Selasa, 13 Mei 2014

Senandung Itu, Bernada Penyesalan



illahi lastu lilfirdausi ahla, walaa aqwa 'ala naari jahiimi
Fahabi taubatan waghfir dzunubi, fainaka ghafirudz- dzanbil 'adzimi...
-potongan lirik senandung Abu Nawas-

Alunan lirik bernada doa itu mengalun perlahan, sebuah pengakuan akan dosa-dosa yang telah di perbuat. Mengiris hati, menggetarkan nurani. Senandung itu seperti menghempaskanku kedalam sebuah jurang penyesalan. Aku luluh dalam sepersekian menit, persedianku lemas. Tak berdaya di hadapan-Nya.


Entah mengapa, pagi ini aku menjadi begitu relegius. Setiap hentakan nada dalam nadiku seperti mengingatkan akan semua kesalahan dan dosa yang telah ku lakukan. aku diam, hanya diam. Selebihnya, hanya ratapan penyesalan yang terucap dari dalam hati. Tanpa ada kata yang bisa ku ucapkan, tak ada tawa menghiasi di sela nafas yang tersengal, hanya terasa sesak.
......

Cantik. Begitulah ketika aku sering menyapanya. Berada diantara senyum yang menggoda. Melihat lirik mata penuh manja, terdengar merdu suaranya menyapa. Begitulah aku mengenalnya.

Hentakan detak jantung seperti berpacu dengan waktu. Mencoba saling mengalahkan, mencoba saling mendahului. Hingga akhirnya, perasaan kagum itu berubah dengan rasa yang begitu dalam. Untuk kesekian kalinya aku merasakan ketenangan ini.

Ada ketegangan yang menyeruak ketika sorot matanya tajam mencengkram nalarku. Mengusik nuraniku, menggetarkan seluruh tubuhku. Dan untuk kesekian kalinya pula aku terlena dengan buaian fatamorgana bias sisa cahaya. Hanya bayang, hanya sekelebat melintas di hadapan, lalu menghilang diantara persimpangan jalan.

Puluhan jemari itu bisa ku rasakan lembutnya dalam satu kali sentuhan. Serpihan kata-kata indah itu bisa kugunakan untuk mendapatkan hatinya, menggenggamnya kedalam satu kepalan tangan. Merangkulnya dalam satu kali pelukan, dan dalam satu hentakan pula semuanya bisa terlepas. Jemari-jemari lembut itu tak lagi tergenggam dalam satu kepalan tangan, hilang.

Namun, makna dari semua ini bukanlah tentang sebuah penaklukan. bukan pula menggenggam jemari-jemari lentik itu dalam satu genggaman, satu pelukan, satu waktu. Ini mengenai nurani yang berkata, mendikte setiap langkah. Menguasai setiap detak dalam detik waktu yang berputar.

''Tuhan, Jika dosaku semakin membesar, sungguh aku tahu ampunanmu jauh lebih besar. Jika hanya orang-orang baik yang berseru kepada-Mu, lantas kepada siapa seorang pendosa harus mengadu?” (Abu Nawas)
………..
… Dzunubi mitslu a'daadir- rimali, fahabli taubatan ya Dzal Jalaali,
Wa 'umri naqishu fi kulli yaumi, wa dzanbi zaaidun kaifa -htimali
Ilahi 'abdukal 'aashi ataak, muqirran bi dzunubi wa qad di'aaka
fain taghfir fa anta lidzaka ahlun, wain tadrud faman narju siwaaka

(Dosa-dosaku seperti butiran pasir di pantai,
maka anugerahilah hamba taubat, wahai Yang Memiliki Keagungan
Dan umur hamba berkurang setiap hari,
sementara dosa-dosa hamba selalu bertambah, apalah dayaku
Ya ALLAH .. hamba-Mu penuh maksiat, datang kepada-Mu bersimpuh memohon ampunan,
Jika Engkau ampuni memang Engkau adalah Pemilik Ampunan,
Tetapi jika Engkau tolak maka kepada siapa lagi aku berharap? )
-senandung Abu Nawas-


Read More




Senin, 12 Mei 2014

Bila Waktu Telah Memanggil



Tidak akan ada yang tersisa selain kenangan. Tidak akan ada kata-kata indah yang akan terucap lagi, tidak akan ada lagi berbait-bait puisi yang tertuang di dalam lembaran kertas. Tidak akan ada lagi suara derap langkah kaki yang menyusuri jalan setapak berbatu, terjal. Tidak akan ada lagi yang bisa dilakukan.

Aku ingin sekali bercerita tentang indahnya rembulan, berbaring diantara rerumputan. Menatap langsung menghadap angkasa. Semilir angin bisikkan kerinduan, lembut menyentuh kulit, mengusap jemari, membelai hati. Seperti bisikan kata yang terucap dari bibirmu, menyentuh perasaan, mendekap kerinduan, semerdu ucapan kata sayang. Lalu aku terbuai, terlena dalam alunan simphoni nada mesra indahnya sebuah rasa.

Aku ingin sekali berkisah tentang hari-hari yang begitu melelahkan. Hari-hari dimana yang ada hanyalah sebuah perjalanan penuh dengan petualangan. Tempat-tempat yang selalu membuatku terkesima, orang-orang yang selalu tersenyum dan menyapa ramah. Tentang sebuah pengorbanan, tentang sebuah persahabatan dan tentang indahnya cerita tentang cinta.

Aku juga ingin sekali bercerita tentang sebuah peyesalan. Yang baru bisa kurasakan setelah melaluinya, menyisakan rasa sakit, takut dan keraguan. Tapi ingin ku ceritakan juga tentang arti dari sebuah penyesalan itu. Penyesalan itu mengajarkanku untuk tetap berdiri menghadapi kenyataan yang tidak selalu merdu, semerdu lantunan kalam Illahi.

Tapi, sepertinya semuanya hanya akan menjadi kenangan, bagimu, bagi kita. Hanya akan menjadi kisah usang di lembaran kertas yang memdar warnanya.

Selanjutnya tak akan ada lagi kisah tentang kita, tentang mereka. Hanya ada aku dan aku. Fase ini hanya akan kulalui sendiri. Apa yang ku tanam itulah yang akan ku petik, dan semuanya akan sebanding dengan apa yang kulakukan sebelumnya. Hanya ada aku dan pemilikku, hanya akan ada aku yang terbaring sendiri di kegelapan, diselimuti hawa dingin. Hanya ada lima pertanyaan yang akan ditanyakan kepadaku, dan pertanyaan itu bukan tentang kita.


Dan ketika waktu benar-benar memanggil, yang tersisa hanya sebuah kenangan. Kenangan itu akan bercerita tentang aku, tentang kita. 
Read More




Mentari Itu, Hanya Sekilas Menyapa



Entah,  mungkin memang seperti itu maunya. Mentari yang tenggelam itu seperti hanya menyapa dalam setengah putaran hari saja. sejenak menghangatkan penuh dengan kasih ketika pertama kali muncul dan menyapa, sejenak membakar ketika mencapai pada pertengahan hari, dan sejenak mempesona penuh dengan cinta dan pesona ketika hendak tenggelam. Dan akan pergi begitu
saja, menimbulkan sejuta tanya tentang pesona yang tak lagi muncul ketika gelap menjelang.

Ia tak berbicara, sedikit kata yang keluarpun hanya sebatas sapa. Tak mengeluarkan makna, tak tahu arah dan tujuannya, hanya sekedar  intonasi tanpa nada.

Tegukan air itu begitu manis hingga masih terasa di ruas dalam leher meski tetes terakhir itu sudah sepenuhnya masuk kedalam lambung. Manisnya masih tersisa diantara ujun lidah dan bibir yang basah.

Bukankah kita selalu menyukai sesuatu yang manis dari pada sesuatu yang pahit? Namun, jika terlalu manispun sepertinya enggan untuk merasakannya, namun menjadi sebaliknya. Sesuatu yang begitu pahit itu akan tetap kita telan begitu saja, jika di dalam pahitnya ternyata bisa menyembuhkan. Bukankah seperti itu? Sesuatu yang manis belum tentu baik, begitu juga dengan sesuatu yang begitu pahit bukan berarti buruk.

Seperti nyanyian para gembala di padang pasir, selalu bergerak menggiring ternak, terkadang harus menempuh perjalanan panjang dan melelahkan. Bertahan diantara panasnya matahari yang menyengat, lalu bertahan diantara dinginnya malam yang menggigit. Begitu dilakukan tanpa henti, berharap ternaknya akan tumbuh, beranak pinak, mengeluarkan susu yang berlimpah atau mencari ridho Allah dengan mengorbankannya di hari raya. Sebuah harga yang harus dibayar untuk mendapatkan ridho Illahi.

Mentari itu, hanya sekilas menyapa. Lalu pergi tanpa kata. Menyisakan hangat yang sesaat, tenggelam diantara dinginnya malam. Dan matahari hanya akan menyapa, tak akan berlama-lama ia berdiam diri. Karena ia tahu porsinya, karena ia sadar akan keberadaannya jika terlalu lama berada diantara waktu. Dan ia akan kembali menyapa, seperti hari-hari sebelumnya..


Dan akan tetap sama…
Read More




Minggu, 11 Mei 2014

Siluet, Latar Indah yang Mempesona




Siluet itu, terlihat indah meski objek yang di tangkap oleh jepretan kamera/mata hanya gelap. Ada latar indah di belakangnya. Ada pesona dan keindahan dibalik kegelapan yang terlihat. Sejenak kaki berdiri menikmati pertunjukan alam, menari bersama indahnya kenangan masa lalu. Menikmati secangkir teh manis diantara semburat wajah mentari yang menjingga.

Tersenyum, diantara rimbunnya dedaunan pekarangan rumah. Sehijau masa depan yang penuh dengan asa. Sesegar embun pagi diantara kicauan merdu burung-burung liar yang terbang bebas. Hinggap dari satu pohon ke pohon berikutnya. Mencari kehidupan diantara kehidupan.

Siluet itu berkata sangat jelas, mengisyaratkan pesan dari sekedar keindahan. Sama seperti ketika menatap langsung matahari, maka setelahnya hanya ada gelap yang mampu di rekam oleh kedua mata. Tak ada warna cerita diantaranya. Hanya gelap, dan tak terlihat.

Bukankah hidup ini juga hanya sebuah perjalanan singkat. Seperti burung-burung liar itu, hinggap dari satu pohon ke pohon berikutnya. Mencari kehidupan diantara kehidupan? Bukankah hidup ini seperi siluet, yang hanya tampak indah latarnya? Semua orang tentu bisa mengartikan kehidupan ini seperti imajinasinya. Seperti kata hatinya, seperti pandangannya.

Seseorang dalam kisahku berujar “hidup ini bukan hanya untuk merasakan sakit”. Lalu kisah berikutnya berkata “terimakasih karena telah memberikan rasa sakit ini, karena aku bisa merelakan sebuah kehilangan”. Atau pada bagian kisah lainnya yang sebenarnya tidak berkata dengan lisan, namun langsung memberikan sebuah kenyataan yang harus ku mengerti tentang maknanya sendiri.

Lalu, aku merangkainya menjadi sebuah kisah yang penuh warna. Pada bagian tertentu aku menyukainya, namun ada bagian tertentu yang tidak ingin ku ingat sama sekali. Namun, jusrtu pada bagian yang tidak ingin ku ingat itulah aku menemukan berbagai makna dari sekedar “hidup ini hanya sebatas berteduh diantara gersangnya padang pasir”.

Tidak perlu melupakan masa lalu, tidak pula harus terus terpaku dengan masa itu. Yang di perlukan hanya sebuah keyakinan. Karena selain itu semua, kita tidak mempunyai apa-apa. Karena dari masa lalu kita ada di masa ini dan masa depan (mungkin).

Terakhir kali ku lihat semburat cahaya itu menyilaukan mata, hanya ada kegelapan yang tersisa. Namun, aku masih bisa melihat, merasakan, menyetuh dan mencium harumnya masa depan. Masih ada pesona diantara gelapnya malam yang panjang, masih akan ada rasa itu di kemudian hari.

Keputusasaan ini adalah merupakan kenangan terindah untuk masa depan yang entah dimana ujungnya. Mencampakkan, di campakkan, merendahkan, di rendahkan, menertawakan, di tertawakan, adalah bagian dari ceritanya.


Siluet,  latar indah yang mempesona…
Read More




Sabtu, 10 Mei 2014

Pelajaran Dari Obrolan Pinggir Jalan



Malam yang terang meski tanpa bintang. Sesekali kendaraan bermotor melintas, membelah jalanan yang semakin sunyi. Kota ini tampak begitu lengang, berbeda dengan kota dimanaku berdomisili .

Dari obrolan pinggir jalan, bertemu dengan orang-orang baru. Misi awalnya jelas, menemui sahabat lama, membuka koneksi untuk sekedar melanjutkan semangat yang sempat kandas. Obrolan pinggir jalan, dengan segala rentetan pembicaraan. Berawal dari mengenang masa lalu, menceritakan harapan di masa depan, mengenang kejadian konyol beberapa tahun silam, hingga curahan hati mengalir seperti derasnya air yang turun ke permukaan yang lebih rendah.

Sebentar lagi tengah malam, obrolan semakin hangat. Di bumbui dengan celotehan ringan, mentertawakan teman, mentertawakan diri sendiri. Sejenak melepaskan kepenatan, cukup mujarab untuk melipur hati yang dilanda kegelisahan tak terkira.

Di tengah hangatnya obrolan, muncul kakek-kakek, mungkin usianya diatas 70-an tahun, tampak dari kulitnya yang keriput berkerut, rambut yang memutih halus, gigi yang sudah tak lengkap jumlahnya, ditambah lagi dengan jalan yang membungkuk.

Awalnya ku kira dia meminta-minta, seperti kebanyakan manula yang berkeliaran di malam hari. Namun perkiraanku meleset. Masih ku ingat jelas tawa khasnya, putus-putus. Dengan bahasa sunda yang tidak ku mengerti, kata temanku. Itu bahasa sunda halus, terlebih ucapannya sudah tidak sejelas lelaki seusiaku.

Dengan terampil dia memijat, meregangkan urat-urat yang kaku seperti kawat. Dengan celotehannya, ia tampak bahagia dengan kondisinya.  Seharusnya, ia tidur malam ini. Dengan anak dan cucu-cucunya, mengingat usianya yang tidak bisa di bilang muda. Namun, dia tidak meminta-minta seperti kebanyakan manula. Ia menawarkan jasa meski tanpa di minta, tak di beripun kurasa tak aka nada protes darinya, karena setelah ku Tanya ke kawan baruku, dia memang setiap malam berkeliaran. Singgah sejenak, bercerita dan bercanda, mengenai wanita muda. Lalu tertawa, kemudian beranjak. Selalu seperti itu.

Di pertengahan malam, ia masih berjalan. Menjemput rezeki yang entah dimana di turunkan untuknya. Sejenak aku termenung diantara canda yang dilontarkannya. Ada kesedihan dan rasa malu yang bercampur menjadi satu.

Tak ada keluhan yang keluar dari pembicaraannya, hanya ada canda dan tawa. Tak lupa tawa khasnya yang sepatah-sepatah itu membuatku juga bisa tertawa.

Terbayang, sering kali aku mengeluh kepada-Nya. Merutuki nasib yang tak segera membaik. Namun dari lelaki berusia senja itu ku temukan makna yang sebenarnya mengenai hidup.

Hidup itu begitu sederhana, mensyukuri apa yang telah di berikan kepada kita. Tanpa harus selalu mengeluh di setiap sisa ujung sujud dalam rakaat shalat. Hanya tertawa, seraya terus bergerak. Usia tak menghalanginya untuk tetap menjemput rezeki yang di turunkan-Nya untuk kita.

Darinya aku belajar malam ini. Darinya ku temukan arti kata sebuah perjuangan dan segenggam kenikmatan tak terkira yang di anugerahkan kepada kita.

Tidak perlu berkeluh kesah, tetap berusaha dan berdoa. Dan pada akhirnya kita tertawa bersama, tanpa ada rasa duka. Terimakasih kek, pelajaran berharga kudapatkan malam ini, darimu, untukku, untuk kita, untuk kami.


Pelajaran dari obrolan pinggir jalan..
Read More




Kamis, 08 Mei 2014

Aku dan pohon rindang




Sejuk memang, berada di bawah pohon rindang, terlebih ketika matahari berada tegak diatas kepala. Semilir angin di bawah pohon rindang menjadi pilihan terbaik, melebihi ruangan ber AC lengkap dengan fasilitasnya.  Dan kurasa semua orang akan menyetujui ini. Bukankah begitu? Kurasa sudah ku dapat jawabannya.

Semilir angin, pohon rindang, suasana tenang, tentram, adakah yang menginginkan lebih dari itu? Ternyata, ada ketenangan yang tersimpan diantara pesan semilir angin di pohon rindang.
Pohon itu bisa menjadi rindang, teduh, sejuk ketika berada diantara dahan-dahan yang bercabang. Namun, bukankah pohon itu tidak langsung menjadi rindang? Bukankah ia mengalami proses yang sama dengan kita? Dia memulai proses untuk memulai hidup, bertahan hidup, untuk menjadi tinggi, untuk menjadi rindang, untuk menjadi sejuk? Bukankah ia mengalami serangkaian proses sebelum menjadi seperti sekarang ini?

Mungkin hanya sebagian pohon yang kita tanam bisa bertahan. Perjuangannya bahkan di mulai dengan proses yang tidak kalah rumit. Ketika pertama kali di masukkan kedalam tanah, ia akan menyesuaikan lingkungan baru, bertahan dari sengatan matahari yang terkadang begitu menyala membara, atau derasnya hujan terkadang mengikis kekuatan tubuh yang masih rentan itu? Belum lagi dengan angin yang bertiup kencang, dengan hama dan pemangsa. Serangkaian perjuangan panjang untuk tetap bertahan.

Hingga akhirnya kini kita bisa menikmati berada dibawahnya, memetik inspirasi dari kesejukannya, merasakan ketenangan yang sulit untuk di tuliskan dengan abjad. Bahkan ketika pohon sudah berdiri menjulang tinggi sekalipun masih banyak terpaan yang harus di terimanya, semakin tinggi pohon berdiri maka akan semakin keras pula angin menghempas, seperti pepatah lama berbicara mengenai peribahasa. Semakin tinggi pohon berdiri maka akan semakin ia mudah untuk di gerakkan angin.

Memerlukan berapa puluh tahun untuk menjadi pohon rindang? Berapa puluh tahun agar kesejukan itu datang? Begitu juga dengan kita, untuk menjadikan kita bermanfaat bagi sesama tidaklah bisa dilakukan dalam kurun waktu beberapa minggu saja. Perlu perjuangan, tekad dan keinginan yang kuat.

Untuk berdiri kuat, untuk menjadi tangguh tidaklah bisa dilakukan tanpa melakukan atau merasakan pahitnya hidup. Karena tanpa rasa pahit, mustahil ada rasa manis. Karena semuanya harus ada perbandingannya. Semua rasa harus dirasakan, agar lengkap makna setiap rasa itu.

Ada kalanya memang kita harus merasakan kerasnya perjuangan ini. Melakukan serangkaian perjalanan panjang nan melelahkan. Adakalanya kita harus berhenti sejenak untuk mengusir penat, adakalanya juga kita harus jalan tertatih, merasakan sedikit kekecewaan dan rasa bersalah. Untuk menjadi rindang.

Lalu kesejukan setidaknya akan membawa kita pada sebuah ketenangan yang sebenarnya. Kesejukan yang akan membawa kita kedalam sebuah arti kata damai yang sesungguhnya. Antara aku dan pohon rindang, seperti itulah kita akan mencoba melakukannya.


Read More




Rahasia, tetap diam tak berucap



Terik ini kurasa begitu membakar tubuhku yang kian melemah. Kian renta karena usia. Energiku seolah habis terserap berbagai masalah yang tak pernah merasa lelah menggempur. Yang bisa dilakukan hanya mencoba bertahan, diam membatu. Mencoba kuat meski sesaat.

Hanya saja, aku tersadar setelah sekian lama. Tak seharusnya energi ini ku habiskan pada saat ini. Sementara aku tak tahu sampai kapan kehidupan ini berlanjut. Ada baiknya jika sedikit ku sisakan energi ini untuk kembali melanjutkan perjalanan yang tak tahu dimana kan berujung.

Sembari bertahan, ada baiknya kembali mengumpulkan sisa-sisa kepingan harapan yang tercabik-cabik oleh keadaan. Tidak ada yang tahu masa depan seseorang, meskipun cerita ini ku awali dengan kisah kelam, namun siapa yang tahu di masa depan nanti. Akankah berakhir kelam atau terang benderang.

Tidak ada salahnya jika mencoba melakukan dan menjadi lebih baik. Menjadi benar mungkin akan melalui banyak hal, akan ada lebih banyak rasa sakit dan akan ada lebih banyak rasa letih. Namun, sekali lagi ku tegaskan, aku tak tahu dengan masa depanku akan berakhir seperti apa.

Pernah ku ungkapkan, ingin sekali ku lihat isi dunia ini. Berkeliling diantara pesona yang selalu mengintimidasiku. Bercengkrama dengan alam sejuknya, bercengkrama dengan orang-orangnya. Menikmati setiap langkah yang tidak selalu indah. Kemudian menuliskannya kedalam lembaran-lembaran kertas, merangkainya dengan sedikit cerita petualangan, di bumbui dengan ungkapan rasa cinta, di kombinasikan dengan sebuah penyesalan dan kekecewaan, dan sebelum mengakhirinya dengan indah ingin ku tambahkan sedikit petualangan yang menegangkan, sedikit dramatis agar tak terlalu datar alur ceritanya..

Dan kau tahu, keinginan yang sempat terbang entah kemana itu kini kembali menyapa diantara keheningan ini. Berbicara diantara gelap dan dingin. Mengintip di balik pintu yang sedikit terbuka, mencoba kembali mengajakku berjabat tangan, kembali menggandengnya dengan genggaman keyakinan akan sebuah kekuatan harapan.

Tatapannya, terlihat seperti tatapan wanita penggoda. Sesekali tersipu, sesekali melirik. Ia menggoda dengan cara selayaknya wanita manja.

Lalu, ingin ku peluk semua harapan dan impian itu. Menggenggamnya dengan sangat kuat, tak akan ku biarkan kembali terlepas meski sesaat. Tak akan ku biarkan angin membawanya berkelana lagi, karena aku yang akan berkelana dengan impian-impian itu.

Sisakan sedikit energimu untuk melanjutkan langkah yang kian terasa berat. Jangan habiskan kekuatan itu hanya untuk menghadapi getirnya kenyataan yang menikam (saat ini).

Waktu menyapa dengan mesra. Embun pagi terlihat begitu menakjubkan, sisa tetesan yang mencair di ujung dedaunan, seperti berlian memantulkan cahaya mentari pagi, bisikan kata-kata mesra. Awan seputih kapas, bergelombang samudera di angkasa. Melukiskan kenyataan yang tak kasat mata, berjuta rahasia tak berucap.

Di ujung malam, diantara lelap. Sunyi ini merdu sekali. Keheningannya bagaikan syair-syair yang mengalun dari aksara sang pujangga.

Rahasia. Tetap diam tak berucap, (untuk masa depan).

…..
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML