantara jajaran pegunungan yang menghadap ke lautan. 
Aku hanya bisa menyaksikan dengan iri, betapa damai hidupnya, betapa serasi terlihat, hidup bersahaja, sederhana di tengah hukum rimba yang menakutkan, hukum yang akan mengatakan, yang kuat akan kembali berjaya, yang lemah akan semakin terpuruk tak berdaya.
            Sementara itu pandanganku beralih pada lantai pendopo di depanku, kulihat koloni semut yang sedang mengerubungi sisa-sisa air kelapa yang sesaat sebelumnya menghilangkan dahaga, mencoba mengais rezeki dari sisa-sisa kecerobohan manusia. Sesuatu yang terbuang itu bisa dimanfaatkan oleh sekelompok binatang. Semuanya sudah di golongkan dengan semestinya, sesuai dengan porsinya.
            Bahkan binatangpun akan senantiasa bersyukur kepada sang pencipta, lalu apa gunanya aku sebagai makhluk yang di sempurnakan jika selalu mengeluh tanpa bersyukur sedikitpun? Dengan segala kemampuan dan anugerah yang diberikan sang penguasa jagat raya ini, aku bisa melakukan apa saja, mampu berjalan jutaaan kilometer dalam satu rangkaian perjalanan, mampu melayang di angkasa tanpa sayap, mampu mengarungi lautan tanpa harus mempunyai sirip, mampu merangkak diantara tebing vertical yang menjulang ratusan meter, dan aku bisa melakukan semua itu, dan jika saja sang pencipta tidak menganugerahkan akal dan fikiran tentu semua itu tidak akan pernah bisa dilakukan.
            Kemudian, lihatlah, bagaimana seorang manusia bisa menghancurkan dunia, dengan sekali hentakan menimbulkan huru-hara berkepanjangan, menciptakan perang dan merenggut banyak korban. Lalu seseorang juga bisa membawa kedamaian yang selalu di idamkan, tidak melulu dengan hunusan pedang. Dan semua itu bisa terjadi karena keinginan sang pencipta. agar kita, manusia belajar. Apakah kehancuran bisa membawa ketentraman, atau justru sebaliknya.
            Kita akan selalu diberikan pilihan sebelum melangkah. Kita akan selalu di benturkan dengan keiginan yang siap mencengkram. Dan kita akan selalu diberikan rasa yang saling berlawanan, agar seimbang. Apa lagi yang harus kita ingkari? Seseorang yang begitu bodoh mungkin akan segera menyalahkan Tuhannya ketika ia mendapatkan kenyataan, bahwa apa yang  di inginkan tidak selaras dengan yang di dapatkan. Lalu akan berkeluh kesah, meratap dalam tangis pilu, berteriak lantang dengan nada menantang.
            Lalu akan segara lupa jika pencapaian itu terlaksana dalam separuh lingaran bentangan waktu, mngatakan bahwa apa yang di dapatkan merupakan hasil jerih payah sendiri, tanpa campur tangan sang maha kuasa, lalu akan tertawa jumawa.
            Fikirku terusik akan seseuatu yang belum terjadi, mengkhawatirkan segala sesuatu yang telah diatur sedemikian rupa, berandai-andai dengan tatapan kosong, membayangkan bahwa di depan akan ada nada yang menyambut dengan lengkingan nada-nada bahagia. Atau mengkhawatirkan bahwa esok dan seterusnya hanya akan ada tangis pilu yang tidak pernah berakhir indah.
            Jika melihat, jangan pernah lupa untuk membaca, jika mendengar jangan pernah lupa untuk bisa merasa, jika bisa meraba jangan pernah lupa untuk selalu menggenggamnya. Menyaksikan fenomena alam, menikmati pertunjukan indah dari para pengisi bumi, merekam setiap kejadian, menajadikannya sebagai pembelajaran, kemudian mencoba untuk tetap konsisten dengan tujuan yang telah di rencanakan.
            Akan selalu ada waktu untuk mengucap syukur, tidak perlu iri dengan burung gereja yang terlihat serasi itu, karena pada suatu waktu mereka juga akan saling berkelahi demi sesuap makanan. Jangan pula merasa rendah diri ketika menyaksikan koloni semut yang bisa mengucap syukur meski yang di dapatkan hanya sisa-sisa dari kecerobohan kita.
            Tuhan memberikan kita akal dan pikiran, tentu kita harus bisa menilai dari setiap fenomena yang ditangkap mata, menggali setiap esensi dari kejadian yang di lalui, saling mengingatkan jika salah satu dari kita lupa, saling memikul ketika berat beban kehidupan terasa berat di pundak.
            Dan kita akan bersama-sama berdiri diantara anggunnya puncak-puncak pencapaian yang tetlah diraih, tertawa ketika berhasil mengarungi samudera, menangis haru ketika melalui masa-masa sulit dengan akhir yang membahagiakan. Dengan mengucap syukur bahwa semua itu terjadi karena kehendak-Nya. Bukankah semuanya menjadi sederhana jika kita bisa melaluinya.
            Tuhan tidak akan pernah tidur, Ia akan senantiasa melihat dan memberikan pelukan terhangat ketika kita mengingat-Nya. Ia akan selalu menjadi pelindung terhebat ketika kita menyadari keberadaan-Nya, dan kita akan selalu merasa bahagia jika selalu bisa mensyukuri apa yang didapatkan, anugerah seperti ini tidak akan bisa di beli, dengan harga berapapun.
            Sesederhana itulah kita akan bahagia, maka sesederhana itu pula kita akan merelakan setiap kehilangan, kembali merajut asa, kembali merangkai kata, kembali mencari dan tidak akan pernah berhenti, akan selalu menjadi makna terindah meski hanya lelah yang bisa dirasa saat itu, namun semuanya akan menjadi fase paling indah ketika kita menceritakannya di akhir kisah.
…………

            Duhai pemilik hati, adakah gerangan kini Kau menyiapkan secarik kertas yang di genggam seseorang untuk kembali ku tuliskan cerita indah dengannya, duhai sang pemilik jiwa, adakah Kau berikan kesempatan untukku bisa merasakan hangatnya pelukan sang pujaan yang kini menantiku di persimpangan.
            Duhai penggenggam hujan, berikanlah setetes kesegaran untukku agar bisa menyirami rasa yang akan tumbuh, dan jika sudah berbunga akan ku petik untuknya disana, akan ku berikan dengan segala rasa yang ku pelihara. Selaksa raja yang menghiasi istananya, akan ku bangun singgahsana untukku dan dirinya.
            Duhai pemilik mentari, berikanlah kehangatan ketika pagi dan pesona ketika malam menjelang, agar bisa ku berikan sedikit kehangatan rasa ini untuk menjaganya dari dinginnya malam yang mencengkram. Agar bisa ku peluk ia dengan rasa yang ku pelihara sejak hujan pertama membasahi bumi.
            Duhai rasa, sudikah kau menyambangi hati yang belum ku ketahui pemiliknya. Agar dia senantiasa menjaganya, untukku bisa memiliki rasa yang juga di jaganya. Aku akan senantiasa menanti waktu itu tiba, akan segera ku berikan jika sudah tiba waktunya. Jika Kau berkenan, maka jangan biarkan hati ini kembali mengeras, membatu, agar tak lelah dia menghaluskannya di kemudian.
            Duhai pesona, jangan kau biarkan aku dan dia terperdaya oleh keindahan semu yang kau tampakkan dihadapanku, jangan kau biarkan aku terlena oleh alunan melodi sementara yang terdengar merdu, padahal ku tahu bahwa itu hanya semu. Jangan kau biarkan aku kembali terjatuh kedalam lubang penuh dengan penyesalan.
            Duhai belahan jiwa yang kini entah dimana kau berada, percayalah. Suatu saat nanti kita akan berkata-kata dengan sangat mesra. Penuh dengan harmonisasi yang di selingi nada-nada asmara, aku akan bercerita tentang perjalananku, dan kaupun akan melakukan hal yang sama, dan diantara gelapnya malam yang dingin, kita akan saling berpelukan, mengcoba mengurai letih bersama, dalam balutan nada rasa yang akan selalu terdengar merdu, hingga kita terlelap, hingga kembali mentari kan menyapa melalui kehangatannya.

            
Read More




Selasa, 17 Juni 2014

Harmoni


Rembulan kembali bersinar terang, cahaya melingkar sempurna, bintang gemintang berjajar diantara angkasa yang kelam, tersenyum menyapa diantara kelembutan sang malam, sementara itu gemuruh suara gelombang memecah keheningan, semilir angin berhembus kencang. Aku, kembali menatap biru yang luas. Kembali merasakan belaian angin yang menjadi dingin, merasakan kembali harmoni yang menyatu dengan hati, kembali bersenandung dengan suara deburan ombak, kembali menyapa mentari yang menepi. Kembali merasakan hangat belaian jingga sang senja.
            Perjalanan  ini membawaku pada sebuah tempat yang selalu ramah menyapa, rasa gundah dan gelisah bukanlah perkara yang harus selalu membuat langkah goyah. Tidakkah gelombang itu akan selalu menyambangi sang pasir? kembali menderu, kembali berseru. Berirama. Seperti ajakan untuk kembali berpacu, berlari menjauh dari masa silam, namun begitu dekat dengan masa depan. Aku selalu bisa menadapatkan ketenganan, meski dengan cara yang berbeda.
            Masa itu begitu jauh membawa langkahku berpijak, menjauh kembali bergeser dari tempat dimana semua kenangan itu begitu hidup. Hidup di dalam setiap detak jantung dan helaan nafas. Begitu hangat seperti ketika senja kembali menyapa diantara birunya cakrawala, seperti luasnya samudera yang mengharu biru, seperti sapa sang camar dikala petang menjelang. Seperti semilir angin yang selalu berhembus, membelai tubuh yang mulai lelah.
            Kerlipan perahu nelayan terlihat bagai bintang yang mengapung di lautan, sesaat terlihat, sesaat menghilang, timbul tenggelam diantara gelombang yang menggulung. Aku ingin bercerita pada senja, meski hanya sesaat ia menyapa. Aku ingin berbicara denganmu melalui semilir angin meski tidak kau dengar, namun ku yakin angin akan membisikkan berjuta Bahasa yang bisa dimengerti oleh hati.
            Bukankah kita berpijak di bumi yang sama, menatap angksa yang sama, merasakan hangatnya senja yang sama, menikmati keheningan malam yang sama. Dan kita masih akan terus bersama-sama meski dalam Bahasa harfiah tidak sedang bersama. Detak jantung ini akan terus berirama sama, hanya mungkin sesekali saja berdetak lebih cepat dari sebelumnya, atau melambat dari semestinya.
            Pada suatu malam, ketika keheningan dipecahkah oleh suara gelombang, aku mencoba untuk melangkah diantara gelap yang semakin pekat. Meraba setiap jalan yang tidak terlihat, berjalan menembus kegelapan, berjalan pelan kearah cahaya, berjalan pelan kearah yang sama, denganmu. Tidak ku hiraukan duri-duri dan bebatuan tajam itu menggores telapak kakiku, karena masih bisa ku gunakan untuk tetap berjalan meski perih tertahan. Sedetikpun tidak ku hiraukan terpaan angin yang semakin dingin, merobek pori-pori kulitku, menembus dan menusuk hingga ke tulang, membuat ngilu sekujur tubuh. Aku tetap melangkah meski menggigil menahan dingin.
            Khayalku menuntun kearah semak belukar, uraian masalah yang tidak pernah benar-benar terurai. Sesekali membelit dan menjerat langkah, menahan laju langkah yang tidak bisa berlari, goresan ialalang terkadang membuat kulitku terasa perih. Namun, goresan luka di tubuh itu mengajarkan aku bahwa setiap masalah tentu akan meninggalkan bekas.
            Pada malam-malam selanjutnya, aku masih akan berkisah tentang indahnya tepi pantai, bersenda gurau dengan gelombang, melihat camar bercumbu diantara hempasan gelombang yang menggulung karang. Menyaksikan kepiting berjalan miring, bergerak cepat, lalu menghilang dengan gelombang yang menyambut perlahan.
            Akan kembali ku tuliskan berbagai aksara yang diterjemahkan dalam Bahasa gelombang, akan ku bacakan kembali kisah-kisah yang tidak bisa kau mengerti dengan Bahasa nuranimu, akan ku perjelas dengan bait-bait puisi yang sengaja kutuliskan agar kau tak kesepian ketika malam menjelang.
            Akan kembali ku ingatkan kau tentang malam yang panjang, malam yang selalu kita lalui bersama, menghabiskan cerita dibawah cahaya rembulan, sembari ku genggam jemarimu, sembari ku cium aroma tubuhmu, agar selalu bisa kuingat dan kurasakan ketika jemarimu perlahan terlepas, atau aroma tubuhmu mulai menghilang di bawa oleh hembusan angin, aku akan mengingatnya sekarang untuk hari yang akan datang.

            Jika masih bisa kau rasa, jemariku masih bisa menggenggam erat jemarimu. Atau kau masih bisa dengarkan setiap detak jantungku ketika tubuhku memeluk erat tubuhmu, dan kau masih akan mendengarkan detak yang sama pada setiap detak jantungmu. Kuingat kau sekarang untuk dihari yang akan datang, agar serasi dengan harmoni, agar selaras dengan simphoni, agar sama dengan naluri, agar senada dengan nurani. 
Read More




Orion


Langit itu selalu bisa membuatmu terkesima, baik siang ataupun malam. Bahkan ketika malam kau akan melihat warna yang lebih banyak, akan ada banyak pesona yang bisa membuatmu berdecak kagum ketika menyaksikan jajaran rasi bintang, melihat rembulan bercadar awan tipis, ada biru pekat yang terhampar luas, akan ada banyak cerita diantara warnanya yang gelap. Akan ada banyak kisah meski hanya gelap yang bisa terlihat.
Seperti orion yang selalu mengarah ke utara,  ia menjadi petunjuk arah bagi nelayan di samudera, ia akan selalu berada di tempat yang sama. seperti itulah seorang sahabat memberitahuku, seorang sahabat yang dulu pernah mengisi hari-hariku. Kini, aku berbagi cerita dengannya lebih berwarna, tanpa harus merasa takut kehilangan, karena seorang sahabat tidaklah pernah hilang, meski jarak membentang ratusan kilometer. Dan seperti orion ia akan selalu ada, tidak akan berpindah tempat, akan selalu menunjukkan arah yang tepat.
Tapi aku bukanlah orion untuknya, aku hanya nelayan yang selalu berpindah tempat mencari ikan yang juga selalu bergerak. dan aku akan selalu bergerak, sesekali melepas jangkar, sesekali berlabuh, sesekali berlayar begitu jauh, sesekali kembali. Dan akan selalu seperti itu. Orion itu selalu berpijar meski redup, ia akan selalu memberikan isyarat jika laju perahuku terlalu jauh tersesat, ia akan selalu mengingatkan kemana aku harus kembali. Namun, aku tahu. Aku tidak akan pernah menggenggamnya, karena jemariku terlalu kuat mencengkram kemudi kapal.
ia akan selalu memposisikan dirinya seperti itu, meski ku tahu tidak sedikitpun ia meminta balasan dari apa yang diberikan, namun pantaskah aku kembali berlayar dan selalu melihat kearahnya jika tersesat? Hanya menjadikannya hiasan diantara malam-malamku yang hening.
Api itu tampak romantis, menyala diantara suara ombak dan semilir angin. Tidak terlalu besar, namun cukup menghangatkan. Berbincang dengan orang-orang baru, obrolan yang tidak pernah padam seperti api yang selalu ku jaga perlahan. Akan selalu ada topikku kembali membuka wacana, selalu ku Tanya walau ku tahu apa yang di maksudkan, berusaha selalu menyambung obrolan yang akan segera terpotong karena pembahasan berkurang. Akan selalu ada gelak tawa dari canda yang tak terlalu lucu. Bersandiwara diantara realita, terkadang memang harus kulakukan seperti itu. Berulang-ulang, hingga benar-benar habis pokok pembahasan.
Sepotong kepiting tanpa daging itu kulahap dengan sangat antusias, kembali selalu bertanya hal yang sama, kembali bercerita tentang topik yang tidak benar-benar berbeda, hanya ku putarkan saja alurnya, agar tak monoton ketika bercerita. Hal yang sama itu akan berbeda jika di putar terbalik, arusnya akan menarik semakin jauh kedalam jika kita tidak bisa melawan atau sekedar bertahan.
Jika orion akan selaras dengan arah mata angin, maka aku akan bergerak melawan, mencoba kembali berlayar, menarik jangkar dan mengarungi lautan, menuju sebuah tempat yang belum ku ketahui dimana daratannya. Dan jikapun pada akhirnya harus kembali, aku akan melihat ke angkasa, karena ia akan selalu sama, ditempatnya. Menunjukkan jalan untukku kembali pulang.
Kebimbangan kembali menyapaku, kembali mengeja kata-kata yang belum tuntas ku baca tulisannya. Ia kembali mendikte langkahku, pilihan memang selalu bisa memberikan secarik catatan baru, tidak tahu apa yang akan terjadi, dan disanalah letak petualangannya. Disanalah cerita baru akan kembali di torehkan dalam setiap detail langkah kaki yang menyusuri jalanan setapak berbatu.


Read More




Minggu, 08 Juni 2014

Kembali, jemari ini bersingkronisasi dengan hati



Kembali, hati membimbing langkah yang mulai goyah, menuntun kembali jemari untuk menari, untuk menterjemahkan sesuatu yang tidak bisa di jelaskan dengan sekedar tatapan mata, atau ungkapan kata. Jemari ini menterjemahkan setiap makna yang tidak bisa langsung di terjemahkan kedalam bahasa isyarat, mencoba menggambarkan dengan lugas, dengan gaya bahasa agar bisa di baca, agar bisa di terka, agar bisa di mengerti, agar bisa di pahami.
            Sisa-sisa kehangatan itu masih bisa dirasakan oleh tubuh yang mulai melemah, perjalanan ini sangat melelahkan. Hingga peluh menetes membasahi tanah yang berdebu, hingga nafas terus memburu, hingga waktu enggan sejenak berhenti menunggu, dan pada waktu itu aku tidak bisa hanya menunggu dan diam. Diantara dedaunan gugur itu, ranting yang perlahan kering akan selalu mengharapkan dedaunan hijau itu kembali tumbuh diantara rantingnya yang rapuh.
            Seperti udara, seperti sebuah untaian rangkaian kata yang di bingkai dengan rasa. Seperti sabda mentari ketika pagi, seperti irama yang selalu terdengar diantara daun-daun gugur. Seperti menggema diantara ruang hampa, tanpa suara. Hanya terasa desiran angin membelai pelan. Hanya bisa dirasa tanpa bisa di raba. Dan rasa tidaklah harus di raba, ia bisa diraskan meski kasat mata, ia bisa menjelma dengan wujud yang berbeda.
            Kenyataan ini menyeret begitu kuat, hingga ketika kaki tidak mampu berjalan beriringan ia akan meninggalkan begitu saja. Tanpa menoleh kebelakang, tanpa memberi kesempatan hanya untuk sekedar mengambil nafas yang tersengal diantara bentangan jarak yang semakin menjauh.
            Doktrin tentang rasa lelah memang terkadang mendikte langkah, terkadang menyakitkan, terkadang begitu menyenangkan. Lingkarannya akan terus bergerak, akan terus berputar. Dan seperti itulah keadaan terkadang akan begitu kuat mempengaruhi dalam setiap pengambilan keputusan.
            Berbicaralah semaunya, berteriaklah sekuatnya, berlarilah sekencangnya, menangislah hingga air mata kering, semua itu hanya akan menjadi sebuah hukum sebab akibat, menjadi sebuah keharusan yang dijalankan, seperti simphoni tentang kehidupan, semuanya akan mengalun perlahan, sesuai dengan lagu yang di nyanyikan. Bukankah keindahan itu yang di inginkan setiap orang? Namun terkadang semuanya hanya akan menjadi kisah semu tak berujung diantara gersangnya sebuah kenangan masa silam,.
            Akan selalu ada batas, batas dimana kita harus berhenti, batas dimana kita harus memulai kembali. Semuanya di kotak-kotakkan kedalam sebuah ruang. Ruang yang terkadang hampa, ruang yang terkadang begitu gaduh, tidak selamanya ruang itu tanpa suara. Bahkan angin akan selalu membisikkan tentang senandung merdu yang entah bernyanyi tentang apa. Hanya jiwa-jiwa yang benar-benar tenang yang bisa mendengarkan bisikan nurani.

             Kembali, jemari ini bersingkronisasi dengan hati. Kembali menari diantara sebuah isyarat tanpa kata. Menorehkan kata-kata indah tentang simphoni, tentang khayalan masa depan. Dengan kemampuan langkah yang sudah terukur, seharusnya kita tetap berjalan stabil, tetap melangkah meski lelah. Karena tujuannya sudah terpetakan. 
Read More




Jumat, 06 Juni 2014

Setenang Malam dan Lirik Tentang Keheningan



hanya merasa lebih baik dari sebelumnya.cukup untuk bernafas sedikit panjang, tertawa cukup tenang, tersenyum dikala petang menjelang. Sementara di cakrawala yang semakin pekat, semburat senyum bulan menerangi sisa-sisa kegelapan. Menyerap ke dalam benak, bertindak sesuai dengan keinginannya, bergulir pelan, seiring dengan langkah kaki yang akan terus bergerak.

Semuanya menjadi biasa tatkala senja enggan menyapa dibalik pesonanya, seperti terlempar jauh kembali ke masa lampau. kembali menikmati dinginnya hati, bercengkrama dengan pesona yang hanya terlukis di dalam benak, kembali menyusun serpihan hati.

Waktu itu, kembali putaran waktu mengingatkanku pada sebuah kenangan tentang indahnya sebuah catatan manis bersama rembulan yang bersinar terang, atau menikmati senja di bawah guyuran hujan. menikmati setiap detik momennya, mencoba mengilhami diri dengan arti yang sulit dimengerti. kembali menemukan titik dimana rasa dingin adalah sebuah fase paling tenang. Setenang malam dan lirik tentang keheningan.

Seperti sapa mentari di pagi hari, seperti kenangan manis di penghujung senja, seperti kehangatan pelukan rembulan di antara temaram cahaya bintang. Semuanya berbalik seperti sedia kala, dingin. Entah hingga kapan suasana akan kembali menyapa dengan roman kisah indah, penuh dengan catatan kata-kata mutiara yang membalut nurani dengan belaian hangat sebuah rasa.

Titik nyaman ini, seperti kembali mencekam, Kembali menikam dan membelenggu nurani, Mengelak dan bertolak menuju sebuah pencapaian yang sempat terlupakan. Mencoba menggenggam sesuatu dengan begitu erat, berpijak di antara cadasnya bebatuan, Dan berusaha untuk melompat lebih tinggi dari lompatan sebelumnya. 

Sesekali ingin ku sapa indahnya senja di ujung sana, mencoba kembali menerka apa yang sedang di pikirkannya, mencoba untuk kembali bersendau gurau penuh canda, tawa riang penuh pesona. Kata-kata manja dikala fajar menyingsing.

Dan lihatlah, akan ada matahari yang sama diantara hari yang berbeda, akan ada cerita indah dibalik sebuah kenyataan yang menyakitkan. Kenyataan itu mengajarkan begitu banyak hal, membuka mataku tentang sesuatu yang berkilau tidaklah selalu indah.

Kembali menyapa diingatan tentang pesona pada belahan dunia ini, tempat dimana si mata biru berada, gemulai lekukan tubuh si latin yang begitu aduhai, eksotika padang savana dan balada rimba di belahan dataran Afrika. Cerita-cerita tentang semua impian itu masih terjaga di antara keheningan yang mencekam, dan akan ku biarkan rasa dingin ini, hingga ada api yang menghangatkan, bukan untuk menghanguskan.

Berjalan seorang diri, bercerita dengan rasa lelah, bersenandung di antara gelisah, menari bersama rasa takut, tertawa di antara tangis duka, dan aku akan menceritakan setiap fase ini kepada indahnya pesona senja yang memikat, dengan rintik hujan yang menenangkan, akan ku senandungkan semerdu langkahku yang berjalan pelan menembus kegelapan. Hingga tiba waktunya, aku akan kembali menyapamu, akan ku kembalikan kepadamu, kepada sebuah nama yang kini entah seperti apa lafalnya, kepada pemilik hati yang entah seperti apa wujudnya, mungkin akan serupa, mungkin juga akan berbeda. yang ku tahu, hanya terus berjalan hingga waktu yang akan menentukan, di mana aku akan berhenti? Entahlah..
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML