Jumat, 12 September 2014

Ketika Purnama Bercerita di Awal September (Rekam Jejak, Bagian 2)



Kerinduanku tidak hanya tertuju pada mendiang ayah, ada sebersit kerinduan kepada beberapa orang. Ya, entah kenapa, malam itu aku begitu banyak merindukan orang. Mungkin pembahasannya akan dipersempit, dan ku akui, mereka adalah wanita. Ya beberapa wanita yang ku rindukan.

Pertama, ku beri tahu kau tentang seorang wanita yang begitu luar biasa, aku mengenal seorang wanita, dia adalah pengagum senja. Sama denganku, aku pun sama. Menjadi pengagum semburat warna jingga di penghujung hari. Diantara batas siang dan malam, di antara batas waktu, ada seberkas keindahan yang terpancar dari warna jingga di atas sana.

Aku merindukannya, ya harus ku akui itu.

Bertemu, jangan kau tanyakan sesering apa aku bertemu dengannya, aku baru bertemu dengannya dua kali. Dua kali dalam hidupku yang berharga. Singkat memang, tapi ku katakan kepadamu, ia bisa memberikan banyak ketenangan dalam hidupku (tidak berlebihan). Ya, waktu itu dan bahkan jika boleh ku katakan ia masih melakukan hal yang sama hingga sekarang.

Dia pernah berkata, bahwa aku menjadikannya tak lebih dari sekedar buku catatan. Yang bisa menuliskan cerita apapun, bisa mengungkapkan rasa apapun, meluapkannya dalam barisan kata-kata. Dan bodohnya, aku baru menyadari itu beberapa waktu lalu, belum lama. Tahukah, waktu itu dia putuskan untuk menjauh dariku, aku bisa menerimanya, tapi coba tebak. Aku hanya bisa bertahan dalam hitungan hari untuk tidak kembali menghubunginya.

Aku kembali menyapanya, memberikan berbaris-baris kata cinta, menggoda, dan entah kenapa dia menerimanya. Mungkin kau akan segera paham, bahwa rasa seperti itu tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, karena itu semua tidak perlu penjelasan, itu hanya bisa dirasakan, dan ketika kau merasakan itu, kau akan tahu penjelasannya seperti apa.

Pernah suatu ketika, kita berharap bisa menikmati senja bersama. Diantara irama deburan ombak di pantai, menatap indahnya sunset, atau kembali mendaki puncak-puncak itu, menikmati pesona negeri di atas awan. Mencium aroma perapian, ya itu yang diinginkannya, pada hari di mana dia memutuskan untuk tidak menghubungiku kembali.

Hingga detik ini, aku masih bisa merasakan jika belum bisa benar-benar ‘menjauh’. Pernah ku katakan dalam tulisan, jika ada seseorang yang mendekatimu saat ini, ada seseorang yang begitu ingin mendapingimu, atau lebih tepatnya kau diinginkan seseorang untuk mendampinginya, tapi entah kenapa kau menolaknya. Jika kau katakan masa lalu seseorang itu begitu kelam, kau tidak akan tahu masa depan seseorang. Jadi sepertinya kita tidak bisa menghakimi masa depan seseorang dengan melihat masa lalunya. Kau punya kekuatan untuk merubah seseorang, kau punya kekuatan itu. Tapi kau miliki kehidupanmu sendiri. Dan kau berhak untuk memutuskan apa yang menurutmu baik.

Apakah kau sudah lupa, masa laluku tidak lebih buruk dari lelaki itu, dan kau satu-satunya orang yang tahu begitu detail tentangku. Kau tahu kenapa, karena kau adalah catatanku. Tak ada seorang wanita di dunia ini yang mengetahui kisahku sedetail dirimu, bahkan ibuku sekalipun.

Sejauh ini, belum ada yang bisa menggantikan peranmu. Belum ada, dan mungkin hingga nanti waktunya tiba, ‘dia’ tidak akan pernah bisa lebih tahu daripada dirimu.

Aku tidak akan bercerita banyak tentang dirimu di sini, karena ada sebagian catatanku tentang fase ini, di bagian selanjutnya. Kau pegang catatan tentangku, maka aku akan memberikan catatan tentang kita. Dari satu kata akan banyak makna, akan ada banyak cerita, dari satu kata akan tertulis puluhan paragraf, ratusan halaman hanya untuk membahas catatan itu.

Begitulah mungkin aku bercerita tentangnya, tak perlu panjang lebar. Karena mungkin akan kembali ku ceritakan dia ‘Si Pengagum Senja’ dalam kisah yang berbeda. Kau tahu, aku tidak bisa melupakan ‘Si Pengagum Senja’ ini. Kau bertanaya kenapa? Bukankah sudah ku katakan, dia adalah catatanku, jurnalku. Jadi ketika ku buka lembaran baru dari jurnalku yang baru, secara otomatis catatan tentangnya akan kembali terbuka. Aku akan membacanya pelan-pelan, untuk ku selaraskan dengan kisah sesudahnya.

Kedua, aku juga merindukan seseorang yang kini ku tahu, sedang berusaha menggapai impiannya. Ratusan kilo meter dari tempatku berada. Jauh berada di bagian timur Indonesia. Ia mengabdikan dirinya untuk bangsa ini, pergi jauh ke tempat terpencil di bagian timur negara ini. Mencoba menanamkan asa kepada para generasi penerus bangsa di batas terluar nusantara.

Jika kau belum tahu bagaimana terpencilnya tempat itu, akan sedikit ku gambarkan. Listrik, adalah barang langka di sana, dia pernah memberikan kabar, bahwa di sana hanya ada gulita ketika malam menjelang, hingga ketika malam telah larut, yang terdengar hanya suara debur ombak. Sesekali ia mengabarkan dirinya dengan sebuah foto yang dipasang di halaman facebook miliknya.

Ku katakan kepadamu, dia sangat suka orion, dia selalu menggambarkan dirinya (secara tidak langsung) sebagai penjelmaan dari wujud orion (dia tidak pernah menyebutkan dirinya orion, aku saja yang memberikan nama itu. Beberapa bulan yang lalu). Orion, tak banyak yang ku tahu tentang itu, sedikit yang ku ketahui, itu adalah jajaran bintang yang selalu menujukkan arah bagi para nelayan. Tak tahu, arah mana yang di tuju, jika kau tahu, kau bisa beritahu aku.

Dan tebak, dia juga pengagum senja, sama seperti orang pertama. Dan akupun juga sama. Dia menulis, sama seperti si pengagum senja, ia selalu menuliskan cerita, tentangku. Jangan kau tanya aku tahu dari mana, karena aku tipikal orang yang selalu ingin tahu atau dalam bahasa anak muda sekarang biasa di sebut ‘kepo’. Aku bisa membaca, bahwa sebagian besar disetiap tulisannya selalu membawa diriku, dalam makna kiasan yang berbeda tentunya, dan mungkin hanya aku dan dia yang tahu siapa objek yang selalu dibicarakan.

Ku perjelas, dia adalah wanita pertama yang menjadi bagian dari cerita ini. Dan ku sebut dia ‘Orion’. Karena entah mengapa, setelah apa yang ku lakukan kepadanya, dia tidak pernah bisa membenciku. Kau tahu, pernah suatu ketika selama dua hari aku tak makan, jika kau pikir aku sakit. Maka kau salah, ku beritahu kau, aku tak punya uang!.

Waktu itu tak ada uang di saku, bahkan logam recehan pun sudah tandas untuk membeli makan malam kemarin. Dan dia, dia mengajakku untuk makan, dan jangan kau tanyakan siapa yang bayar, tentu saja bukan aku. Waktu itu aku hanya seorang sarjana tanpa pekerjaan, ya, boleh kau katakan, aku seorang pengangguran, Sarjana Ekonomi, keren bukan? Tapi, untuk apa jadi sarjana jika tak bisa menghidupi diri sendiri. Dan dia, dia sudah mendapatkan pekerjaan, bisa dikatakan dia lebih mapan karena berpenghasilan.

Setelah menyelesaikan studi di perguruan tinggi aku tak langsung bekerja. Bukan karena aku enggan, tapi sepertinya perusahaan-perusahaan itu enggan menerimaku sebagai karyawannya, katanya aku berpotensi, tapi belum saatnya untuk bergabung dengan perusahaan itu, aku harus banyak belajar dan berusaha lagi. Dan baru ku ketahui bahwa itu adalah cara penolakan secara halus kepada calon karyawan yang tidak berkopenten. Dan aku termasuk dari sekian banyak sarjana yang tak dapat pekerjaan itu. Tapi ku sebut aku tidak menganggur, aku sedang menikmati ‘liburan’. Aku tahu dan percaya bahwa rezekiku sudah ditetapkan oleh-Nya, dan itu benar adanya. Karena sesekali aku bisa menjual hasil karyaku, cukup untuk makan satu minggu.

Sering ku dengar potongan lirik dari maestro musisi Indonesia Iwan Fals, dia mengatakan:”..Sarjana begini, banyaklah di negeri ini. Tiada bedanya dengan roti,”
Benar tebakanmu, aku tersindir dengan kalimat idolaku itu, tapi entah kenapa aku begitu lantang menyanyikannya.

Biarlah jika kau katakan aku tak punya malu. Untuk apa malu, malu hanya akan membuatku mati dan terbujur kaku waktu itu. Maka, ku perjelas kepadamu, ku hapuskan kata ‘malu’ dari kamusku. Itu kata pertama yang kucoret dari daftar hidupku, tentu tidak berlaku kepada beberapa hal. Aku masih malu untuk bebuat dosa (dosa besar, menurutku) ku harap kau bisa maklumi itu.
Oke, cukup tentang Orion.

Ketiga. Baiklah, aku akan memulai cerita tentang orang terakhir. Orang yang menjadi pemicu semua cerita ini. jika ku katakan, dua orang sebelumnya selalu menyukai hal yang sama, maka orang ketiga ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang ku sukai.

Ku perjelas untukmu, dua orang sebelumnya adalah pengagum senja, pengagum orion, pembaca novel, penulis puisi (sama sepertiku), penulis cerita fiksi, pendaki gunung bahkan, maka orang ketiga ini tidak pernah melakukan apa yang dilakukan olehku, atau dua orang sebelumnya.

Membaca, jangan harap dia suka. Jika ku sodorkan tumpukan novel maka dia akan memintaku untuk menceritakan ulang, dengan gaya bahasa dan ringkasan cerita, itupun tidak akan berjalan lama. Atau jika ku paksa dia, dia membuka satu buku dan membalikkan halaman pertama, dan ketika ku palingkan wajahku sejenak, di halaman kedua dia sudah tertidur.

Menulis, dia tidak pernah bisa melakukannya. Maksudku dia tidak bisa merangkai kata-kata indah dan mempesona, bukan berarti dia tidak bisa menulis dengan arti sebenarnya. Akan menjadi aneh jika Sarjana Ekonomi dengan predikat Cumlaude tidak bisa menulis, akan jadi apa negara ini? Ya, bahkan harus ku akui, dia menyelesaikan studinya lebih cepat dariku, aku membutuhkan waktu ekstra satu tahun untuk menyelesaikan studi dan mulai menyusun skripsi, sedangkan dia tepat waktu melakukannya. Atau lebih tepatnya, ia lulus tepat waktu, berbeda denganku yang mencari kelulusan di waktu yang tepat. Sayangnya setahun kemudian aku baru mendapatkan waktu yang tepat menurutku.

Mandiri, menurutku, dari ia lebih manja daripada kedua wanita di atas. Sangat manja bahkan (menurut versiku).

Senja, dia tidak menyukainya melebihi aku dan dua wanita itu. Orion? Jangan harap dia tahu itu. Dia tidak akan pernah tahu itu. Mungkin dia akan mengira bahwa itu adalah nama makanan dari Jepang. Purnama, ya mungkin dia akan menyukainya, tapi tidak lebih dari kami bertiga.

Ku buka rahasia ini untukmu, aku meninggalkan orang pertama dan kedua demi wanita ini. Sadis memang, bahkan ku katakan kepada orang pertama jika aku tak bisa melepaskannya dan berpindah hati kepadanya, dan anehnya dia menerima itu. Dia tidak pernah mengusik hubungan kami, selesai.

Rahasia kedua, aku meninggalkan orang kedua demi wanita ini juga, aku meninggalkannya begitu saja, tanpa alasan bahkan (dan baru ku ketahui belum lama ini bahwa dia tahu alasan kenapa aku meninggalkannya).

Dua orang sebelumnya belum pernah meminta sesuatu kepadaku, tapi wanita ini. Aku sulit menolak permintaannya, secara persentase tak lebih dari 30 persen aku menolak permintaannya. Jika kau katakan dia wanita matre aku akan dengan tegas menolak pendapatmu.

Dia tidak seperti yang kau pikirkan, maksudku, dia tidak pernah meminta barang-barang mewah, pakaian, atau apapun. Yang dia minta daging dan eskrim, dan satu lagi yang paling berharga menurutku. Dua wanita tadi tidak pernah bisa mengganggu waktuku, mereka tidak pernah bisa menyita begitu banyak waktuku (waktu itu).

Ku beri tahu kau beberapa hal, waktu itu aku adalah mantan ketua Mapala di kampusku, kau tentu tahu bagimana pola anggota Mapala, jika tidak tahu maka akan sedikit ku jelaskan. Ketika kau menjadi anggota Mapala, kau akan menyampingkan urusan pribadi, kau akan bergelut dengan aktivitas yang bahkan sulit untuk kau nalar dengan akal sehat.

Di kampusku, kami bisa rapat hingga subuh menjelang, menyusun kurikulum dan silabus, menyusun strategi untuk menjalankan roda organisasi, menyusun konsep ekspedisi, menyelenggarakan event berskala nasional, internasional bahkan, belum lagi kau harus siap di mana pun berada. Militansi anggota Mapala sangat kuat, kekeluargaan, toleransi, persahabatan, itu adalah doktrin yang tidak bisa dilepaskan. Dan jika di suruh memilih, kami akan lebih banyak menghabiskan waktu di dalam organisasi ini, bukan dengan para wanita itu. Tapi dia, dia bisa menyita waktu itu, dia bisa melakukan apa yang tidak bisa dilakukan kedua wanita sebelumnya.

(Itu penjelasanku tentang anggota Mapala. Jika belum jelas, kau bisa cari referensi dari berbagai sumber. Ada banyak penjelasan tentang itu semua).

Dia tidak bisa menulis, tidak suka membaca novel, belum pernah merasakan tamparan alam, belum sempat menyaksikan eloknya negeri di atas awan dan sunrise di antara puncak-puncak yang tinggi menjulang.

Untungnya dia selalu suka jika kutuliskan puisi untuknya. Dia akan selalu meminta, merengek, memaksa, bahkan menjajahku, dia melakukan semua jurus andalan untuk memaksaku menuliskan kata-kata indah tentangnya, dan aku seperti kerbau yang dicocok hidungnya (jangan tertawakan aku tentang hal ini).

Kau bisa tebak perasaanku bukan? Ya, aku suka itu, dan karena dia tak suka tentang senja, rembulan, rintik hujan, savanna, dan orion. Ku tuliskan namanya dengan bahasa yang ku sukai, tak perduli dia suka atau tidak, aku tidak perduli sama sekali. ‘Rintik Senja’ begitulah aku menyebutnya.

Semua kisah berjalan dengan indah, tapi memang sebenarnya semuanya tidak ada yang benar-benar indah. Ada realita yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, bahkan terkadang ia akan menjadi begitu menyakitkan. Tapi itulah kenyataannya, ia mengajarkan tentang kebenaran, meski menyakitkan, kenyataan berkata dengan sangat jujur.
24-09-2013, Tepat Setahun Lalu
Periode terberat dalam fase ini muncul. Kau tahu, itu hari ulang tahunku. Dan jika kau tahu, aku mendapatkan kado spesial darinya, wanita terakhir ini. Sangat spesial, bahkan, ku beritahu kau tentang sesuatu. Dia memberikan kado yang tidak pernah terlupakan. Jika kau percaya karma, maka inilah yang terjadi padaku.

Kau tanam kebaikan sekecil biji sawi, maka kau akan menuianya seperti itu, tidak kurang tidak lebih. Ya, ketika ku-tiga-kan dia, dia pergi meninggalkanku dengan men-dua-kan aku, dengan perasaan luka, aku terima. Marah, ya tentu saja, manusiawi jika aku merasa seperti itu, tapi kemudian aku tersadar, itu adalah buah yang ku tanam, maka aku akan memakannya (dia tidak meninggalkanku, akupun sama, tidak pernah meninggalkannya, dan seperti itulah cara kita mengakhiri kisah itu, ini adalah akhir, tapi ini juga awal, dan inilah awal kisah selanjutnya, nanti akan ada bagian selanjutnya).

Setahun lalu kejadian itu, tapi kau tahu. Seperti yang ku perkirakan, dia kembali padaku. Tapi tidak lama, ia kemudian menghilang. Meninggalkanku dengan sejuta tanya tentang rasa yang tercipta. Marah? Tidak sama sekali, kali ini aku tidak bisa marah, karena jelas ku ketahui dia berikan pelajaran berharga untukku.

Dan ku putuskan bahwa aku akan menjalani fase ini sendiri, tak ada siapapun. Tak ada dia, dia, dia. Hanya  ada aku, impianku, tujuanku, ambisiku, cita-citaku, harapanku. Belum ada namanya di dalamya (saat ini).

Bagian ini juga akan ku akhiri lebih awal, karena aka nada lebih banyak lagi aku bercerita tentangnya, pada bagian selanjutnya. Atau pada kisah yang berbeda. Ini hanya kilas balik dari perjalanan rembulan yang bersinar terang, malam ini.

Rabu 10-09-2014, Pukul 11.19 Wib
Ku katakan kepadamu, bulan bersinar terang. Aduhai, elok ketika mata memandang, terbesit kerinduan tentang para wanita itu. Tentang mendiang ayahu, tentang muramnya ulang tahun adikku, tentang kerinduanku kepada barisan pegunungan dan hangatnya perapian. Kini waktuku lebih banyak habis di depan layar laptop.

Jemariku berpacu dengan waktu, menuliskan ribuan kata secepat mungkin, memperbaharui berita, waktuku benar-benar habis untuk menulis. Tapi tahukah kau, sesibuk-sibuknya aku dengan pekerjaan ini, tentu ada sedikit ruang dan waktu yang sempat teralihkan kepada ranah rasa. Tentang perasaan yang tak pernah berhenti bersenandung, ada sebersit kerinduan tentang kehadiran seseorang.

Dan kini, aku sering berbicara dengan seseorang, secara harfiah aku tidak langsung berbicara empat mata. Kami hanya terhubung oleh koneksi internet dan sinyal provider. Aku berdiskusi dengannya, lagi-lagi seorang wanita, tapi dia bukanlah seperti ketiga wanita di atas. Dia adalah penghubungku dengan seseorang, ya dia ku sebut sebagai ‘Si Pembawa Pesan’.

Dia sangat suka membaca, sedikit ku baca karakternya. Dan sedikit akan kuceritakan kepadamu tentang ‘Si Pembawa Pesan’ ini.

Dia, orang terbaik yang menjaga perasaannya, puluhan tahun ia simpan rasa kepada seseorang, dan kau tahu, hingga detik ini dia masih memiliki rasa itu, meski kemarin ku ketahui ia mulai menikam hatinya, mematahkan tangkai rasa itu satu persatu, berharap akan ada seseorang yang bisa tumbuhkan rasa yang telah kering itu.

Dan ku beritahu kepada kalian, sekarang dia mulai membuka hatinya kepada seseorang, jika tebakanmu orang itu adalah aku, kau salah besar kawan, tapi aku tak ingin membahas ‘dia’ yang diharapkannya. Biarkan itu mengalir, dan suatu saat akan ku ceritakan kepadamu, itupun jika ia  ingin berbagi tentang kisahnya.

Pendiam, tidak ingin berdebat, tipikal pendengar yang baik, pemberi solusi handal, tipikal wanita sederhana, tapi dia punya karakter kuat. Bisa ku lihat dari alis yang melengkung tajam, garis tegas, tak kenal kompromi, tapi dia tipikal seorang ibu yang (InsyaAllah) hampir mendekati sempurna, kelak. Tulus, ya dia memiliki itu, di usia yang masih begitu muda dia selalu mencoba untuk bersikap tulus terhadap semua orang di sekelilingnya, setidaknya itu bisa terlihat dari sorot matanya, teduh.

Egois, ya setiap orang pasti memiliki sikap itu. Dan dia juga seorang manusia, sama seperti kita. Yang memiliki perasaan itu, sesekali dia akan menjadi seorang yang sangat egois, keras kepala, memaksakan kehendak, ya kehendaknya begitu kuat. Tapi sayang, itu tidak diimbangi dengan keinginan kuat, terkadang dia akan mengaku kalah sebelum perang, terkadang ia hanya akan mengalah, agar tak menyakiti seseorang.

Ini bukan tentang menghakimi, tapi jika kau mengatakan bahwa aku menghakimi seseorang yang belum ku kenal, aku bisa apa? Semua orang bebas berpendapat, tapi setidaknya hal yang ku tuliskan di atas pernah ku tanyakan kepadanya, dan anehnya, hampir mendekati sempurna kebenarannya.

‘Si Pembawa Pesan’ dia menjadi penghubungku dengan ‘dia’. Semua itu mengalir begitu saja, ada banyak kesamaan antara aku dan ‘Si Pembawa Pesan’. Kami, dua orang bodoh yang mengharapkan sesuatu, tetapi sesuatu itu tidak pernah (mungkin) mengharapkan kami.
Pernah dia berkata:”Jangan terlalu berharap.”

Tegas ku katakan kepadanya, jika kita tidak punya harapan, lantas untuk apa kita hidup? Terkadang harapan adalah hal terkuat yang bisa kita miliki. Harapan akan memberikan kekuatan kepada kita untuk melakukan sesuatu, yang bahkan mendekati mustahil. Harapan, kita harus punya itu. Ku katakan kepadanya. Jangan pernah menikam harapan, terlebih membunuhnya, karena harapan adalah salah satu alasan kenapa kita masih berada di sini, berjuang mendapatkan apa yang kita inginkan.

Rabu, 10-09-204, Pukul 11.59 Wib.
Sepertinya harus ku cukupkan tulisan ini. Jariku sepertinya sudah mulai meminta untuk berhenti menari, seharian ini yang ku lakukan hanya menuliskan ribuan kata. Entah, mugkin jika semua kata yang ku tuliskan sejak siang menjelang, dan kemungkinan jika di ukur panjangnya bisa puluhan kilometer (mungkin aku juga hanya mengada-ada. Atau bisa saja jika ukuran font-nya 100pt). Mataku sudah mulai perih, dan mungkin otakku juga sudah mulai lelah (padahal sejak lama aku seperti sudah lupa meletakkan otakku di mana, dan kini bisa di sebut aku lupa membawa otak itu di dalam kepala), sepertinya semua sistem tubuhku mulai menuntut untuk menghentikan aktivitas ini.

Dan cukup sekian untuk ‘Si Pembawa Pesan’ karena ada bagian lain dan sisi lain, secara khusus akan kuceritakan kisah penantiannya.
….

Untukmu, ayah aku merindukanmu. Mungkin hanya doa yang bisa ku berikan untukmu, tapi aku selalu percaya doa anak shaleh itu akan didengarkan oleh Allah SWT, meskipun ku akui aku belum benar-benar shaleh, tapi aku akan berusaha untuk melakukan itu.

Untukmu, adikku. Usiamu semakin berkurang, gunakan sisa umurmu sebaik mungkin, belajarlah dari kami, kakak-kakakmu, jika kau bisa melangkah lebih jauh dari apa yang ku lakukan, maka lakukanlah. Ada banyak hal di luar sana, yang bisa membentukmu menjadi lebih kuat dari saat ini, persiapkan dirimu untuk menghadapi kenyataan yang tidak selalu selaras dengan inginmu.

Untukmu, ‘Si Pengagum Senja’ ada banyak kata dan cerita tentang dirimu, meski kita hanya bertatap muka beberapa kali saja, tapi kau sudah memberikan yang terbaik dari apa yang kau miliki, terima kasih telah menjadi ‘Buku Catatanku’. Semoga kau dapatkan apa yang kau inginkan, dan semoga kita bisa tertawa meski dalam langkah dan kisah yang berbeda.
Untukmu, ‘Orion’ langkahmu sudah semakin jauh, impianmu satu persatu mulai kau taklukkan. Dari ujung timur nusantara ini, mulailah kisahmu, berjalanlah sebagaimana mestinya. Peliharalah keyakinanmu. Kau adalah salah satu yang terbaik dari kisah ini. Selalu, jadilah orion itu, meski bukan untukku, ada orang lain yang bisa kau tuntun untuk kembali pulang.

Untukmu, ‘Rintik Senja’. Sisa harapanku masih ada di dalam dirimu. Terima kasih atas apa yang kau berikan kepadaku. Terima kasih untuk semua kisah indah itu, ada banyak cerita tentangmu. Semoga kau masih ingin membacanya. Fase bersamamu pernah menjadi yang terindah. Tetaplah menjadi seperti itu, aku suka rengekan manja itu menyapa di setiap pagiku. Aku merindukanmu.

Untukmu, ‘Si Pembawa Pesan’. Terima kasih atas semua yang telah kau lakukan untukku, atas semua diskusi yang kita lakukan, atas semua pelajaran yang kau berikan, terima kasih. Walaupun hanya sebatas kata-kata semu, kau bisa menjadi teman terbaik ketika hari-hariku benar-benar sepi. Percayalah, harapan itu bisa membawa kita kepada fase selanjutnya yang lebih ‘gila’. Ada impian yang tak sempat kau wujudkan, maka jangan pernah berhenti pada satu titik, kita akan mendapatkan ‘dia’ bersama-sama, tak perlu sama ceritanya, yang terpenting adalah tawa di akhir cerita.



Bandung, Kamis 11-09-2014 Pukul 12.18 Wib
Read More




Kamis, 11 September 2014

Ketika Purnama Bercerita di Awal September (Rekam Jejak, Bagian 1)




Bandung, Rabu, 10-09-2014, Pukul 09.15 Wib
Semua kenangan itu sepertinya kembali menyambangiku.

Berada di ketinggian kurang lebih 750Mdpl (meter di atas permukaan laut) cukup membuat tubuhku sedikit menggigil merasakan terpaan angin yang menjadi semakin dingin, padahal jam baru menunjukkan pukul 09.15 Wib. Terlebih ini sudah memasuki musim kemarau. Angin bertiup kencang, terlebih ketika malam. Suasananya  akan semakin dingin, menggigit.


Dari kemarin ku lihat purnama bersinar terang, teduh sekali. Ku rasa di semua tempat di nusantara ini, bisa melihat keanggunannya. Jika kau tak melihat keanggunannya tentu ku katakan, kau tak beruntung. Atau kau sudah mati rasa, tak bisa melihat keindahan goresan tangan Tuhanku, Tuhanmu juga.

Malam ini Dia menggoreskan keindahan melalui senyuman rembulan, melalui keagungan-Nya ia bercerita tentang keindahan yang disukai-Nya. Jika kau tak menyukai itu, aku tak bisa berkata. Dari makhluk golongan mana kau diciptakan.

Jika bisa ku berbicara dengan angin, tentu aku akan bercengkrama dengannya, membicarakan keindahan rembulan. Semburat warna jingga, bersemu kuning keemasan. Dari tempatku berada, tak ada awan berwarna kelabu yang menghalanginya, bulat sempurna. Indah..

Cukup lama ku nikmati pemandangan indahnya, lama ku tatap di atas sana.

Sejenak aku tak bergeming dengan keadaan sekitar, terlalu ramai memang, tapi bisa kurasakan keindahan itu mulai masuk ke dalam relung hati yang terasa semakin sepi. Namun, tak bisa dipungkiri, memang terkadang sunyi itu merdu sekali bukan? Jika kau pernah merasakan sendiri dan menikmati dalam setiap detik waktu yang bergulir, ada selaksa makna yang tak bisa kau jelaskan dengan barisan kata-kata. Ku rasa pujangga terbaik di penjuru dunia pun sulit untuk menggambarkannya, bahkan dengan kiasan kata yang begitu menggelora.

Sesekali ku perhatikan secarik kertas, yang sebagian telah terisi oleh barisan kata-kata, sebagian lagi di penuhi dengan coretan-coretan kasar.

Tiga Tahun Lalu, Tepat Tanggal 09-09-2012.
Kabar yang datang di waktu sepertiga malam itu seperti membekukan waktu, semuanya seperti berhenti, angin seperti berhenti berhembus, dedauan enggan bergoyang, dan gemercik suara sungai itu seperti membeku, jantungku pun sama, seperti berhenti berdetak. Kau tahu, seharusnya itu menjadi perayaan usia ke-12 adikku. Tak ada nyanyian selamat ulang tahun, tak ada ucapan selamat. Yang ada lagu sendu, ucapan belasungkawa, ratapan tangis para wanita, merintih pelan, terdengar menyayat hati. Dan itu akan selalu menjadi lagu sendu untuknya, karena ia akan selalu teringat, tanggal lahirnya adalah tanggal di mana ia ditinggalkan oleh orang yang dipanggil Ayah olehnya, olehku, oleh kami.

Waktu itu, aku berada jauh dari sana. Suatu tempat yang kusebut rumah. Waktu itu, aku begitu egois. Membiarkan dia terbaring lemah karena sakit yang menggerogoti tubuhnya, tumor itu tumbuh di jalur pernafasannya, menyebar dan kemudian mengakar di dalam otak, menggerogoti sisa usia yang tak lagi muda. Perlahan tubuh itu hanya berbalut kulit dan tulang, tak ada daging diantara tubuh yang mulai mengering itu. Hingga akhirnya dia harus meninggalkan kita semua. Aku hanya bisa mengutuki diriku sendiri, hingga saat ini. Bagaimana mungkin aku tega meninggalkan seseorang yang selalu menjagaku, terlebih ketika dia hendak berdiri pun tak mampu.

Jika kau tahu alasanku waktu itu tentu tak akan bisa di terima oleh siapapun. Bahkan diriku sendiri.

Ada ambisi di dalam diriku waktu itu, menaklukkan satu persatu impian yang ku pendam begitu lama. aku bermimpi untuk menaklukkan mimpi-mimpi itu, hingga aku benar-benar lupa, jika ada seseorang yang benar-benar membutuhkanku. Seharusnya ku jaga ia waktu itu, seharusnya aku selalu berada di dekatnya, mendampingi sisa-sisa usia yang seharusnya bisa ku pahami, tubuhnya tak akan mampu menahan terlalu lama rasa sakit itu, meski ku tahu kemauannya untuk hidup begitu besar.

Ya, kemauan untuknya  hidup begitu luar biasa. Bagaimana tidak, sebentar lagi anak perempuan kesayangannya akan melangsungkan pernikahan, seorang anak perempuan yang begitu di sayanginya, aku pun merasakan kebahagiaan itu, perempuan itu adalah kakakku. Ya, dia saudara tertua kami. Aku anak ketiga, ada satu lagi kakakku, laki-laki usianya hanya terpaut setahun denganku dan aku masih memiliki seorang adik lelaki, usianya terpaut Sembilan tahun. Dan ini adalah hari di mana ia di lahirkan, sekaligus hari di mana semuanya tampak suram, bagiku, baginya, bagi kami semua.

Dan lihatlah, kemarin adalah tepat perayaan ulang tahun ke-15 adikku, sekaligus tepat tiga tahun meninggalnya ayah kami.

Seperti yang ku katakan di awal, bahwa malam ini benar-benar indah. Jika itu adalah senyumannya, aku tidak akan pernah berhenti menatapnya, karena untuk yang terakhir kalinya aku tak bisa menatap wajahnya, aku hanya bisa tertunduk di gundukan tanah berwarna merah, basah.

Angin masih berdesau pelan, gemercik suara sungai itu (bukan, bukan sungai, kuralat perkataanku, itu adalah selokan yang beraroma tak tentu, berbagai macam bau ada di sana, kau bahkan bisa mencium aromanya dari jarak belasan meter) menjadi melodi tersendiri, dingin itu semakin menggigit, sunyi itu, semakin merdu terdengar.

Aku merindukanmu ayah, tapi bukan berarti ku tak rela dengan kepergianmu. Aku hanya ingin kau melihat, aku berbeda dari yang dulu. Tapi ku yakin kau bisa melihat dari tempatmu yang indah di sana. Salamku untukmu, ayah..
Read More




Kamis, 07 Agustus 2014

MOZAIK 1 “Jurnal”


Aku masih menatap mentari yang sama, menjalani hari yang sama setiap minggunya, menghirup udara yang sama, namun tentu saja ada yang berbeda. Dan akan selalu menjadi berbeda.

Jurnal itu tertutup, bahkan ketika lembaran-lembaran di dalamnya masih begitu banyak yang masih begitu polos, tanpa warna dan tinta yang tertera di dalam lembaran selanjutnya. Lalu, ia memaksa untuk menggantinya, memaksa untuk segera menuliskan kata-kata terakhir dan kata-kata penutup. Tanpa, daya, aku hanya bisa menutupnya.

Jurnal ini masih begitu baru, ada sekitar seratus halaman, dan masih begitu polos. Masih belum tahu akan memulainya dengan kata-kata apa, masih enggan untuk memulai menuliskannya. Aku kembali merasakan yang namanya kebimbangan datang, menghampiri, lalu menyapaku diantara gelap malam yang masih terus mengintimidasi, yang terus menggangguku.

Sudut paling gelap itu, beberapa waktu lalu masih ada seberkas cahaya lentera yang terdapat dari sana, menerobos ke celah-celah yang lebih sempit, dan aku masih berani untuk berjalan diantara gelapnya lorong itu. Tapi kini, lentera itu seperti enggan menyala, seperti padam karena usia yang terus menggerusnya, atau padam karena tak ada lagi bahan bakar yang bisa membuatnya tetap menyala.

Aku kembali membuka lembaran-lembaran yang telah dimakan usia, tampak berwarna lebih kuning, atau ada sebagian yang berwarna cokelat. Ada beberapa noda hitam karena coretan, ada beberapa noda yang tidak bisa dihapuskan.

Membacanya kembali, seperti menarikku kedalam kisah yang indah. Penuh dengan kejutan, penuh dengan drama dan rasa was-was. Aku pernah khwatir jurnal ini akan benar-benar menghilang, aku pernah menulis begitu indah di dalamnya. Namun, memang tak bisa dipungkiri, aku selalu menuliskan kalimat bermakna sakit dan derita di dalamnya.

Memang, hanya beberapa lembar saja ku tuliskan semua kisah yang sebenarnya hanya berupa “fiksi” ini. aku lebih membuatnya berwarna dengan menambahkan beberapa nada penyesalan dan nada kegetiran. Ada saatnya ku buat begitu indah, penuh romansa, ada kalanya ku tuliskan tentang kepedihan dan rasa sakit, ada beberapa intrik yang ku buat, agar tampak dramatis, agar terdapat klimaks pada alurnya, pada kisahnya.

Entah, aku selalu bisa mendapatkan ketenangan ketika ku menuliskan di dalam jurnal yang kini enggan terbuka itu. Namun, tidak ku pungkiri, bahwa ada sedikit rasa tak percaya mengakhiri kisah yang belum tuntas ini, atau memang lebih baik kisah ini berakhir dengan penuh tanda tanya. Karena memang pada sudut pandangnya, tak akan ada celah yang bisa kembali di tempati.

Jika waktu akhirnya memutuskan untuk menyudahinya, maka aku akan melakukannya. Bukannya aku enggan, namun memang sepertinya tidak akan ada waktu bagiku untuk kembali merasakan cahaya yang ku tempatkan di sebuah sudut yang tidak bisa dijangkau oleh siapapun, hanya aku. Dan kau tidak akan pernah terusik di dalamnya, di tempat itu.


Hanya ada aku, kamu dan secercah cahaya pesona senja, yang jingga merona, tampak elok ketika mata memandangnya. Akan selalu ada cahaya itu di setiap menjelang petang. Dan aku akan selalu menuliskan cerita tentang indahnya waktu itu pada jurnal baru ini, diantara waktu siang dan malam, diantara batas yang tidak pernah kita lewatkan. 


Bandung, 7 Agustus 2014
19.41 WIB
- Setelah Membacanya -
Read More




Minggu, 13 Juli 2014

Kembali Pulang



 Pada akhirnya semua jalan itu akan mengarah pulang. Sejauh apapun berjalan, berpetualang, mengelilingi separuh putaran hidup dengan terus melangkah, mencoba mencari dan selalu mencari. Entah, hingga kini pun, belum ada yang kutemukan, bahkan sebenarnya aku tidak tahu apa yang dicari. Hati dan pikiranku mencoba untuk selaras, mencoba saling berinteraksi dengan lingkungan sadarku, mencoba memberikan gambaran nyata, melalui bayangan yang diperhatikan oleh seruas makna yang dimiliki hati.

Jika hanya ingin mengerti tanpa memahami, maka esensi dari sebuah pencapaian keberhasilan tidaklah bisa didapatkan. Karena entah kenapa, banyak sekali orang mempunyai tujuan yang serupa, jika disodorkan pada kisah-kisah petualangan akan dengan antusias merasa bahwa itulah dirinya. Akulah sang petualang, akulah sang penakluk, akulah segalanya. Dan seperti itulah ketika kita tidak bisa memahami arti dari sebuah esensi perjalanan.

Dalam setiap langkah kaki yang terus berjalan tenang, aku kembali dihadapkan dengan situasi yang sebenarnya sulit untuk dimenengerti. Aku berada pada bagian yang sebenarnya tidak ingin kulalui, tapi sebenarnya mengelak pun tidak akan bisa, karena itu sebuah kenyataan, kenyataan yang seharusnya tidak untuk dikeluhkan. Jika terlalu banyak mengeluh, kita hanya akan semakin terseret masuk ke dalam kubangan yang suatu saat nanti dengan cepat bisa mengubur kita perlahan, bahkan bisa dengan sangat cepat.

Pada bagian lain sebuah persahabatan, adakalanya perselisihan menjadi sebuah warna. Ketika ada intimidasi, akan diselingi dengan pembelaan diri, ketika ada yang di salahkan, maka akan ada yang membenarkan. Kekecewaan mungkin saja terjadi, mungkin saja akan menimbulkan percikan dari sebuah sebuah persahabatan menuju rasa tidak percaya.

Aku pernah di kecewakan, tapi aku lebih sering mengecewakan. Aku pernah disakiti, tapi aku lebih sering menyakiti, aku pernah di khianati, tapi aku lebih sering mengkhianati. aku tidak lebih baik daripada penjilat-penjilat itu, aku tidak lebih baik daripada bangsat itu. Ketika semua kejelekan seseorang diungkapkan ke permukaan, menjadi bahan obrolan di meja makan, maka sepertinya semua omongan jelek itu menuju kearahku, mengelilingiku seraya berkata, “Dengarkan, semua orang sedang membicarakan kejelekkanmu, lalu bagaimana nanti jika kau sudah mati? Tidak akan ada yang akan membicarakan kebaikan-kebaikanmu, maka celakalah kamu!”

Sepertinya kata-kata itu membuatku bergidik ngeri. Entah, sampai kapan semua ini akan berakhir, entah sampai kapan semuanya akan dimulai kembali. Aku terus melangkah, semakin menjauh, semakin banyak orang yang ku sakiti, semakin banyak orang yang ku kecewakan, selangkah aku berhenti, maka akan ada yang merasa di sakiti pada langkah berikutnya.

Jika langkahku harus selalu panjang, aku tidak akan pernah berhenti, hingga nanti waktunya aku harus kembali. Entah kapan semuanya akan berakhir, entah sampai kapan semuanya bisa dimulai dari awal lagi. Pada sebuah nama yang entah lafalnya seperti apa, terkadang cinta itu tidak mengenal aksara, karena hanya ada rasa dan kasih. Tidak perlu mencarinya, karena tanpa dicari ia akan datang sendiri, setidaknya seperti itulah pemahamanku mengenai persoalan yang satu ini. Tidak perlu mengejarnya, karena ia akan menghampiri jika waktunya sudah tiba.

Semakin cepat mengatakan cinta, maka akan secepat itu pula kita akan mengatakan benci. Akan selalu ada penyebab dari sebuah persoalan, aka nada solusi menyertai pula. Terkadang kita tidak sadar jika semua permasalahan itu akan disertai dengan berbagai solusi, seperti kata pepatah lama, ada banyak jalan menuju Roma, maka ada banyak pula jalan untuk mencari setiap masalah yang sedang menyapa.

Malam ini begitu dingin, sangat dingin, seperti sedang berdiam di suatu tempat dengan ketinggian 3000 Mdpl. Semilir angin yang berhembus pelan sudah cukup membuatku merasakan dingin mulai masuk dari ujung kaki, perlahan dengan sangat pelan dingin ini mulai membekukan keadaan, sepertinya semuanya mulai terbuai dengan sunyinya malam, semuanya kembali ke peraduan. Dan sesaat kemudian hanya akan ada hening yang sempurna, indah.

Selarut ini, malam merayap pelan. Mulai mengisahkan tentang perjalanan mentari yang mengintari bumi. Seperti cerita seorang teman yang mengisahkan tentang malam ini, ia berujar tentang bulan, terlihat indahnya bulan diantara awan yang menggumpal, terlihat indah ketika bulatan bercahaya itu menyibakkan sisa-sisa awan yang menutupinya. Sepertinya sang awan memahami bahwa dia harus menjauh dari rembulan, karena ada seseorang yang berharap keindahannya terlihat di malam yang begitu dingin, terlebih setelah sepanjang hari hanya ada dominasi hujan dan awan gelap, dingin ini berpadu dengan harmonisasi cahaya rembulan, bersinar terang keemasan.

Suasana ini tentu akan berarti bagi sebagian orang, bagi sebagian orang yang menyukai keidnahan dari sisi pandang yang berbeda, menikmati keindahan dari sisi gelapnya, menyaksikan lukisan Illahi, lalu dalam hati bergumam, berharap dan merapal doa kepada Sang Pencipta, mengenai angan dan cita-cita, menganai rasa, mengenai hati, mengenai tujuan awal dan tujuan akhir, mengenai perihal jalan untuk kembali pulang.



Read More




Mozaik Tentang Ketenangan Hujan



Udaranya dingin, kupikir masih pagi. Tapi setelah benar-benar terjaga waktu sudah menunjukkan tengah hari, namun tak sedikitpun ada tanda-tanda kemunculan matahari. Seperti biasa, aku masih bisa menikmati suasana disaat hujan seperti ini, menikmati irama dari tiap tetesannya, merasakan hawa dingin ini, seperti membawaku kepada kenangan tentag masa silam. Entahlah, hujan selalu bisa membuatku berjalan mundur, kembali pada kisah di halaman-halaman yang telah tertutup, dimana tidak ada kekhawatiran tentang hari esok.

Siklus hidupku masih seperti dulu, beranjak tidur ketika mentari mulai menyapa diantara kesunyian yang tersisa, dan kemudian terjaga beberapa jam setelahnya, ketika matahari tepat berada diatas kepala. Ada sesuatu yang kusesali, seringkali ku lewatkan hangatnya belaian mesra sang mentari, padahal dulu aku selalu bercengkrama dengannya, sembari menikmati seutas ketenangan dan harapan yang mulai meninggi, sama seperti sabda Illahi tentang matahari yang selalu mengintari bumi.

Pada fase berikutnya, perjalanan ini memang belum ku ketahui bagaimana aku harus memulai. Ada yang datang dan ada yang pergi, ada ketenangan dan kebisingan yang silih berganti mengisi hari, lalu secuil kekhawatiran itu bisa menumbuhkan ketakutan yang menggunung, atau pada sebuah harapan yang masih ragu untuk dijalankan. Semuanya berpola menjadi sebuah lingkaran yang sepertinya tidak akan terputus dipertengahan. Dan aku berjalan diantara lingkaran tersebut, perjalanan yang hanya akan berhenti jika aku mati.

       Diluar masih belum tampak pertanda mentari akan menghangatkan bumi, tidak ada pertanda tentang keberadaannya, satu-satunya tanda adalah meskipun mentari tak menampakkan diri, tapi masih bisa kulihat sekitar, tebalnya awan yang menggulung menyerupai samudera di cakrawala itu tidak bisa menghalangi secercah tanda tentang keberadaannya. Segelap apapun siang, dia tidak pernah benar-benar gelap, dan seterang apapun malam, dia tidak pernah benar-benar terang.

Jika aku bercerita tentang hari yang syahdu, seperti dimana awan gelap yang diselimuli kabut tipis ini berpadu menjadi satu, lalu rintik hujan mulai membasahi bumi, satu-persatu turun ke bumi, memberikan setetes kehidupan melalui keagungan-Nya.

Masih bisa kurasakan tentang kekecewaan seseorang. Dari setiap tulisan yang kubaca, dari setiap tanda diakhir kalimatnya selalu mengisyaratkan sesuatu yang bisa ku mengerti. Bahasa tulisan bisa lebih fulgar daripada teriakan-teriakan yang menyakitkan, Bahasa tulisan terkadang bisa membuat kita menitikkan air mata ketika membacanya, dan bahasamu adalah Bahasa yang bisa kumengerti tanpa harus membaca berulang kali.

Kau tahu, aku masih terjebak didalam sebuah prahara dan kemelut akan tujuan sesungguhnya, aku berjalan pun masih gontai, sesekali terjatuh,  terjerembab, sesekali tersesat, dan semakin jauh aku melangkah, meninggalkan semuanya, itu menjadi sangat indah. Menjadi sendiri, menikmati sapaan indahnya kesunyian, memeluk warna keheningan, bercengkrama dengan hawa dingin. Dan kau tahu, aku pun masih menginginkan semuanya berjalan berirama, meski tak harus sama, yang penting dia berbunyi, terserah jika harus cempreng atau sumbang, karena irama hidup pun tidak selalu merdu mendayu.

Jika kau katakan, ada sedikit gundah mengenai cerita masa silam, dan menjadikan langkah semakin berat untuk berjalan, maka ku katakan, aku terseok-seok untuk kembali berjalan, lebih tepatnya bergeser. Ya, hanya bergeser sejengkal setiap waktu, hingga akhirnya aku bisa kembali berdiri, menikmati secangkir kopi di pagi hari, atau menghabiskan sisa senja dibatas kota. Menikmati ketengangan malam yang dipeluk cahaya rembulan, itu merupakan kesunyian yang kudambakan, tidak ada kebisingan, tidak ada hiruk-pikuk, tidak ada kata yang menodai rasa.

Angin bertiup agak kencang, menerbangkan debu-debu yang membeku. sementara itu, aku hanya bisa merapatkan tangan kedalam jaket yang sudah tidak memiliki bentuk ini. compang-camping, tetapi secara fungsional dia masih bisa menghangatkan. Seperti halnya dengan apa yang sering kita lihat, kita rasakan, ku katakan. Secara fisik, mungkin aku cidera karena rasa, tetapi secara fungsional aku masih bisa mengenal dan meraskannya. Tidak perduli seburuk apa tampaknya, yang kutahu, selagi masih bisa berfungsi dengan baik, itu lebih baik.

Suatu waktu aku bertemu dengan seseorang, seperti biasa ada saja obrolan yang mampu menghangatkan. Mengalir begitu tenang, merambah suasana mencekam menjadi suasana yang menyenangkan. Kemanapun arah pembicaraannya, selalu akan ditemukan titik temu dari inti pembicaraan. Meskipun tidak secara terang-terangan ku katakan tujuanku, atau meskipun tujuanku tidak mengarahkan pada setitik nama pada harapan rasa, akan selalu ada kesan diakhir cerita.

Entah bagaimana memulainya, naluriku mulai berbisik pelan, mulai menjarah dari tiap inci kekosongan yang sempat tertutup rapat oleh kenyataan yang menyakitkan. Ketika kenyataan mengajari aku dengan begitu jujur, sesaat sakit itu akan berbalik. Pada waktu tertentu, aku bisa berdendang dengan lagu yang berbeda diwaktu yang sama. Naluriku mengajarkan tentang kejadian selanjutnya, sepertinya dia menuntunku kearah sana.. maaf, hatiku terlalu jujur untuk menceritakan semua rencana naluriku.

Jujur jika ku katakan, ada sebaris sajak tentang kerinduan yang tiba-tiba menyeruak ke pikiran, lalu menjadi sebuah kalimat yang mampu menggoda, bukan hanya engkau saja yang tergoda duhai pesona, akupun tergoda untuk merasakannya. Ketika imajiku berkelana, menemukan mozaik dari setiap kata-kata mesra, aku bisa merasakan bahwa keajaiban itu akan selalu menyapa disetiap kesulitan yang kita hadapi.

Aku tahu, semakin banyak ku ungkapkan kata yang dibalut sebuah rasa tanpa makna hanya akan mencipatakan rasa sakit, tapi aku selalu bisa menikmati rasa sakit itu. Semakin kurasakan sakit menjalar di setiap urat, maka akan semakin indah rasanya ketika meneguk manisnya kebagaiaan. Teori yang selalu bisa ku buktikan dengan tentetan rencana Tuhan yang selalu menegangkan.

Dan untukmu, untuk dia, untuk mereka, goresan kata-kata ini bisa saja menyisakan luka yang mendalam. Tetapi, seandainya kau tahu. Aku tidak ingin melukai dan menyisakan bekas luka di sisa langkahku yang semakin menjauh, sedalam itu aku melukai indahnya sebuah rasa, maka sedalam itu rasa tercipta diantara hati yang membeku.


Ada baiknya kita mulai membuka diri, menikmati sisa indah mentari, menikmati hawa dingin ketika hujan, menikmati malam yang dipeluk rembulan, menikmati embun pagi yang sunyi. Sejauh-jauhnya aku pergi, suatu saat aku akan kembali. Karena ada sesuatu yang selalu bisa menarikku kembali semua itu kusebut “rumah”. Aku akan kembali lagi ditempat itu, meskipun kusadari, belum ada keyakinanku untuk menyebut sebentuk hati diantara para pesona itu dengan sebutan rumah. Karena kurasa aku harus kembali berjalan, melangkah dan menjauh, untuk kembali membentuk sebuah harapan tentang masa depan, mengenai rasa.
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML